LOGINSebuah mobil Rolls-Royce Phantom melaju di jalan kota Milan, Italia. Di kursi belakang ada Alexander yang sibuk dengan berkas di tangannya dan di depan ada supir serta Lionello-Asisten pribadi Alexander.
Alexander melonggarkan dasinya, ingin menghela napas berat tapi ia tidak ingin menunjukkan rasa lelah kepada orang lain. Matanya menatap ke luar jendela, melihat gemerlap kota Milan di malam hari. "Bukankah di sekitar sini tempat club baru dibuka?" tanya Alexander "Benar, Sir. Clubnya ada di depan sana," jawab Lionello menunjuk ke club yang tidak jauh dari mobilnya berada. "Apa Anda ingin berhenti di sana?" Alexander diam sejenak, sebelum menjawab, "Tidak." Mobil pun terus melaju melewati beberapa bangunan dan sampailah ke club yang dimaksud mereka. Mata Alexander terus memandangi club miliknya yang baru dibangun beberapa Minggu lalu. Namun, pandangnya langsung menemukan sesuatu yang menarik. "Berhenti!" Mobil berhenti tepat di samping club miliknya. Alexander keluar mobil dan melangkahkan kaki ke arah seorang wanita mabuk yang sedang berjongkok mengeluarkan isi perutnya. Alexander ikut berjongkok juga, ia menarik rambut wanita itu ke belakang agar tidak terkena muntahannya sendiri. Beberapa detik kemudian, wanita itu menjatuhkan diri di pelukannya. Tangan Alexandre menyingkirkan helai rambut Wanita itu untuk melihat wajahnya. Ternyata benar, dia adalah Ella Force. Wanita Ballerina yang menjadi teman tidurnya saat di Australia. Ia menggendong sampai ke mobil, lalu membawanya ke mansion. Pagi hari telah tiba, Alexander melihat berbagai makanan tersedia di atas meja makan. "Apa hanya ini buah yang ada?" "Iya, Tuan." "Untuk selanjutnya, siapkan lebih banyak buah yang segar dan-" "HEI BUKA!" teriak perempuan dari salah satu kamar di lantai atas. "Ternyata dia sudah bangun." Alexander berjalan untuk menemui perempuan yang berteriak itu. Memutar kunci pintu dan membukanya. Baru saja terbuka, Alexander sudah melihat Ella sedang mengangkat kursi seperti akan melemparinya. "K ... kau!" Alexander mendekati Ella, mengambil kursi di tangannya. "Kenapa membuat keributan pagi-pagi?" Ella mundur beberapa langkah setelah tersadar dari lamunannya. "Sedang apa kau di sini?" ketus Ella. "Ini mansionku." "Apa? Kenapa aku di sini?" Ella melihat pakaiannya yang berganti entah dari kapan. "Apa yang telah kau lakukan, brengsek?" "Sekarang kau sudah bisa mengumpat kepadaku." "Memang itulah yang harus kulakukan sejak awal." Ella pergi mencari ponsel di kasur, laci, dan seluruh kamar ini. Tapi tidak ada. "Apa kamu mencari benda ini?" Ella melihat tangan Alexander sedang memegang ponsel miliknya. Ia mendekati Alexander untuk mengambil benda persegi panjang tersebut. Belum sempat tangan Ella mengambil barangnya kembali, Alexander langsung membanting ponselnya ke lantai. "Apa yang kau lakukan!" Ella meraih ponselnya yang sudah remuk. Layarnya sudah pasti sudah tidak bisa dinyalakan. Ia menatap tajam Alexander. Apa mau dia sebenarnya? Namun, ia memilih tidak mau berurusan dengan pria ini lagi. Ella langsung berlari keluar kamar. Ia tidak tahu pasti jalan keluarnya tapi, ia langsung menuju ke lantai bawah menggunakan tangga. Saat sudah berada di lantai bawah, dirinya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah ini. Bangunannya sungguh besar dan banyak sekali orang-orang di dalam. Ada banyak perempuan memakai pakaian seperti pelayan dan laki-laki