Share

4 — Aroma yang Tertinggal

Author: Dualismdiary
last update Last Updated: 2025-08-09 15:07:51

Hastan memojokkan Meira hingga punggungnya menyentuh dinding dingin kamar hotel. Tangannya yang besar dan kokoh menahan di sisi wajah Meira, tubuhnya menunduk mendekat, menciptakan ruang yang nyaris tak ada di antara mereka.

Tanpa peringatan, bibirnya menemukan leher Meira.

Ciuman itu tidak tergesa. Panas. Terukur. Seperti ia ingin menghafal setiap inci kulit itu.

Hastan menarik napas panjang di sela ciuman, menghirup dalam aroma tubuh Meira.

Bukan aroma parfum. Meira memang tidak pernah suka wangi buatan—ia punya sesuatu yang jauh lebih memabukkan. Aroma alami kulitnya yang lembut, samar bercampur wangi sabun mandi, dan… sesuatu yang Hastan tahu bukan semua wanita punya. Feromon.

“Oh God…” gumamnya di sela helaan nafas. “Aroma ini…”

Suara seraknya menyapu gendang telinga Meira, membuat tubuhnya bergetar.

Tanpa memberi kesempatan Meira mundur, Hastan menekan tubuhnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Satu dorongan ringan dari tubuh bidang itu, dan Meira terjatuh di atas kasur. Napasnya tercekat ketika tubuh Hastan menindihnya, lututnya menyusup di antara kaki Meira, menahan gerakan.

Bibirnya kembali menempel di leher Meira, kali ini lebih dalam, seperti ingin meninggalkan tanda kepemilikan yang tak bisa dihapuskan. Nafasnya berat, panas, menyapu kulit Meira. Setiap ciuman adalah gigitan kecil yang membuat jantung Meira berdebar tak karuan.

Tangannya mencoba mendorong bahu bidang itu. “Has… tann… jangan…” ucapnya tertahan, suaranya melemah di ujung.

Tapi tubuhnya tidak sepenuhnya patuh pada pikirannya.

Ada denyut halus di bawah pusarnya, merambat naik, mengacaukan logika yang selama ini ia pegang erat. Denyut yang membuatnya semakin panik—karena ia tahu betapa bahayanya pria ini bagi pertahanan hatinya.

Hastan tidak peduli. Bibirnya terus menelusuri leher, rahang, hingga rahasia di bawah telinga Meira. Jemarinya mulai menyentuh kancing teratas kemeja Meira, siap membuka penghalang tipis itu.

Lalu—

Tok… tok… tok.

Suara ketukan pintu yang cukup keras membuat mereka berdua terhenti. Hastan menahan napas, matanya memejam sepersekian detik, lalu menggeram kesal. Tinju besarnya menghantam kasur di samping tubuh Meira, menciptakan dentuman yang membuat Meira terlonjak.

“Apa?!” suaranya berat, marah.

Dari luar terdengar suara tergesa-gesa seorang prajurit muda. “Letnan Kolonel, maaf mengganggu. Ada laporan mendesak dari bagian intel siber. Anda diminta segera kembali ke markas. Ada serangan siber yang menyasar sistem rumah sakit militer, Pak.”

Hastan menutup matanya sebentar, mengatur napas. “Baik. Tunggu di bawah,” jawabnya datar.

Ia meraih jaketnya, melangkah keluar sebentar, tapi kembali lagi beberapa menit kemudian. Ponselnya tertinggal di atas meja.

Meira masih duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke depan, tangan menggenggam ujung kemeja. Wajahnya campuran antara kaget, kesal, dan… entah. Ia masih mencoba memahami apa yang barusan terjadi.

Hastan berdiri di depannya, tubuhnya menjulang, bayangannya menutupi cahaya lampu. Ia menunduk, mencium singkat kening Meira.

“Aku pergi dulu,” katanya, lalu bibirnya melengkung licik. “Kau masih berhutang padaku.”

Meira memandangnya dengan mata membelalak. “Hutang? Hutang apa?” suaranya nyaris berbisik, bukan karena takut—tapi karena benar-benar tak mengerti.

Tapi Hastan hanya menyeringai dan berbalik pergi, membiarkan pertanyaan itu menggantung.

Begitu pintu menutup, Meira terdiam.

Di kepalanya, potongan-potongan masa lalu mulai bermunculan. Kebersamaan mereka dulu, di SMA… hanya satu minggu singkat. Tidak cukup untuk meninggalkan janji, apalagi hutang.

Namun cara Hastan mengatakannya—penuh keyakinan—membuatnya ragu.

Dan yang lebih membuatnya gusar, bukan hanya kalimat itu yang berputar di kepalanya.

Tetapi juga… aroma tubuhnya yang masih tertinggal di kulit lehernya.

Aroma yang seharusnya ia benci, tapi justru membuat dadanya sesak.

Sial.

Ponselnya yang tergeletak di kasur tiba-tiba bergetar.

Nama yang muncul di layar membuat Meira menghela napas singkat—sepupunya, Aira.

Ia menggeser ikon hijau, menempelkan ponsel ke telinga.

“Ra, project lo kali ini di rumah sakit militer? Hahahaha…” suara Aira di seberang terdengar ceria seperti biasa. “Eh, lo masih inget gak mantan selingkuhan lo waktu SMA… si Hastan? Gue liat di socmed-nya dia, ternyata tentara ya sekarang!”

Meira membeku. Kata “Hastan” itu terdengar seperti peluru yang tepat menghantam jantungnya.

Tawa Aira berlanjut di telinga, tapi Meira sudah kehilangan fokus. Kalau Aira tahu bahwa beberapa menit lalu Hastan—Hastan besar—nyaris melahapnya hidup-hidup di kamar hotel ini, mungkin sepupunya itu akan pingsan duluan… atau malah berteriak kegirangan.

Meira menutup mata, menarik napas dalam.

Ya Tuhan… ini belum berakhir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Den Ikbal
penasaran bangeeet kelanjutannyaaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan    155 — Di Antara Diam dan Amarah

    Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   154 - Pelarian yang Tertahan

    Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   153 - Rencana di Balik Senja

    Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   152 — Sisa Api di Dalam Diam

    “Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   151 — Denting Rahasia di Antara Napas

    Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has

  • Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan   150 - Terkurung di Pangkuan Gelapnya

    Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status