Share

3 — Luka Lama, Nafsu Baru

Penulis: Dualismdiary
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-09 14:21:35

Dada Meira masih naik turun cepat. Nafasnya tercekat, tak hanya karena terkejut—tetapi juga karena ciuman itu. Ciuman yang datang tanpa aba-aba, menghantam bibirnya seperti badai yang tak peduli apakah korbannya siap atau tidak.

Hastan… Tuhan, pria itu tak hanya mencium. Ia mengklaim.

Bibirmu bukan lagi milikmu. Nafasmu pun ia ambil.

Dering ponsel tiba-tiba memecah atmosfer panas di antara mereka. Meira berusaha memalingkan wajah, tangannya mendorong dada kokoh itu. Tapi genggaman di pinggangnya justru semakin kencang.

"Ha—Hastan, lepas…," suaranya teredam, terselip di antara desah nafas mereka.

Alih-alih melepaskan, rahang Hastan justru mengeras. Jemarinya menahan tengkuk Meira, memaksa bibir itu kembali berada di bawah kekuasaannya. Lidahnya menyusup, memburu sisa rasa yang tadi sempat terputus.

Dering ponsel itu kembali terdengar. Meira mulai panik. Tangannya kini terjepit di antara tubuh mereka, mencoba memisahkan wajah mereka—namun Hastan semakin membuas, seolah dering itu adalah tantangan yang harus ia menangkan.

Sampai…

"Akh!"

Meira menggigit bibir bawah Hastan dengan cukup keras. Rasa metalik darah langsung memenuhi rongga mulutnya.

Pria itu menegakkan kepala, namun bukan marah yang muncul. Sebaliknya, senyum menyeringai yang nyaris sinis, semburat merah di bibirnya terlihat mencolok di bawah cahaya lampu kamar.

"Masih galak seperti dulu, ya…" suaranya serak, berbahaya.

Dekapan di pinggangnya melonggar. Sekejap kemudian, Meira sudah melesat ke sisi ranjang, meraih ponsel yang masih berdering.

Matanya membeku melihat nama di layar.

Octavian.

Tangannya gemetar. Suara dering itu seakan memukul balik kesadarannya bahwa ia masih terikat oleh satu hal yang tak bisa dihapus begitu saja di pengadilan: status resmi pernikahan mereka.

Hastan sempat melihat sekilas foto profil yang terpampang—Octavian dengan senyum andalannya, bersandar pada mobil sport. Rahang Hastan mengeras, kepalan tangannya membentuk garis otot di lengan.

Meira menelan ludah. Ia geser tombol hijau, layar langsung menampilkan wajah bulat mungil dengan pipi chubby dan rambut sedikit ikal.

“Mama! Mama sudah sampai?” suara riang itu langsung menusuk jantung Meira, membuat setiap otot di tubuhnya melunak.

“Dio…” bibir Meira otomatis melengkung. Namun ia cepat melirik Hastan yang masih berdiri di dekat pintu, bahunya tegak, sorot matanya tajam. Bergegas ia berjalan ke sudut lain kamar, memalingkan tubuh agar pria itu tak masuk ke layar.

“Bagaimana kamu bisa nelpon mama? Kamu sedang sama ayah?” tanya Meira sambil mencoba tersenyum natural.

“Ayah pergi keluar. Nggak tau. Terus aku dikasih HP ayah. Aku bisa nonton mobil balap sepuasnya! Hahaha…” tawa Dio jernih, polos, memecah sedikit tegang di dada Meira.

Tapi juga menyulut kesal. Octavian… lagi-lagi gadget, bukannya main atau ajak ngobrol.

“Sayaang, nggak boleh lama-lama main HP, ya. Sepuluh menit aja.”

“Sepuluh menit aja? Oke! Nanti mataku merah, kan?” Dio mengedip polos.

“Iya. Jadi janji ya, sepuluh menit.”

Sementara Meira fokus pada layar, Hastan mulai melangkah mendekat. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, tapi auranya seperti bayangan yang mengisi seluruh ruangan. Meira melirik cepat—jaraknya tinggal beberapa langkah.