berbadan besar berpakaian serba hitam. Mereka memandang ke arahnya. Tanpa menghiraukan tatapan aneh orang-orang, Ella berlari ke arah yang sepertinya pintu keluar. Ia mendorong pintu besar itu tapi hasilnya nihil. Suara kaki semakin terdengar mendekatinya. Ella memutar tubuhnya dan melihat Alexander berjalan mendekat. Jantungnya berdegup kencang, ia amat sangat ketakutan. Mata Ella segera menemukan pistol yang tak jauh dari dirinya. Dengan gerakan cepat, ia menggenggam pistol itu lalu langsung mengarahkannya ke Alexander. Saat Ella melakukan hal itu, secara bersamaan semua pria berpakaian serba hitam menyodorkan pistol ke arah dirinya. "Apa-apaan ini? Kenapa mereka semua menyembunyikan benda berbahaya di dalam pakaiannya?" batin Ella. "Turunkan," kata Alexander membuat semua orang menurunkan pistol, kecuali Ella. Wanita itu tetap saja mengarahkan pistolnya ke Alexander. "Apa kau tahu cara menggunakannya?" "Kau jangan coba-coba mendekatiku!" Alexander malah tertawa kecil melihat wanita di depannya ini. Ia melangkahkan kakinya mendekati Ella. "Kubilang jangan mendekat!" Tapi pria itu tetap mendekati Ella dengan santai. Seketika Alexander meraih tangan Ella yang menggenggam pistol dan mengarahkan pistolnya ke dahi Alexander sendiri. "Lakukan. Tembak aku." "Kubilang menjauh dariku, bodoh!" "Kenapa aku harus menjauh darimu? Tembak saja, bukankah itu niat awalmu?" "Sebaiknya kau menyingkir dan biarkan aku pergi." "Tidak mau. Cepat lakukan." Keringat dingin keluar dari dahi Ella, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Jika kau ingin keluar maka tembak aku. Itu satu-satunya cara," lanjut Alexander. Ella menutup mata dan langsung menekan pistol itu. Ia tidak apa yang dirinya tekan. Ini adalah cara menggunakan pistol yang diihat dari film. Akan tetapi, anehnya tidak ada suara atau cipratan darah. Pelan-pelan Ella membuka matanya kembali dan masih melihat Alexander dalam posisi yang sama. Keadaan pria ini juga baik-baik saja, tidak ada darah sama sekali. Alexander tersenyum mengejek. Dia terlihat lucu dan bodoh dalam waktu bersamaan. Alexander mengambil pistol dari tangan Ella. Kemudian, menunjukkan magasin kosong. "Lihat? Tidak ada peluru. Kau hanya menipu dirimu sendiri," ledeknya. "Berikan dua peluru," pintanya pada anak buahnya. Salah satu pengawalnya memberikan dua peluru ke tangan Alexander. Ia memasukkan pelurunya ke dalam pistol. Dengan sedikit kasar, Alexander meraih tubuh Ella untuk berada di depannya. Alexander yang berada di belakang menuntun tangan kedua tangan Ella untuk diluruskan ke depan. "Perhatikan baik-baik. Saat kau akan menentukan target, lihat mereka tanpa rasa takut. Jika kau menunjukkan kelemahan maka, targetmu malah akan meremehkanmu." Alexander menaruh pistol di genggaman tangan keduanya. Ia mengarahkan pistol ke vas bunga yang cukup besar. "Pegang pistolnya. Matamu harus fokus ke bagian ujung pistol bukan ke target. Kau bisa memfokuskan ke target tapi target bisa saja hilang-hilangan. Dan tekan pelatuknya." DOR ...! PRANG ...! Terdengar suara tembakan dan pecahan dari vas bunga itu. Ella tidak percaya bahwa pria ini benar-benar akan menembak. "Jangan terkejut, bereaksilah seperti kamu sudah biasa melihatnya. Itu hanya vas bunga, lawan yang akan kau hadapi lebih dari itu, misalnya binatang atau bahkan manusia," ucap Alexander tepat di telinga Ella. Membuat bulu kuduk wanita itu berdiri. Alexander menjauhkan