LOGINDada Meira masih naik turun cepat. Nafasnya tercekat, tak hanya karena terkejut—tetapi juga karena ciuman itu. Ciuman yang datang tanpa aba-aba, menghantam bibirnya seperti badai yang tak peduli apakah korbannya siap atau tidak.
Hastan… Tuhan, pria itu tak hanya mencium. Ia mengklaim. Bibirmu bukan lagi milikmu. Nafasmu pun ia ambil. Dering ponsel tiba-tiba memecah atmosfer panas di antara mereka. Meira berusaha memalingkan wajah, tangannya mendorong dada kokoh itu. Tapi genggaman di pinggangnya justru semakin kencang. "Ha—Hastan, lepas…," suaranya teredam, terselip di antara desah nafas mereka. Alih-alih melepaskan, rahang Hastan justru mengeras. Jemarinya menahan tengkuk Meira, memaksa bibir itu kembali berada di bawah kekuasaannya. Lidahnya menyusup, memburu sisa rasa yang tadi sempat terputus. Dering ponsel itu kembali terdengar. Meira mulai panik. Tangannya kini terjepit di antara tubuh mereka, mencoba memisahkan wajah mereka—namun Hastan semakin membuas, seolah dering itu adalah tantangan yang harus ia menangkan. Sampai… "Akh!" Meira menggigit bibir bawah Hastan dengan cukup keras. Rasa metalik darah langsung memenuhi rongga mulutnya. Pria itu menegakkan kepala, namun bukan marah yang muncul. Sebaliknya, senyum menyeringai yang nyaris sinis, semburat merah di bibirnya terlihat mencolok di bawah cahaya lampu kamar. "Masih galak seperti dulu, ya…" suaranya serak, berbahaya. Dekapan di pinggangnya melonggar. Sekejap kemudian, Meira sudah melesat ke sisi ranjang, meraih ponsel yang masih berdering. Matanya membeku melihat nama di layar. Octavian. Tangannya gemetar. Suara dering itu seakan memukul balik kesadarannya bahwa ia masih terikat oleh satu hal yang tak bisa dihapus begitu saja di pengadilan: status resmi pernikahan mereka. Hastan sempat melihat sekilas foto profil yang terpampang—Octavian dengan senyum andalannya, bersandar pada mobil sport. Rahang Hastan mengeras, kepalan tangannya membentuk garis otot di lengan. Meira menelan ludah. Ia geser tombol hijau, layar langsung menampilkan wajah bulat mungil dengan pipi chubby dan rambut sedikit ikal. “Mama! Mama sudah sampai?” suara riang itu langsung menusuk jantung Meira, membuat setiap otot di tubuhnya melunak. “Dio…” bibir Meira otomatis melengkung. Namun ia cepat melirik Hastan yang masih berdiri di dekat pintu, bahunya tegak, sorot matanya tajam. Bergegas ia berjalan ke sudut lain kamar, memalingkan tubuh agar pria itu tak masuk ke layar. “Bagaimana kamu bisa nelpon mama? Kamu sedang sama ayah?” tanya Meira sambil mencoba tersenyum natural. “Ayah pergi keluar. Nggak tau. Terus aku dikasih HP ayah. Aku bisa nonton mobil balap sepuasnya! Hahaha…” tawa Dio jernih, polos, memecah sedikit tegang di dada Meira. Tapi juga menyulut kesal. Octavian… lagi-lagi gadget, bukannya main atau ajak ngobrol. “Sayaang, nggak boleh lama-lama main HP, ya. Sepuluh menit aja.” “Sepuluh menit aja? Oke! Nanti mataku merah, kan?” Dio mengedip polos. “Iya. Jadi janji ya, sepuluh menit.” Sementara Meira fokus pada layar, Hastan mulai melangkah mendekat. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, tapi auranya seperti bayangan yang mengisi seluruh ruangan. Meira melirik cepat—jaraknya tinggal beberapa langkah. Tangan Meira yang tak memegang ponsel, otomatis terangkat, melambai singkat. Gerakan diam yang jelas: jangan mendekat. Tapi sorot mata Hastan… seolah ia sedang mempertimbangkan apakah akan menurut atau mengabaikannya. “Oke mama, aku sayang mama… muah!” Dio mengarahkan ciuman ke layar. “Mama juga sayang kamu banyak-banyak,” ucap Meira, suaranya melembut, nada keibuan yang jarang muncul di depan orang lain. Begitu panggilan berakhir, kehangatan dari suara anaknya belum sempat meresap sempurna—bahunya sudah terasa panas. Hastan berdiri tepat di belakangnya. Begitu dekat, Meira bisa merasakan denyut darah dari tubuhnya. Bahunya hangat. Terlalu hangat. Meira tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang berdiri di belakangnya. Napas itu—dalam, berat, dan nyaris menyentuh kulit lehernya—membuat detak jantungnya berdegup tak