Jemari Ella menggigiti bibirnya, matanya menatap gugup pada gedung menjulang, berdiri angkuh di tengah kota seperti raksasa dari kaca dan baja. Pantulan bulan di jendelanya seolah menantang dirinya untuk berani masuk. "Apa aku benar-benar harus masuk?" ucapnya lirih.
"Iya, Nona. Jika diriku yang masuk hasilnya sama saja tidak ada," jawab Bridger tenang.Ella kembali membuka dompet di pangkuannya, matanya memeriksa setiap kartu dengan teliti. "Tapi aku sudah yakin, tidak ada satu pun yang hilang," gumamnya. Lagi pula, kehilangan satu kartu tidak akan membuat Alexander jatuh miskin. Tapi sikap pria itu? Bisa membuatnya jatuh hancur dalam sekejap."Nona hanya perlu menjelaskan semuanya di dalam. Tuan pasti akan mendengarkan penjelasan Anda."Ella terkekeh getir. "Dia? Mendengarkanku? Bahkan hatinya seperti sudah lama tidak dipakai.""Tenang saja, Nona, ada Lionello, asisten Tuan Alexander. Anda bisa meminta bantuan padanya. Atau ... segera h"Halo," ucap Francesco dengan ponsel yang berada di telinganya. "Di mana kau? Sudah kubilang malam ini aku membutuhkanmu!" perintah si penelpon."Apa kau sudah pulang?""Sudah. Cepat kemari ada hal penting!""Aku akan segera ke sana."Panggilan terputus dari sebrang sana. Ia beranjak dari kursi kerjanya yang terdapat sebuah papan rapi bertuliskan Direktur Eksekutif. Namun, posisi itu hanya sementara karena dirinya-lah yang akan menempati posisi sebagai Direktur Utama di perusahaan ini.Langkahnya mengantarkan tubuh tinggi itu ke lift, lalu turun menuju basement. Mobil mewahnya meluncur keluar dari gedung perusahaan. Namun, pandangannya sempat terhenti.Di sisi jalan, berdiri seorang wanita. Matanya menatap ke arah gedung seperti tengah mengukur jarak antara dirinya dan sesuatu yang tak terlihat. Ella Force, Francesco mengingat namanya. Dia bukan teman, bukan kenalan dekat, melainkan wanita yang kabarnya "dimiliki" oleh
Jemari Ella menggigiti bibirnya, matanya menatap gugup pada gedung menjulang, berdiri angkuh di tengah kota seperti raksasa dari kaca dan baja. Pantulan bulan di jendelanya seolah menantang dirinya untuk berani masuk. "Apa aku benar-benar harus masuk?" ucapnya lirih."Iya, Nona. Jika diriku yang masuk hasilnya sama saja tidak ada," jawab Bridger tenang.Ella kembali membuka dompet di pangkuannya, matanya memeriksa setiap kartu dengan teliti. "Tapi aku sudah yakin, tidak ada satu pun yang hilang," gumamnya. Lagi pula, kehilangan satu kartu tidak akan membuat Alexander jatuh miskin. Tapi sikap pria itu? Bisa membuatnya jatuh hancur dalam sekejap."Nona hanya perlu menjelaskan semuanya di dalam. Tuan pasti akan mendengarkan penjelasan Anda."Ella terkekeh getir. "Dia? Mendengarkanku? Bahkan hatinya seperti sudah lama tidak dipakai.""Tenang saja, Nona, ada Lionello, asisten Tuan Alexander. Anda bisa meminta bantuan padanya. Atau ... segera h
"Kamar itu ... kosong," jawab pelayan dengan ragu. "Bukan itu pertanyaannya. Siapa wanita yang Alexan-" "Nona Chloe," panggil Ben tiba-tiba. Ia berjalan tenang mendekati Chloe, lalu memberi sedikit tunduk hormat. "Maaf menyela, tetapi jika ada yang ingin Anda ketahui, tanyakan saja padaku. Aku kepala pelayan di sini, dan diriku telah bekerja paling lama untuk Tuan." "Orang yang paling lama bekerja biasanya yang paling setia. Tapi yang kubutuhkan adalah kejujuran, bukan kesetiaan membabi buta. Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" "Kalau begitu, tanyakan pada pelayan lain. Orang yang tadi Anda tanyai hanyalah pekerja baru." Chloe terdiam, amarahnya memadat di dada. Kata-kata itu hanya membuat bara di dalamnya semakin menyala. "Anda bisa bertanya pada siapa pun di sini yang-" Gertakan meja memutus ucapannya. Chloe berdiri, meninggalkan ruang makan tanpa menelan sesuap pun sarapan.
