Home / Romansa / Terjerat Hasrat Dunia Gelap / Bab 4. Sentuhan Lebih

Share

Bab 4. Sentuhan Lebih

Author: Shenna
last update Last Updated: 2025-02-12 11:41:02

Cengkraman Joseph melonggar. Ella segera melepaskan tangannya tanpa pikir panjang.

"Pria mana yang kau maksud?" tanya Joseph dengan nada tinggi.

Ella menunjuk ke arah Alexander. "Dia. Aku mengenalnya, dan kita akan pergi bersama ... seperti kemarin."

Mata Joseph menyipit. Amarahnya memuncak melihat Ella begitu berani melawan. "Apa kau tuli? Dia sudah bilang tidak tertarik padamu. Jangan meminta seperti pengemis! Lihat aku! Aku di sini!"

"Tadi memang iya," sahut Alexander tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi tajam. Kedua pasang mata langsung menoleh ke arahnya. Pria itu menjatuhkan putung rokoknya, menginjaknya dengan sepatu hitam mengilap, lalu berjalan mendekat. Mata tajamnya sedikit ke bawah karena tinggi Joseph berada di bawahnya. "Tapi sekarang tidak. Wanita ini ... terlihat menarik di mataku jadi kuperintah kau untuk melepaskan tangannya."

"Siapa kau menyuruhku?"

"Siapa kau sampai aku harus memperkenalkan diri?"

"Dia kekasihku jadi jangan ikut campur."

Alexander menoleh Ella. "Benarkah? Apa dia kekasihmu, Nona?"

Ella menggeleng cepat. "Bukan!"

Alexander kembali menatap Joseph. Wajahnya datar. "Kau dengar? Dia bilang bukan. Artinya aku cukup beralasan untuk ikut campur."

Joseph tertawa miring. "Tetap saja kau tak perlu sok jadi pahlawan. Ini bukan urusanmu. Ayo cepat!"

Namun sebelum tangannya sempat bergerak, Alexander telah lebih dulu meraih pergelangan tangannya erat, kuat, dan menghukum.

"ARGHH! LEPASKAN! TULANGKU—!"

Joseph menjerit. Sakit di wajahnya tampak jelas. Genggaman Alexander menekan keras, menimbulkan bunyi tulang yang bergeser.

Ella membeku melihat ketegangan antara dua orang itu. Meski tidak ada pukulan, ekspresi sakit di wajah Joseph sudah cukup membuatnya panik. "Sudah berhenti! Tolong lepaskan." Ella cemas menjauhkan tangan Joseph dari Alexander.

Alexander langsung melepas genggamannya. Joseph jatuh terduduk, lalu bangkit dengan susah payah, memegangi tangannya yang terkulai lemas.

"Sialan kau!" makinya sebelum akhirnya kabur terbirit-birit ke arah tempat ramai.

Bayangan Joseph sudah menghilang. Namun, tubuh Ella masih kaku, matanya menatap kosong ke arah yang sama. Tangan kanannya gemetar, bekas cengkraman Joseph masih terasa nyeri.

Air matanya menggantung di pelupuk mata, tapi ia menahan mati-matian agar tidak jatuh. Harga dirinya terlalu tinggi untuk menangis di depan siapa pun, apa lagi Alexander.

Alexander mengamati dalam diam. Ia melihat betapa Ella sedang menahan rasa takut, marah, kecewa, dan mungkin juga sedih. "Masuklah, akan kuantar."

Ella menatapnya sebentar, ragu. "Tidak perlu."

"Tenang saja, tidak merepotkan." Suaranya tenang tapi tak bisa dibantah. Alexander masuk terlebih dahulu ke dalam mobil.

Setelah beberapa detik diam, Ella melangkah pelan dan masuk ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, udara hangat dari dalam kabin menyeruak, seolah membungkus seluruh dirinya yang mulai menggigil.

Hening menyelimuti mereka selama perjalanan. Lampu-lampu jalan melintas di kaca jendela, membentuk pola bayangan di wajah Ella. Ia duduk kaku, menatap ke luar dengan mata yang mulai berkabut.

