Denting jam dinding menyambut hari baru. Nyawanya sudah kembali, tapi kelopak matanya masih berat untuk terbuka. Perlahan, Ella menggeser kepala, menoleh ke sisi kiri ranjang. Membuka matanya perlahan untuk melihat pemandangan yang berbeda. Kosong. Hanya ada selimut putih berantakan dan paper bag berwarna hitam. Tidak ada sosok pria yang ia harapkan menjadi awal hari.
Pandangannya menyapu ke seluruh kamar yang ternyata sangat sunyi. Tidak ada jejak keberadaan manusia. Pintu kamar mandi juga terbuka. "Alexander," panggilnya. Ella menarik selimutnya sampai menutupi dadanya yang tak dibalutkan sehelai benang pun. Ia duduk bersandar sambil mencerna situasi saat ini. Tidak ada suara dari luar kamar, tidak ada gerakan sedikit pun. "Alexander?" panggilnya lagi dengan suara lebih kencang. Tetap tidak ada jawaban. Kegelisahan merayap dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih paper bag hitam itu, berharap menemukan petunjuk. Seketika matanya membelalak saat berhasil membukanya. Tumbukan lembaran uang. Sangat banyak. "ALEXANDER? KAMU DI MANA?" teriaknya. Kini, perasaan negatif mengelilinginya. Sialnya, hasilnya nihil. Ella mengeluarkan semua isi paper bagnya di atas ranjang. Tangannya mengacak-acak lembaran dolar Australia itu yang tidak bisa ia jumlahkan dalam sekali lihat. Tetapi, bukan rasa kagum yang menguasai dirinya, melainkan kekosongan dan kengerian. Tangannya bahkan gemetar. Lehernya terasa dicekik. Tembok tinggi yang ia bangun telah runtuh akibat kejadian semalam. Hatinya telah tersayat dari dalam. Ella jelas tahu apa yang sedang terjadi. Ella segera beranjak dari ranjang, dirinya seperti disentak realita. "Akh," ringisnya baru saja berdiri. Ia kembali duduk sebab tidak bisa menahan nyeri di area kewanitaannya. Ella memperhatikan miliknya bahwa masih ada bercak darah akibat pergaulatan mereka berdua. Di bawah lantai juga tergeletak 4 bekas kondom. Alexander bahkan tidak mau bermain lembut, padahal Ella sudah memohon berulang kali. Matanya mulai memanas, air mata membasahi pipinya. Isak tangisnya pecah, seolah ada yang mencekik tenggorokannya. Ella merangkul pundaknya sendiri dengan kondisi tubuh yang bergetar. Tubuhnya sudah rusak. Bercak merah di banyak bagian itu tampak menjijikkan. Harga dirinya telah dihina habis-habisan oleh pria yang telah diberi kepercayaan. *** Hari pementasan Ballet akhirnya tiba. Hari Senin yang ditunggu-tunggu akan dipenuhi oleh rasa bangga. Acara ini diselenggarakan di gedung yang sangat besar dari pihak Alexander. Di belakang panggung, para Ballerina sibuk dengan urusannya masing-masing, entah dari make-up, kostum, pemanasan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan pemeran Juliet yang terus berdiri mengintip kursi penonton dari balik tirai. Menunggu orang yang dicarinya ikut menonton juga. "Ella berhenti berdiam diri," perintah Eva. Ella mengalihkan pandangannya ke Eva. Penampilan wanita itu sungguh cantik dari atas sampai bawah, namun, tatapannya kosong. Tidak memancarkan kebahagiaan seperti biasanya. "Apa Anda sudah memiliki nomor Alexander?" "Lagi dan lagi dari hari Sabtu, kamu melontarkan pertanyaan yang sama. Bahkan Kaprodi memberitahuku bahwa kamu terus bertanya hal itu selama akhir pekan. Kami pihak kampus tidak tahu menahu tentang nomor pribadinya, kami menghubungi lewat tim yang lain." "Tapi dia menonton pertunjukkannya, bukan?" "Tidak. Mr. Hoffa tidak ada didaftar tamu malam ini. Dia orang sibuk, wajar jika tidak sempat melihat. Sebenarnya ada apa?" "Aku memerlukannya untuk urusan penting." "Hal penting apa? Jika ingin mengucapkan terima kasih, pihak kampus sudah mewakilinya. Tenang saja, tidak perlu sampai harus membalas budi. Pokoknya atur ekspresimu dengan benar dan lakukan terbaik. Di sini banyak orang penting dari universitas lain jadi kamu harus