Tangan Meira yang tak memegang ponsel, otomatis terangkat, melambai singkat. Gerakan diam yang jelas: jangan mendekat.

Tapi sorot mata Hastan… seolah ia sedang mempertimbangkan apakah akan menurut atau mengabaikannya.

“Oke mama, aku sayang mama… muah!” Dio mengarahkan ciuman ke layar.

“Mama juga sayang kamu banyak-banyak,” ucap Meira, suaranya melembut, nada keibuan yang jarang muncul di depan orang lain.

Begitu panggilan berakhir, kehangatan dari suara anaknya belum sempat meresap sempurna—bahunya sudah terasa panas.

Hastan berdiri tepat di belakangnya.

Begitu dekat, Meira bisa merasakan denyut darah dari tubuhnya.

Bahunya hangat. Terlalu hangat.

Meira tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang berdiri di belakangnya. Napas itu—dalam, berat, dan nyaris menyentuh kulit lehernya—membuat detak jantungnya berdegup tak karuan.

Ia merapatkan jemarinya pada ponsel yang kini sudah terkunci layar, seolah benda kecil itu bisa menjadi pelindung.

“Hastan… jangan—”

“Apa itu tadi?” suaranya rendah, tapi setiap kata membawa getaran yang menusuk telinga Meira.

“Kamu dengar sendiri. Anakku.”

“Bukan. Maksudku… pria di foto profilnya.”

Meira terdiam sesaat. “Itu urusanku.”

Hastan tertawa pendek, tanpa humor. “Urusanmu? Jadi benar… kamu masih istri orang.”

Nada pada dua kata terakhir itu seperti racun—tidak teriak, tapi cukup untuk membuat darah Meira berdesir kesal.

Ia memutar tubuh, hendak membalas, tapi langkahnya langsung terhenti. Jarak mereka… hanya sehelai napas. Pandangan Hastan membor. Rahangnya mengeras, bibirnya yang masih ada bekas gigitan tadi terlihat memerah dan sedikit bengkak—kontras dengan sorot matanya yang semakin gelap.

“Kamu pikir aku nggak marah?” ia menunduk sedikit, suaranya lebih dalam, seperti nada rendah dari senar bass. “Aku di sini… mencium kamu sampai lupa dunia. Dan ternyata, dunia kamu masih punya laki-laki lain.”

“Itu masa lalu,” balas Meira cepat, tapi nadanya terdengar ragu bahkan di telinganya sendiri. “Aku—kami sudah tidak—”

“Secara hukum, kamu masih. Dan itu…” Hastan mengangkat tangan, jemarinya menyentuh dagu Meira, mengangkatnya agar ia tak bisa memalingkan wajah, “…bikin aku ingin menghancurkan semua batas yang kamu bangun.”

Sentuhan itu bukan kasar, tapi tegas. Meira menelan ludah, mencoba menguasai diri. “Kamu nggak berhak—”

“Berhak atau nggak, Meira…” ujung hidungnya hampir menyentuh milik Meira, “…aku nggak akan berhenti kalau kamu sendiri nggak mau berhenti.”

Napas mereka bertubrukan di udara di antara wajah mereka.

Meira tahu ia seharusnya mundur. Seharusnya menepis tangan itu. Tapi tubuhnya membeku—entah karena marah, takut, atau… sensasi aneh yang berdenyut dari perutnya naik ke dada.

“Kamu… gila.”

“Ya. Gila sama kamu.”

Dan sebelum Meira sempat mengatur kata, Hastan sudah menunduk lagi—hanya kali ini, bukan ciuman brutal. Bibirnya menyentuh pelipis Meira, turun perlahan ke rahang, lalu berhenti di lekukan leher.

Meira menutup mata.

Ada desir yang ia benci karena ia menikmatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan    155 — Di Antara Diam dan Amarah

    Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   154 - Pelarian yang Tertahan

    Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   153 - Rencana di Balik Senja

    Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   152 — Sisa Api di Dalam Diam

    “Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   151 — Denting Rahasia di Antara Napas

    Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   150 - Terkurung di Pangkuan Gelapnya

    Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status