Dan saat itulah, butiran hangat akhirnya jatuh juga, satu per satu.

Ia menangis pelan. Tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir di pipinya, sementara ia tetap berusaha menyeka diam-diam dengan punggung tangan.

Alexander melirik sekilas tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya memperlambat laju mobil, seolah memberinya waktu untuk mengeluarkan semuanya.

"Apa dia benar kekasihmu?" tanya Alexander setelah dirasa situasi membaik.

"Mantan."

"Perkataanmu tentang tidak pernah ciuman, membuatku mengira kamu tidak pernah berkencan."

"Entahlah aku juga tidak tau apa itu bisa dikatakan kencan atau tidak, karena hanya bertahan selama dua Minggu."

"Kapan kalian putus?"

"Saat aku berteduh di pohon besar itu seorang diri."

"Jadi hari itu." Alexander mengangguk mengerti. "Apa alasannya?"

"Dia berselingkuh, dan alasan perselingkuhannya sungguh menyebalkan."

"Apa?"

"Dia berselingkuh karena diriku tidak memberikan izin untuk bersentuhan. Dia mengatakan aku wanita naif, kuno, dan bahkan mengutuk bahwa aku tidak akan bisa memiliki pendamping hidup jika tetap berprinsip aneh. Bukankah semua orang bisa bebas melakukan apa pun dalam hidupnya sendiri?" ungkap Ella dengan napas memburu akibat kesal.

"Hmph! Hahaha," tawa Alexander keras.

Ella melototinya, terkejut. Ia juga tidak mengira, ceritanya akan mendapatkan respon seperti ini. "Kenapa tertawa?"

"Peraturanmu itu lucu dan ... aneh."

"Oh jadi Anda membela pelaku?"

Tak terasa mereka sudah sampai di tempat pemberhentian kemarin. Alexander menepikan mobilnya. Lantas menoleh pada Ella. "Ekhm biar kuluruskan. Diriku tidak berada di tim siapa pun. Tapi aku membenarkan keinginan kuno itu."

"Memang salah membuat batasan dalam hubungan?"

"Tidak, hanya saja keinginanmu tidak masuk akal karena kita hidup di dunia nyata bukan di dunia dongeng."

"Intinya Anda setuju dengannya," dengus Ella kesal.

"Mungkin kamu tidak menyadari, namun, dirimu terlalu menarik untuk tidak disentuh."

Ella membeku. Ucapan itu membuat perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu. "Anda pernah bilang diriku tidak menarik."

"Semua manusia pernah menelan ludahnya sendiri," bisik Alexander, lalu mendekat. Jemarinya menyelipkan rambut Ella ke belakang telinga, lalu menyentuh pipinya. "Wajahmu ... standarku."

Semakin dalam Ella menatap Alexander, semakin dirinya tak tahu harus bereaksi apa. Tidak ada jawaban apalagi penolakan, seolah terperangkap. Yang ia rasakan hanya detak jantung yang semakin liar.

"Kurasa aku sudah memiliki perasaan padamu. Bolehkan aku menciummu?" tanya Alexander mengelus bibir Ella.

Melihat tidak ada perlawanan dari Ella, Alexander memiringkan kepala dan menghapuskan jarak diantara mereka. Awalnya ia hanya menempelkan bibir tapi melihat tidak ada tolakan dari lawannya, Alexander pun melanjutkan dengan melumat bibir ranum tersebut.

Namun, ia merasa aneh dengan ciuman kali ini. Alexander tidak merasakan gerakan dari bibir perempuan itu. Ella terus diam dan menutup mulutnya. Alexander menjauhkan sedikit jarak mereka, melihat Ella masih menutup rapat-rapat matanya.

Alexander langsung mengerti alasannya. Ia tidak menyangka bahwa wanita ini begitu tidak tahu apa-apa mengenai sebuah ciuman biasa. Dia ini sebenarnya polos atau bodoh. "Buka mulutmu dan keluarkan lidahnya," ucapnya, lantas kembali menyerbu masuk ke dalam sana.