memanfaatkannya." Wajah kesedihan itu tetap menyelimuti Ella hingga Eva pergi mengurus yang lainnya. "Terima kasih apanya. Aku bahkan ingin membunuhnya," gumamnya pelan. Entah apa yang terjadi, Alexander tidak pernah menemuinya lagi sejak pergi ke Williamstown. Ella tidak tahu apa alasan pria itu tiba-tiba meninggalkannya. Ia sudah mencoba menghubungi siapa pun yang bersangkutan dengan dia tapi tetap tidak menemukan jawaban. Bukankah dia bilang mencintaiku? Kenapa harus pergi tanpa izin? Kenapa malah meninggalkan diriku dengan tumpukan uang? Meski demikian, Ella tidak menyerah. Ia terus mencoba menghubungi. Seperti saat ini, malam sehabis pementasan, Ella memilih meninggalkan pesta perayaan keberhasilan pentas, daripada gagal mencari keberadaan Alexander. Ia sedang duduk di kamar memperhatikan laptop yang tergambar sedikit informasi tentang Alexander. Hanya sedikit, tidak ada media sosial yang ditemukan. Dia sebenarnya siapa? Kemeja yang terkenal muntahan sudah dicuci dan masih tersimpan dengan baik olehnya, tapi itu tidak bisa membantu. "Hiks ... kenapa?" Ella menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Apakah dirinya terlalu berlebihan, tetapi kenangan Alexander terasa membekas. Bahkan dengan Joseph tidak ada apa-apanya. Jadi bagaimana bisa ia tidak merasa kehilangan? Toktoktok ...! "Ella," panggil Rachel. "I ... iya, Mom." Ella segera mengusap air mata di wajahnya. Ia bangun dan membukakan pintu kamarnya. "Ada apa?" "Ada kiriman untukmu." Rachel memberikan amplop putih kepada Ella. Ella menerima amplop tersebut. "Terima kasih." "Kamu terlihat murung sejak kemarin lusa. Apa ada masalah? Apa ada komentar jahat padamu?" "Tidak, aku baik-baik saja. Aku akan membuka amplopnya, pergilah," ucap Ella tersenyum cerah. Dengan rasa khawatir yang masih ada, Rachel akhirnya meninggalkan kamar putrinya. Ella segera menutup pintu dan membuka isi amplopnya. Wanita itu tampak begitu tercengang, bahkan jantungnya berdetak kencang. Ia membaca berulang-ulang kali agar tidak salah menyimpulkan, ternyata isinya tetap sama. Dirinya mendapatkan undangan dari Vagazova University yang berada di Milan, Italia, sebagai mahasiswi transfer. Di sini juga dituliskan bahwa mereka terkesan padanya saat di pementasan dan ingin menarik anak-anak yang berprestasi. Yang paling membuatnya senang adalah ia mendapatkan beasiswa penuh. *** Besok Ella sudah memulai semester baru tentu sebagai mahasiswi transfer di Vagazova University, Italia. Saking senangnya disertai gugup, ia menghadiri pertemuan di club bersama beberapa orang asing. Ella melakukan hal ini agar mendapatkan teman selama di negera orang dan guna meredakan kegugupannya. Entah sudah minum berapa tegukan, Ella merasa isi perutnya ingin segera keluar. Dengan setengah kesadaran Ella pergi ke samping club untuk memuntahkan semuanya. Ia memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing. Seketika kesadarannya hilang. Cahaya matahari masuk menyilaukan mata, secara perlahan Ella membuka kedua matanya. Pandangannya menyapu sekitar yang begitu tampak asing. Rasa pusing di kepala langsung hilang, Ella melompat dari kasur yang ia tiduri. Di mana ini? Apa semalam dirinya tidur di sini? Ella berjalan ke arah pintu, tapi pintunya terkunci. "Hei buka!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Tetap tidak dibuka. Sialan. Ia mengambil sebuah kursi kecil, bersiap-siap melempar ke pintu. Namun, belum sempat kursi dilempar, pintunya mulai terbuka dan memperlihatkan seorang pria. "K ... kau!""Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga
