"Berhenti menciumnya. Bercak merahnya akan semakin banyak," protes Ella dengan nada setengah kesal. Sedari tadi, Alexander terus menempelkan bibirnya di pundak dan lehernya, meski mereka baru saja selesai bercinta tiga puluh menit lalu. Rasa geli yang berubah jadi risih, membuatnya menoleh sedikit.
"Tenang saja, ini tidak akan permanen," jawab Alexander sambil terkekeh, masih enggan berhenti menggoda. "Besok ada kelas. Memalukan jika orang-orang melihatnya." "Mereka juga sudah tahu kalau kamu punya kekasih. Wajar jika terselip merah-merah ini." "Tapi kamu bukan kekasihku." Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Gerakan Alexander membeku, matanya terdiam. Kalimat itu menusuk, menelusup ke dalam dadanya. "Ekhm, baiklah, ayo tidur," ujarnya pelan, mencoba menutupi keterkejutan. Ia menarik tubuhnya, tapi tetap melingkarkan lengannya di pinggang Ella. "Apa kamu sudah tidur?" tanya Ella menengok k"Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga
"Argh, apa-apaan kau ini," desis Chloe, menyingkirkan tangan Francesco dari wajahnya.Sejenak, rahang Francesco menegang. Tangannya yang ditolak mengepal, namun ia cepat menguasai diri. Senyuman samar segera muncul di bibirnya. "Aku hanya ingin membantumu.""Mengajakku minum memang membantu. Tapi barusan itu tidak. Kau bukan berniat menolong, kau ... menyukaiku.""Iya," jawabnya tenang. "Apa itu salah?"Chloe terdiam, lalu terkekeh kecil. "Tentu saja salah. Aku ini masih tunangan adikmu. Apa kau benar-benar ingin mengkhianatinya? Kau ingin menyalakan api drama keluarga? Ugh, terlalu merepotkan.""Pertunangan kalian sudah di ujung tanduk. Jadi apa lagi yang perlu dipertahankan?""Ujung tanduk bukan berarti mati!" Chloe menekankan kata-katanya. "Dengar, aku memang cantik. Tapi itu bukan alasanmu untuk menaruh perasaan padaku. Jangan memperumit keadaan. Kita ... hanya main-main."Francesco menyipitkan mata. "Aku punya rencana. Kita bisa mengembalikan keadaan, dan-""Mengembalikan? Lalu a
"Kau serius, Alexander?" tanya Reagan lagi."Ya. Dia hanya seorang wanita. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan besar hanya karena dirinya.""Dan jika suatu hari kau masih menemuinya?""Aku akan menjauhinya. Tidak ada alasan bagiku untuk kembali pada sesuatu yang hanya akan melemahkanku."Reagan mengisap rokoknya dalam-dalam, bara merahnya memercik singkat. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Maka dengar ini, nyawanya akan berada di tanganku saja, karena kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya."Alexander menegang. "Apa maksudmu?""Aku akan melenyapkannya," kata Reagan datar, seolah kalimat itu tak lebih dari keputusan bisnis biasa. "Setuju?"Alexander terdiam. Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga, sementara pikirannya dipenuhi riuh akan kesepakatan mendadak ini."Apa lagi yang harus kau pikirkan?" Reagan menekan suaranya, melihat putranya tampak ragu-ragu untuk pertanyaan mudah. "Nikahi tunanganmu, dan jauhi wanita yang tidak memberi keuntungan. Masalah cinta,
"Tidak. Aku tidak pernah menggunakan perasaan padamu."Ucapan itu sederhana, namun bagi Ella rasanya seperti pisau yang menusuk jantungnya berkali-kali. "Jadi ... kamu sadar perasaanmu ada pada Chloe?""Chloe?" Alexander tersenyum tipis, penuh keremehan. "Aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya."Alis Ella berkerut. "Lalu sebenarnya apa yang kamu inginkan, Alexander?""Aku hanya menginginkan kekuasaan. Bukankah sudah kukatakan itu?"Ella terdiam. Telinganya panas, kepalanya berdenyut. Ternyata orang-orang yang gila akan kekuasaan bukan hanya tokoh dalam drama yang biasa dirinya tonton. Tapi kini, ia berhadapan langsung dengan wujudnya. "Jadi kenapa kau menarik aku dan Chloe ke dalam permainanmu?""Seru. Ini menyenangkan hidupku."Wajah Ella berubah pucat. "Kau ... kau bajingan sampah! Memanfaatkan wanita, apa kau pikir itu membuatmu terlihat hebat?"Alexander mendekat, jemarinya mengelus lembut pipi Ella, kontras dengan kata-katanya yang dingin. "Tidak. Tapi hidup ini ... selalu d
"Kau tidak berhak!""Kenapa tidak?!" balas Chloe dengan mata berkilat marah. "Aku adalah putri keluarga Landtsov. Aku bisa singkirkan jalang itu dengan mudah. Jangan remehkan diriku, Alexander!"Alexander tersenyum tipis. "Baiklah," ucapnya tenang. "Coba lakukan semampumu." Pria itu pun berbalik, melangkah keluar kamar tanpa menoleh sedikitpun."Alexander! Kau mau ke mana?" Chloe menyusul, tumit sepatunya menghantam lantai marmer dengan nada tak sabar.Tak ada jawaban."Alexander! BERHENTI!" Suaranya semakin meninggi, pecah bersama amarah yang menelan habis akalnya. "Katakan padaku apa kekuranganku! Apa yang kulakukan salah?!"Langkah Alexander tetap tak goyah. Tubuhnya kaku, dingin, tegap, seolah Chloe hanyalah bisikan samar yang tertiup angin malam. Hingga akhirnya, pintu lift terbuka. Alexander masuk ke dalamnya, dengan wajah tetap datar serta membisu.Kaki Chloe terhenti tanpa bisa melangkah lagi. Air matanya bergetar di pelupuk, jemarinya mengepal hingga pucat. "Alexander, kembal