Walau begitu, ia tetap sedikit tertawa soal gerakan ciuman Ella. "Bagaimana rasanya?" tanya Alexander menyudahi cumbuannya.

"Enak, tapi ... bau rokok."

"Itu bukan bau rokok, tapi rasa rokok."

Mereka diam saling bertukar pandang. Ciuman barusan bukan hanya menyentuh kulit, menyelusup jatuh ke dalam jiwa. Tak mampu bersaing dengan desiran panas yang sedang menggebu-gebu di dalam tubuh mereka.

Secara tiba-tiba, jemari Alexander menyentuh leher jenjang Ella, lalu turun ke dada sesuai garis lurus tubuh, pemberhentian terakhir adalah di perut yang masih tertutup rapat oleh kain. "Boleh aku melangkah lebih jauh?"

Pikiran Ella berkecamuk, ludahnya terasa sulit ditelan. Napasnya sudah tak beraturan, sebelum akhirnya ia mengangguk dengan malu-malu, nyaris tak terlihat. “Orangtuaku juga sedang ... di luar kota."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 132. Terpojok

    Pagi itu, kuliah dimulai seperti biasa. Ella sudah kembali ke kelas, berusaha bersikap normal seolah malam sebelumnya tidak ada apa-apa. Kepalanya masih sedikit berat, tapi ia memaksakan diri. Setelah kelas teori selesai, para mahasiswa dipanggil ke studio latihan untuk evaluasi pentas kemarin malam. Semua berkumpul, termasuk Ella yang tidak ikut tampil. Ia tetap berdiri di barisan belakang seperti biasanya. Beberapa pelatih mulai berbicara panjang dan yang lain fokus mendengarkan. Namun, baru beberapa detik evaluasi ini, rasa mual itu datang menghampirinya lagi. Ella mengerjap, satu tangan otomatis meraih perutnya. Tubuhnya menegang. "Tidak! Jangan sekarang!" batinnya. Gagal! Gelombang itu naik begitu cepat hingga ia nyaris memekik. Ella menutup mulutnya, matanya membesar. Tanpa menunggu izin siapa pun, ia langsung berbalik dan berlari ke luar studio. Ternyata Chloe diam-diam menyadari kepergian wanita itu. Lalu kakinya mundur perlahan ke belakang. Dan sekarang ia b

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 131. Isyarat Malam Itu

    Taksi berhenti tepat di depan gedung. Ella baru sempat membayar, lalu hampir tersandung saking terburu-burunya turun. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk tulang. Dalam hati, Ella memaki dirinya sendiri karena entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing. Ia merogoh tasnya cepat, mengeluarkan surat masuk khusus mahasiswa jurusan tari. Itu adalah tiket gratis yang hanya diberikan oleh pelatih bagi yang terdaftar dalam kelas pertunjukan kampus. Ella menyodorkannya pada petugas. Setelah memeriksa cepat, pegawai itu mengangguk dan mempersilakan masuk. Lampu auditorium meredup. Hampir semua kursi telah terisi. Penonton duduk dengan tubuh tegak, terdiam menikmati adegan yang sedang berlangsung. Ella mencari celah kursi kosong di tengah. Untunglah ada satu kursi kosong. Ia berlari kecil menyelinap masuk, lalu duduk. Namun bukannya bisa bernapas lega dan menikmati pertunjukan, Ella justru sibuk menengok ke kanan, kiri, dan ke belakang. Tidak ada Alexander. Firasatnya

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 130. Hari Pementasan

    Ella menggeser tubuhnya ke samping, turun dari pangkuan Alexander. "Angkatlah."Alexander beranjak, berdiri beberapa langkah agak jauh dari Ella. Wanita itu menatap punggung yang terlihat kokoh itu. Ada perasaan sedih, sebab tahu momen-momen mereka akan segera berakhir. Segala kebiasaan kecil yang selama ini membuatnya nyaman, dipeluk saat tidur, dicium saat baru membuka mata, mencicipi masakan Alexander, atau sekedar berdiam di depan perapian sambil berpelukan. Semua akan kembali seperti yang seharusnya. Berpura-pura sudah saling melupakan.Alexander menempelkan ponsel ke telinganya. "Ada apa?""Aku ingin kamu pulang!""Aku masih di Monaco. Urusannya belum selesai.""Aku tidak bertanya atau meminta. Aku menyuruhmu.""Tapi-""Aku tidak peduli! Pokoknya hari ini atau besok kamu sudah harus kembali."Alexander mengembuskan napas berat, rahangnya mengencang. Ia menoleh sedikit, melirik ke arah Ella yang masih duduk diam di kursi kayu. "Baiklah, aku akan mengusahakan secepatnya pulang."