jarak mereka. "Keinginanmu untuk pulang, apa masih ada?" "I ... iya," jawab Ella ketakutan. "Buka pintu dan gerbangnya! Perempuan kecil ini ingin segera pulang." Pintu akhirnya terbuka. Ella bisa melihat halaman rumah ini berada di tempat yang sepi. Seperti di dalam hutan liar. "Kenapa kau diam saja? Keluar dan lindungi dirimu sampai tujuan, dengan pistol yang kau genggam. Ingat, bahwa hanya tersisa satu peluru."Pagi itu, kuliah dimulai seperti biasa. Ella sudah kembali ke kelas, berusaha bersikap normal seolah malam sebelumnya tidak ada apa-apa. Kepalanya masih sedikit berat, tapi ia memaksakan diri. Setelah kelas teori selesai, para mahasiswa dipanggil ke studio latihan untuk evaluasi pentas kemarin malam. Semua berkumpul, termasuk Ella yang tidak ikut tampil. Ia tetap berdiri di barisan belakang seperti biasanya. Beberapa pelatih mulai berbicara panjang dan yang lain fokus mendengarkan. Namun, baru beberapa detik evaluasi ini, rasa mual itu datang menghampirinya lagi. Ella mengerjap, satu tangan otomatis meraih perutnya. Tubuhnya menegang. "Tidak! Jangan sekarang!" batinnya. Gagal! Gelombang itu naik begitu cepat hingga ia nyaris memekik. Ella menutup mulutnya, matanya membesar. Tanpa menunggu izin siapa pun, ia langsung berbalik dan berlari ke luar studio. Ternyata Chloe diam-diam menyadari kepergian wanita itu. Lalu kakinya mundur perlahan ke belakang. Dan sekarang ia b
Taksi berhenti tepat di depan gedung. Ella baru sempat membayar, lalu hampir tersandung saking terburu-burunya turun. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk tulang. Dalam hati, Ella memaki dirinya sendiri karena entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing. Ia merogoh tasnya cepat, mengeluarkan surat masuk khusus mahasiswa jurusan tari. Itu adalah tiket gratis yang hanya diberikan oleh pelatih bagi yang terdaftar dalam kelas pertunjukan kampus. Ella menyodorkannya pada petugas. Setelah memeriksa cepat, pegawai itu mengangguk dan mempersilakan masuk. Lampu auditorium meredup. Hampir semua kursi telah terisi. Penonton duduk dengan tubuh tegak, terdiam menikmati adegan yang sedang berlangsung. Ella mencari celah kursi kosong di tengah. Untunglah ada satu kursi kosong. Ia berlari kecil menyelinap masuk, lalu duduk. Namun bukannya bisa bernapas lega dan menikmati pertunjukan, Ella justru sibuk menengok ke kanan, kiri, dan ke belakang. Tidak ada Alexander. Firasatnya
Ella menggeser tubuhnya ke samping, turun dari pangkuan Alexander. "Angkatlah."Alexander beranjak, berdiri beberapa langkah agak jauh dari Ella. Wanita itu menatap punggung yang terlihat kokoh itu. Ada perasaan sedih, sebab tahu momen-momen mereka akan segera berakhir. Segala kebiasaan kecil yang selama ini membuatnya nyaman, dipeluk saat tidur, dicium saat baru membuka mata, mencicipi masakan Alexander, atau sekedar berdiam di depan perapian sambil berpelukan. Semua akan kembali seperti yang seharusnya. Berpura-pura sudah saling melupakan.Alexander menempelkan ponsel ke telinganya. "Ada apa?""Aku ingin kamu pulang!""Aku masih di Monaco. Urusannya belum selesai.""Aku tidak bertanya atau meminta. Aku menyuruhmu.""Tapi-""Aku tidak peduli! Pokoknya hari ini atau besok kamu sudah harus kembali."Alexander mengembuskan napas berat, rahangnya mengencang. Ia menoleh sedikit, melirik ke arah Ella yang masih duduk diam di kursi kayu. "Baiklah, aku akan mengusahakan secepatnya pulang."
