Denting jam dinding menyambut hari baru. Nyawanya sudah kembali, tapi kelopak matanya masih berat untuk terbuka. Perlahan, Ella menggeser kepala, menoleh ke sisi kiri ranjang. Membuka matanya perlahan untuk melihat pemandangan yang berbeda. Kosong. Hanya ada selimut putih berantakan dan paper bag berwarna hitam. Tidak ada sosok pria yang ia harapkan menjadi awal hari.Pandangannya menyapu ke seluruh kamar yang ternyata sangat sunyi. Tidak ada jejak keberadaan manusia. Pintu kamar mandi juga terbuka. "Alexander," panggilnya. Ella menarik selimutnya sampai menutupi dadanya yang tak dibalutkan sehelai benang pun. Ia duduk bersandar sambil mencerna situasi saat ini. Tidak ada suara dari luar kamar, tidak ada gerakan sedikit pun."Alexander?" panggilnya lagi dengan suara lebih kencang.Tetap tidak ada jawaban.Kegelisahan merayap dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih paper bag hitam itu, berharap menemukan petunjuk.Seketika matanya membelalak saat berhasil membukanya. Tumbuka
Cengkraman Joseph melonggar. Ella segera melepaskan tangannya tanpa pikir panjang."Pria mana yang kau maksud?" tanya Joseph dengan nada tinggi.Ella menunjuk ke arah Alexander. "Dia. Aku mengenalnya, dan kita akan pergi bersama ... seperti kemarin."Mata Joseph menyipit. Amarahnya memuncak melihat Ella begitu berani melawan. "Apa kau tuli? Dia sudah bilang tidak tertarik padamu. Jangan meminta seperti pengemis! Lihat aku! Aku di sini!""Tadi memang iya," sahut Alexander tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi tajam. Kedua pasang mata langsung menoleh ke arahnya. Pria itu menjatuhkan putung rokoknya, menginjaknya dengan sepatu hitam mengilap, lalu berjalan mendekat. Mata tajamnya sedikit ke bawah karena tinggi Joseph berada di bawahnya. "Tapi sekarang tidak. Wanita ini ... terlihat menarik di mataku jadi kuperintah kau untuk melepaskan tangannya.""Siapa kau menyuruhku?""Siapa kau sampai aku harus memperkenalkan diri?""Dia kekasihku jadi jangan ikut campur."Alexander menoleh Ella. "Benark
"Apa?" Mata Ella membelalak. Tubuhnya seolah membatu, jantungnya memukul-mukul rusuk. Baru beberapa menit yang lalu Alexander mengaku tidak mengenalnya, tapi sekarang ucapannya berubah drastis. Ella menggeleng pelan, mencoba menahan gemuruh dalam dada. "A ... aku tidak mengerti. Apa yang Anda bicarakan?"Alexander menyeringai. Senyumannya bukan senyum biasa, seperti ada racun di balik garis bibirnya. "Sepertinya kau memang memiliki kepribadian ganda," ujarnya tenang, menusuk tanpa nada tinggi. "Semalam menjual diri, dan sekarang bertingkah seolah menjadi wanita suci.""Aku tidak menjual diri!" bentak Ella. Jemarinya mencengkeram setang sepeda kuat-kuat, seakan bisa menyalurkan gemetar tubuhnya pada logam dingin itu. "Maksudku, semalam aku memang mabuk. Aku tidak sadar dengan semua yang kulakukan dan katakan. Tapi tidak sekali pun aku berniat melecehkan Anda. Maaf jika perkataanku kasar. Tapi tolong ... jangan bawa masalah pribadi ini ke urusan kampus.""Tenang saja, Ella," ucap Alexan
"Ella, kemari," panggil pelatih Ballet-Eva. Panggilan itu membuat kesadaran Ella kembali. Ia diam sebelum akhirnya melangkah dengan kaki yang sedikit bergetar. Sekarang, dirinya bergabung bersama kumpulan orang-orang itu."Jangan menunduk dan sapa pria di depanmu," bisik Eva.Ella menelan ludahnya susah payah. Dengan penuh keberanian, ia mengangkat kepala. "H ... halo, aku ... Ella Force.""Dan Ella, di depanmu ada Tuan Alexander Hoffa yang akan menjadi sponsor utama pementasan kita. Sapa beliau."Begitu nama pria itu diucapkan oleh Eva, tubuh Ella seolah disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti berdetak. Alexander Hoffa. Nama yang bagai kutukan, nama yang bahkan dalam tidur pun bisa membuatnya terbangun dengan keringat dingin."Jika tubuhmu merasa tidak enak, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk masuk." Ucapan itu terdengar datar dari Alexander.Nada itu mengguncang relung hatinya. Membuat Ella ingin menghilang di balik tirai ruang latihan."Apakah kamu sakit, Ella?" tanya Eva c
Cahaya strobo berkelip di langit-langit, melempar bayangan tajam ke wajah-wajah yang menari liar. Musik deep house menghentak dada, disusul asap kabut dan aroma pekat parfum, keringat, serta alkohol.Di sudut kursi bar counter, seorang pria duduk sendirian. Jas hitamnya masih rapi, meski dasi sudah dilonggarkan. Sepasang mata tajamnya menatap kosong ke arah gelas di tangan yang berisi Absinthe murni, tanpa campuran apa pun. Dengan kadar alkohol nyaris menembus batas legal.Rasa terbakar segera menjalari tenggorokan dan dadanya. Tapi ia tetap duduk tenang, tenggelam dalam dunianya sendiri.Di usia 30 tahun, beban bisnis dan tuntutan keluarga terasa lebih berat dari minuman terkeras sekalipun.Drrrt ...!Ponselnya bergetar pelan. Ia menoleh malas. Layar menyala menampilkan nama yang sudah terlalu sering membuat napasnya berat."Halo, Ayah," katanya."Apa kau sudah tiba di Melbourne, Alexander?" tanya pria tua dari seberang telepon, Reagan Hoffa."Baru saja tiba," jawab Alexander."Seles