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 129. Bibir Bengkak

    Hari itu, lebih tepatnya hari kelima sejak mereka tinggal bersama di tempat kecil tersebut. Dan pagi terasa lebih lembut dari hari-hari sebelumnya. Di kursi kayu yang diletakkan di depan rumah, di tengah hamparan rumput hijau yang masih basah oleh embun, Ella duduk di pangkuan Alexander. Posisi favorit terbaru mereka. Ella membelakangi Alexander, tubuhnya bersandar nyaman ke dadanya, sementara kedua lengan pria itu melingkari pinggangnya. Keduanya menghadap sungai yang mengalir tenang, dikelilingi pepohonan rimbun yang sesekali berbisik ketika angin berembus. "Aku tidak menyangka orang sepertimu memiliki selera seperti ini," kata Ella. Alexander menoleh kearahnya. Alisnya terangkat tipis. "Apa maksudmu, orang sepertiku?" "Orang yang tidak memiliki selera baik." "Apa?" Alexander tersenyum sambil menggeleng. "Memang menurutmu, seleraku bagaimana?" "Yang membosankan."

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 128. Larut Bersama

    Alexander langsung menarik wajah Ella dan menghajar bibirnya dengan ciuman yang begitu menekan, bak orang kelaparan. Sampai punggung Ella kembali menghantam dinding.Tangan besar itu naik ke rahang, memaksanya menengadah lebih tinggi. Ia mencium Ella sampai jemari wanita itu mencengkeram bahunya hanya untuk tetap berdiri. Tak ada ruang udara yang memisahkan mereka.Napas Alexander akhirnya pecah, memaksa ciuman itu terputus.Tangan besar itu turun, lalu menarik pakaian Ella dari tubuhnya. Gerakannya cepat dan tergesa, sampai terdengar suara kain robek. Bukan bermaksud kasar, tapi karena ia tidak mau ada apa pun menghalangi pandangannya.Ia ingin melihat Ella apa adanya, tanpa batas.Begitu pakaian terakhir terlepas, pupil mata Alexander membesar, napasnya terhenti sesaat. Air shower yang menetes di tubuh Ella membuat kulitnya berkilau bak pahatan hidup. Dan untuk seribu kalinya malam itu, Alexander kehilangan kata-kata.Kemudian, tangannya terangkat menyapu rambut basah Ella ke belak

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 127. Puncak Pertama

    Tangan Alexander memutar keran shower. Detik berikutnya, air hangat langsung jatuh deras dari atas kepala. Tidak ada yang sempat melepas pakaian. Mereka berdua berdiri tepat di bawah pancuran, membiarkan air menyiram tubuh mereka begitu saja.Ella mendongak sedikit, rambutnya yang basah menempel di pipi. Alexander menatapnya tanpa berkedip, dengan air yang turun dari rahang, ke leher, ke dada, dan ke perut. Pria ini sungguh wujud sempurna dari keseksian, tanpa harus berusaha keras. "Aku ingin ..." Ella meraih kerah kemeja Alexander, menariknya sedikit. "Kita berciuman lagi sebentar, sebelum mandi.""Tentu. Dengan senang hati." Air hangat membasahi bibir mereka saat Alexander menekannya lebih dalam, menelusuri mulut Ella dengan gerakan lambat yang membuat kaki wanita itu hampir lemas. Air terus jatuh di antara mereka, memberatkan pakaian mereka. Tapi ciuman itu membuat segalanya terasa lebih panas daripada air yang menyentuh kulit.Ella mundur tanpa sadar karena tekanan tubuh Alexand

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status