Hari itu, lebih tepatnya hari kelima sejak mereka tinggal bersama di tempat kecil tersebut. Dan pagi terasa lebih lembut dari hari-hari sebelumnya. Di kursi kayu yang diletakkan di depan rumah, di tengah hamparan rumput hijau yang masih basah oleh embun, Ella duduk di pangkuan Alexander. Posisi favorit terbaru mereka. Ella membelakangi Alexander, tubuhnya bersandar nyaman ke dadanya, sementara kedua lengan pria itu melingkari pinggangnya. Keduanya menghadap sungai yang mengalir tenang, dikelilingi pepohonan rimbun yang sesekali berbisik ketika angin berembus. "Aku tidak menyangka orang sepertimu memiliki selera seperti ini," kata Ella. Alexander menoleh kearahnya. Alisnya terangkat tipis. "Apa maksudmu, orang sepertiku?" "Orang yang tidak memiliki selera baik." "Apa?" Alexander tersenyum sambil menggeleng. "Memang menurutmu, seleraku bagaimana?" "Yang membosankan."
Alexander langsung menarik wajah Ella dan menghajar bibirnya dengan ciuman yang begitu menekan, bak orang kelaparan. Sampai punggung Ella kembali menghantam dinding.Tangan besar itu naik ke rahang, memaksanya menengadah lebih tinggi. Ia mencium Ella sampai jemari wanita itu mencengkeram bahunya hanya untuk tetap berdiri. Tak ada ruang udara yang memisahkan mereka.Napas Alexander akhirnya pecah, memaksa ciuman itu terputus.Tangan besar itu turun, lalu menarik pakaian Ella dari tubuhnya. Gerakannya cepat dan tergesa, sampai terdengar suara kain robek. Bukan bermaksud kasar, tapi karena ia tidak mau ada apa pun menghalangi pandangannya.Ia ingin melihat Ella apa adanya, tanpa batas.Begitu pakaian terakhir terlepas, pupil mata Alexander membesar, napasnya terhenti sesaat. Air shower yang menetes di tubuh Ella membuat kulitnya berkilau bak pahatan hidup. Dan untuk seribu kalinya malam itu, Alexander kehilangan kata-kata.Kemudian, tangannya terangkat menyapu rambut basah Ella ke belak
Tangan Alexander memutar keran shower. Detik berikutnya, air hangat langsung jatuh deras dari atas kepala. Tidak ada yang sempat melepas pakaian. Mereka berdua berdiri tepat di bawah pancuran, membiarkan air menyiram tubuh mereka begitu saja.Ella mendongak sedikit, rambutnya yang basah menempel di pipi. Alexander menatapnya tanpa berkedip, dengan air yang turun dari rahang, ke leher, ke dada, dan ke perut. Pria ini sungguh wujud sempurna dari keseksian, tanpa harus berusaha keras. "Aku ingin ..." Ella meraih kerah kemeja Alexander, menariknya sedikit. "Kita berciuman lagi sebentar, sebelum mandi.""Tentu. Dengan senang hati." Air hangat membasahi bibir mereka saat Alexander menekannya lebih dalam, menelusuri mulut Ella dengan gerakan lambat yang membuat kaki wanita itu hampir lemas. Air terus jatuh di antara mereka, memberatkan pakaian mereka. Tapi ciuman itu membuat segalanya terasa lebih panas daripada air yang menyentuh kulit.Ella mundur tanpa sadar karena tekanan tubuh Alexand







