Pintu kamar hotel tertutup rapat. Dua manusia langsung bercumbu tanpa tahu arti menunggu. Chloe mencabik kancing kemeja satu per satu, lalu membuangnya ke lantai asal. "Bukakan pakaianku," bisiknya, tak sabar.
Alexander menurut, ia membuka baju dan rok mini Chloe hingga hanya tersisa sepasang pakaian dalam yang nyaris tak menutupi apa-apa. Ia merengkuh tengkuk wanita itu, mencium bibirnya penuh hasrat, memeluk luka yang tidak pernah ia pahami.Kini mereka berada di atas ranjang. Bibir saling menjelajah, menghapus batas. Alexander mencium leher Chloe, lalu turun ke dada, dan akhirnya ke perutnya yang bergetar oleh napas yang cepat. Namun tiba-tiba, datang sesuatu yang menahan langkahnya.Bukan, sesuatu itu sebenarnya sudah ada sejak tadi. Sejak di bar. Bayangan Ella menghantuinya diam-diam. Alexander mencoba melupakannya, dengan cara menenggelamkan diri dalam tubuh wanita lain. Tapi tetap saja. Tak ada yang bisa menyelamatkannya dari kehampaan ini. Sialan."Itu sudah keputusan akhir," kata Gianna tegas.Ella diam beberapa detik, sebelum bibirnya dipaksakan terangkat. "Iya, tidak apa-apa. Aku turut senang siapa pun yang menggantikanku. Semoga pementasannya berjalan lancar." "Terima kasih. Ah, sebenarnya ini sangat disayangkan. Aku menyukai kemampuanmu, tapi ... tidak ada yang bisa kulakukan.""Iya, sungguh tidak apa-apa," balas Ella lagi, tetap tersenyum seolah semua baik-baik saja."Kalau begitu silakan latihan. Permisi," pamit Gianna meninggalkan Ella. Begitu pelatihnya menjauh, senyum itu seketika runtuh dari wajahnya. Ella menunduk, jari-jarinya saling menggenggam guna menahan perasaan yang bergejolak. Ia tak berdaya selain menerima, meski jawaban itu menghantam perih dadanya.***Pukul 05:00 AM.Satu per satu ballerina yang tidak masuk ke dalam casting pementasan berkemas dan pulang. Suasana ruang latihan mulai sepi. Ella melangkah pelan ke luar, hatinya kosong,
"Ini tempat yang buruk! Kau tidak boleh berada di sini," ujar Alexander menekan."Tidak," balas Ella. "Ini tempat yang tepat untukku karena pekerjaannya mudah. Aku hanya perlu menjual wajah dan tubuhku agar mendapatkan tip besar."Alexander menyeringai. "Jadi kau suka pekerjaan semacam itu?""Iya. Bahkan sebenarnya, kalau saja kau tidak membuat keributan, mungkin pelanggan itu sudah memberiku banyak uang. Sayang sekali, tidak jadi."Ucapannya menusuk. Ombak cemburu dan amarah mendadak menghantam Alexander, melahap sisa kendalinya."Aku bisa memberimu lebih banyak uang," desisnya. "Kenapa kau tidak tidur lagi saja denganku?"Tanpa memberi waktu bernapas, bibir Ella direbut dengan ciuman brutal. Kasar, tanpa belas kasih. Api di dalam diri Alexander tak lagi bisa dipadamkan. Tangannya mendarat di dada Ella, meremas seakan ingin meninggalkan tanda kepemilikan.Ella menangis. Air mata mengalir, tangannya gemetar mendorong tubuh pria itu, namun sia-sia. Alexander tidak peduli. Dalam pikiran
"Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga
"Argh, apa-apaan kau ini," desis Chloe, menyingkirkan tangan Francesco dari wajahnya.Sejenak, rahang Francesco menegang. Tangannya yang ditolak mengepal, namun ia cepat menguasai diri. Senyuman samar segera muncul di bibirnya. "Aku hanya ingin membantumu.""Mengajakku minum memang membantu. Tapi barusan itu tidak. Kau bukan berniat menolong, kau ... menyukaiku.""Iya," jawabnya tenang. "Apa itu salah?"Chloe terdiam, lalu terkekeh kecil. "Tentu saja salah. Aku ini masih tunangan adikmu. Apa kau benar-benar ingin mengkhianatinya? Kau ingin menyalakan api drama keluarga? Ugh, terlalu merepotkan.""Pertunangan kalian sudah di ujung tanduk. Jadi apa lagi yang perlu dipertahankan?""Ujung tanduk bukan berarti mati!" Chloe menekankan kata-katanya. "Dengar, aku memang cantik. Tapi itu bukan alasanmu untuk menaruh perasaan padaku. Jangan memperumit keadaan. Kita ... hanya main-main."Francesco menyipitkan mata. "Aku punya rencana. Kita bisa mengembalikan keadaan, dan-""Mengembalikan? Lalu a
"Kau serius, Alexander?" tanya Reagan lagi."Ya. Dia hanya seorang wanita. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan besar hanya karena dirinya.""Dan jika suatu hari kau masih menemuinya?""Aku akan menjauhinya. Tidak ada alasan bagiku untuk kembali pada sesuatu yang hanya akan melemahkanku."Reagan mengisap rokoknya dalam-dalam, bara merahnya memercik singkat. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Maka dengar ini, nyawanya akan berada di tanganku saja, karena kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya."Alexander menegang. "Apa maksudmu?""Aku akan melenyapkannya," kata Reagan datar, seolah kalimat itu tak lebih dari keputusan bisnis biasa. "Setuju?"Alexander terdiam. Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga, sementara pikirannya dipenuhi riuh akan kesepakatan mendadak ini."Apa lagi yang harus kau pikirkan?" Reagan menekan suaranya, melihat putranya tampak ragu-ragu untuk pertanyaan mudah. "Nikahi tunanganmu, dan jauhi wanita yang tidak memberi keuntungan. Masalah cinta,