"Kukira kamu tidak akan datang setelah semalam pergi begitu saja," ucap Ella pada pria yang baru saja dibukakan pintu."Aku tidak mau mengganggu istirahatmu."Ella mengangguk, ia membalikkan tubuhnya pergi ke dapur. Tangannya menuangkan segelas air hangat. Udara malam ini sangat dingin menempel di kulitnya. Tiba-tiba, Alexander melingkarkan tangan di pinggangnya, bibirnya menebarkan kecupan ringan di telinga, bahu, dan lehernya. "Apa masih mual?" tanyanya sambil mengelus perut Ella."Sedikit, tapi aku sudah minum obat.""Sebenarnya aku ingin lebih memastikan kesehatanmu. Jadi maukah mengeceknya sebentar?" "Mengecek apa?" Alexander mengeluarkan tespek dari kantong jasnya. "Cobalah."Ella menatapnya, terkejut sekaligus panik. "Tespek? Apa maksudmu? A ... aku tidak hamil, jangan meracau!""Kenapa tidak? Kita sering tidur bersama.""Ya tapi membuktikannya dengan tespek terlalu berlebihan. Aku me
"Kau mabuk," ujar Ella pelan."Tidak. Segelas alkohol tidak akan mempan pada diriku.""Chlo- mphh." Bibir Ella terbungkam, direbut Alexander tanpa ampun."Jangan menyebut nama orang lain saat kita berdua, mengerti?" bisiknya, kembali mencium rakus bibir wanita itu.Dalam hitungan detik, tangan nakalnya berhasil memutuskan kaitan bra Ella tanpa kesulitan. Jemari pria itu meremas lembut lekuk yang ia hafal di luar kepala, tidak lupa memainkan putingnya.Sentuhan yang awalnya menjijikkan, kini anehnya tak sepenuhnya terasa buruk.Apakah ini efek alkohol? Atau sesuatu yang tak ingin Ella akui? Entahlah, yang pasti reaksi tubuhnya tidak bisa dibohongi, jika ia mulai menikmati sentuhan kotor Alexander.Drrrttt ...!Suara ponsel Alexander terdengar di telinga dua makhluk yang sedang bercumbu itu. Akan tetapi, keduanya memilih tidak meladeni. Drrrttt ...!Drrrttt ...!Ella tersadar. Ia menjau
TingTong ...!Suara bel memecah kesunyian lorong apartemen. Pintu terbuka, menampakkan wajah Teresa. "Kau?" ucapnya, bingung.Alexander berdiri di sana, datar. "Apa kau ingat diriku? Baguslah."Teresa melongo melihat seorang pria berada di depan apartemennya sambil menenteng tiga paper bag. Ia tidak tahu siapa namanya tetapi Teresa ingat bahwa dia adalah kekasih temannya. "Ini tempatku bukan tempat Ella. Kekasihmu ada di sana," ujarnya menunjuk pintu lain."Aku tahu. Memang kau-lah yang sedang kucari," jawab Alexander.Teresa tertegun. "Tunggu, tunggu! Jangan membuat keadaannya semakin sulit. Ella bisa salah pah-""Aku tidak tertarik padamu." Tanpa basa-basi, Alexander mengangkat satu paper bag bermerek mewah, menyodorkannya ke hadapan Teresa.Ragu melintas di wajah Teresa, tapi kilau merek ternama itu terlalu menggoda. "Untuk ... aku?"Alexander mengangguk.Tangannya menerima dengan ragu, dan