karuan. Ia merapatkan jemarinya pada ponsel yang kini sudah terkunci layar, seolah benda kecil itu bisa menjadi pelindung. “Hastan… jangan—” “Apa itu tadi?” suaranya rendah, tapi setiap kata membawa getaran yang menusuk telinga Meira. “Kamu dengar sendiri. Anakku.” “Bukan. Maksudku… pria di foto profilnya.” Meira terdiam sesaat. “Itu urusanku.” Hastan tertawa pendek, tanpa humor. “Urusanmu? Jadi benar… kamu masih istri orang.” Nada pada dua kata terakhir itu seperti racun—tidak teriak, tapi cukup untuk membuat darah Meira berdesir kesal. Ia memutar tubuh, hendak membalas, tapi langkahnya langsung terhenti. Jarak mereka… hanya sehelai napas. Pandangan Hastan membor. Rahangnya mengeras, bibirnya yang masih ada bekas gigitan tadi terlihat memerah dan sedikit bengkak—kontras dengan sorot matanya yang semakin gelap. “Kamu pikir aku nggak marah?” ia menunduk sedikit, suaranya lebih dalam, seperti nada rendah dari senar bass. “Aku di sini… mencium kamu sampai lupa dunia. Dan ternyata, dunia kamu masih punya laki-laki lain.” “Itu masa lalu,” balas Meira cepat, tapi nadanya terdengar ragu bahkan di telinganya sendiri. “Aku—kami sudah tidak—” “Secara hukum, kamu masih. Dan itu…” Hastan mengangkat tangan, jemarinya menyentuh dagu Meira, mengangkatnya agar ia tak bisa memalingkan wajah, “…bikin aku ingin menghancurkan semua batas yang kamu bangun.” Sentuhan itu bukan kasar, tapi tegas. Meira menelan ludah, mencoba menguasai diri. “Kamu nggak berhak—” “Berhak atau nggak, Meira…” ujung hidungnya hampir menyentuh milik Meira, “…aku nggak akan berhenti kalau kamu sendiri nggak mau berhenti.” Napas mereka bertubrukan di udara di antara wajah mereka. Meira tahu ia seharusnya mundur. Seharusnya menepis tangan itu. Tapi tubuhnya membeku—entah karena marah, takut, atau… sensasi aneh yang berdenyut dari perutnya naik ke dada. “Kamu… gila.” “Ya. Gila sama kamu.” Dan sebelum Meira sempat mengatur kata, Hastan sudah menunduk lagi—hanya kali ini, bukan ciuman brutal. Bibirnya menyentuh pelipis Meira, turun perlahan ke rahang, lalu berhenti di lekukan leher. Meira menutup mata. Ada desir yang ia benci karena ia menikmatinya.Lima tahun berlalu sejak kelahiran Aurelia Maheswara. Mansion itu kini dipenuhi oleh suara tawa dua anak kecil dan aroma masakan Meira. Hastan menepati setiap janji dominannya: Meira sukses dengan startup konsultannya yang berbasis work from home, Hastan tidak pernah memiliki sekretaris wanita, dan cinta mereka semakin gelap dan kuat. Dio, kini berusia sembilan tahun, adalah kakak yang protektif dan cerdas. Sore itu, Meira duduk di ruang keluarga, memeluk Aurelia yang kini sudah berusia lima tahun dan baru pulang dari TK. Aurelia, dengan rambut cokelat ikal dan mata tajam yang persis Hastan, sedang bercerita dengan semangat tentang hari di sekolahnya. "Mama, tadi di sekolah," celoteh Aurelia, menunjukkan bando berwarna-warni di tangannya. "Kami membuat prakarya menghias bando. Lihat, ini punyaku bagus, kan?" "Bagus sekali, Sayang," puji Meira. "Terus, ada teman laki-lakiku. Namanya Jonas," lanjut Aurelia. "Dia kasih bando buatannya yang dihias berwarna pink ini ke aku. Dia bil
Waktu berlalu cepat, dipenuhi oleh persiapan Hastan yang tak pernah lelah dan cinta mereka yang semakin kuat. Sembilan bulan berlalu, dan kini adalah H-3 HPL (Hari Perkiraan Lahir) Meira. Hastan benar-benar telah memberikan segala hal yang terbaik untuk Meira. Ia membangun nursery room paling mewah, selalu menemani kelas parenting, dan bahkan secara pribadi memilihkan setiap baju bayi mereka. Meira pun sangat bersyukur dengan Hastan yang selalu menepati janjinya. Kehamilan Meira kali ini sangat berbeda saat ia hamil Dio. Dahulu, Meira lebih banyak mengurus diri sendiri, tidak ada waktu untuk bermanja-manja. Namun, dengan Hastan, Hastan benar-benar menemaninya, membantunya, dan menjaganya—bukan hanya dengan harta, tetapi dengan kehadiran. Satu hal yang tidak berubah: libido Meira benar-benar tinggi selama kehamilan ini. Hastan sangat menyukainya tentu saja, karena ia kerap mendapati Meira tiba-tiba mendudukinya atau berada di atasnya setiap tengah malam, mengklaim Hastan dengan h