"Argh, apa-apaan kau ini," desis Chloe, menyingkirkan tangan Francesco dari wajahnya.Sejenak, rahang Francesco menegang. Tangannya yang ditolak mengepal, namun ia cepat menguasai diri. Senyuman samar segera muncul di bibirnya. "Aku hanya ingin membantumu.""Mengajakku minum memang membantu. Tapi barusan itu tidak. Kau bukan berniat menolong, kau ... menyukaiku.""Iya," jawabnya tenang. "Apa itu salah?"Chloe terdiam, lalu terkekeh kecil. "Tentu saja salah. Aku ini masih tunangan adikmu. Apa kau benar-benar ingin mengkhianatinya? Kau ingin menyalakan api drama keluarga? Ugh, terlalu merepotkan.""Pertunangan kalian sudah di ujung tanduk. Jadi apa lagi yang perlu dipertahankan?""Ujung tanduk bukan berarti mati!" Chloe menekankan kata-katanya. "Dengar, aku memang cantik. Tapi itu bukan alasanmu untuk menaruh perasaan padaku. Jangan memperumit keadaan. Kita ... hanya main-main."Francesco menyipitkan mata. "Aku punya rencana. Kita bisa mengembalikan keadaan, dan-""Mengembalikan? Lalu a
"Kau serius, Alexander?" tanya Reagan lagi."Ya. Dia hanya seorang wanita. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan besar hanya karena dirinya.""Dan jika suatu hari kau masih menemuinya?""Aku akan menjauhinya. Tidak ada alasan bagiku untuk kembali pada sesuatu yang hanya akan melemahkanku."Reagan mengisap rokoknya dalam-dalam, bara merahnya memercik singkat. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Maka dengar ini, nyawanya akan berada di tanganku saja, karena kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya."Alexander menegang. "Apa maksudmu?""Aku akan melenyapkannya," kata Reagan datar, seolah kalimat itu tak lebih dari keputusan bisnis biasa. "Setuju?"Alexander terdiam. Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga, sementara pikirannya dipenuhi riuh akan kesepakatan mendadak ini."Apa lagi yang harus kau pikirkan?" Reagan menekan suaranya, melihat putranya tampak ragu-ragu untuk pertanyaan mudah. "Nikahi tunanganmu, dan jauhi wanita yang tidak memberi keuntungan. Masalah cinta,
"Tidak. Aku tidak pernah menggunakan perasaan padamu."Ucapan itu sederhana, namun bagi Ella rasanya seperti pisau yang menusuk jantungnya berkali-kali. "Jadi ... kamu sadar perasaanmu ada pada Chloe?""Chloe?" Alexander tersenyum tipis, penuh keremehan. "Aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya."Alis Ella berkerut. "Lalu sebenarnya apa yang kamu inginkan, Alexander?""Aku hanya menginginkan kekuasaan. Bukankah sudah kukatakan itu?"Ella terdiam. Telinganya panas, kepalanya berdenyut. Ternyata orang-orang yang gila akan kekuasaan bukan hanya tokoh dalam drama yang biasa dirinya tonton. Tapi kini, ia berhadapan langsung dengan wujudnya. "Jadi kenapa kau menarik aku dan Chloe ke dalam permainanmu?""Seru. Ini menyenangkan hidupku."Wajah Ella berubah pucat. "Kau ... kau bajingan sampah! Memanfaatkan wanita, apa kau pikir itu membuatmu terlihat hebat?"Alexander mendekat, jemarinya mengelus lembut pipi Ella, kontras dengan kata-katanya yang dingin. "Tidak. Tapi hidup ini ... selalu d
"Kau tidak berhak!""Kenapa tidak?!" balas Chloe dengan mata berkilat marah. "Aku adalah putri keluarga Landtsov. Aku bisa singkirkan jalang itu dengan mudah. Jangan remehkan diriku, Alexander!"Alexander tersenyum tipis. "Baiklah," ucapnya tenang. "Coba lakukan semampumu." Pria itu pun berbalik, melangkah keluar kamar tanpa menoleh sedikitpun."Alexander! Kau mau ke mana?" Chloe menyusul, tumit sepatunya menghantam lantai marmer dengan nada tak sabar.Tak ada jawaban."Alexander! BERHENTI!" Suaranya semakin meninggi, pecah bersama amarah yang menelan habis akalnya. "Katakan padaku apa kekuranganku! Apa yang kulakukan salah?!"Langkah Alexander tetap tak goyah. Tubuhnya kaku, dingin, tegap, seolah Chloe hanyalah bisikan samar yang tertiup angin malam. Hingga akhirnya, pintu lift terbuka. Alexander masuk ke dalamnya, dengan wajah tetap datar serta membisu.Kaki Chloe terhenti tanpa bisa melangkah lagi. Air matanya bergetar di pelupuk, jemarinya mengepal hingga pucat. "Alexander, kembal