Setelah insiden muntah dan tangisan histeris di mansion keluarga Maheswara, Hastan segera membawa Meira dan Dio kembali ke rumah mereka. Hastan menelepon dokter pribadinya yang seorang wanita spesialis kandungan, meminta untuk datang secepatnya. Dio disuruh bermain di ruang keluarga di bawah pengawasan perawat sementara Meira beristirahat di kamarnya, tubuhnya terasa lemas. Tidak lama kemudian, dokter wanita, Dr. Tania, tiba di mansion. Hastan menyambut kedatangan dokter wanita tersebut di pintu, menjelaskan situasinya dengan cepat dan cemas. "Dia sangat sensitif, Dok. Menangis hanya karena cheesecake, dan muntah karena aroma cokelat. Dan, ya, dia sempat menggunakan pil KB," jelas Hastan, tatapannya penuh harapan dan teka-teki. Saat tiba di kamar, Dr. Tania, seorang wanita paruh baya yang tenang, mulai bekerja. Dokter seperti biasa memeriksa tekanan darah Meira, dan detak jantung serta mengajukan pertanyaan mendasar. "Meira, ceritakan apa yang paling mengganggu Anda," tanya Dr
Hastan seketika terkesiap. Matanya langsung terbuka, dan jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh ke bawah. Di sana, Meira sedang berlutut di sisi ranjangnya, dengan mata yang terlihat setengah tertutup—bukan karena kantuk, melainkan karena hasrat buta di tengah malam. Tubuhnya hanya dibalut kaus longgar, memperlihatkan betapa mendesaknya kebutuhan ini. Meira, tanpa bicara, langsung memajukan kepalanya. Ia mulai mengelus-elus batang Hastan yang baru saja ia bebaskan. Sentuhan lembut dan basah di tengah kegelapan subuh itu sontak membuat Hastan melonjak. Batangnya dengan cepat mengeras sempurna dan berdenyut karena sentuhan itu. Hastan melihat Meira menatapnya dengan penuh gairah; tatapan mata gelap yang menginginkan klaim. Ini adalah momen langka di mana Meira memulai inisiatif seperti ini, sebuah kejutan yang mematikan bagi Hastan. "Mmmh, kitten," geram Hastan, merasakan sentuhan Meira yang kini semakin berani. Lalu, Meira tidak membuang waktu. Ia mulai memasukkan batang Has
Tanpa menunda, segera setelah resepsi pernikahan intimate mereka selesai, Hastan membawa Meira pergi. Dio diurus sementara waktu oleh Nayla dan Ibu Maheswara, yang langsung senang mendapat tugas mengurus cucu. Hastan membawa Meira berbulan madu ke Kepulauan Maladewa (Maldives), tetapi bukan ke resor umum. Mereka diantar dengan seaplane khusus menuju sebuah pulau pribadi eksklusif yang Hastan sewa sepenuhnya. Pulau itu hanya berisi satu vila mewah dengan pantai pribadi, kolam renang tak bertepi, dan pemandangan laut biru kehijauan yang menakjubkan. Setibanya di sana, gairah mereka tak terbendung, dan mereka menghabiskan waktu berjam-jam di dalam vila, mengukir klaim dan cinta mereka di setiap sudut kamar. Malam harinya, setelah makan malam mewah yang disajikan di pantai, Meira dan Hastan berbaring di tempat tidur gantung besar di tepi pantai. Suara deburan ombak yang lembut menjadi musik latar, sementara jutaan bintang berkelip di atas mereka. Suasana terasa sangat intim dan dama
Tak lama kemudian, musik lembut dimainkan, menandakan momen yang ditunggu telah tiba. Tiba waktunya Hastan naik ke altar, tempat ia akan menunggu wanitanya. Hastan berdiri tegak, mengenakan tuksedo hitam yang dibuat khusus, yang semakin menonjolkan postur tubuhnya yang tinggi besar dan dominan. Namun, dibalik ketegasan itu, perasaan Hastan bercampur aduk, mendebarkan dan penuh gairah. Semua mata tertuju ke pintu. Hastan menahan napas. Pintu terbuka. Hastan merasakan tenggorokannya tercekat, dan matanya langsung berkaca-kaca terharu. Di sana, Meira muncul. Ia mengenakan gaun A-line yang anggun dan tertutup yang mereka pilih, namun aura seksinya tetap tak terbantahkan. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya dirias lembut, tampak seperti seorang Ratu yang siap diklaim. Meira mulai melangkah ke altar, dituntun oleh Dio yang menggemaskan dengan jas kecil. Dio berjalan dengan bangga, memegang erat tangan Meira. Pemandangan Meira yang berjalan dengan Dio adalah pemandangan keluarga utuh







