12 Tahun yang lalu...
Bagi Hastan, SMA bukanlah tempat untuk mencari perhatian. Ia lebih suka menepi di lapangan basket atau duduk di belakang kelas, menulis lirik di buku catatan yang jarang ia tunjukkan ke siapa pun. Usianya 18 tahun, kelas dua, dan hidupnya berjalan datar—sampai hari itu, ketika nama seorang siswi baru menggema di aula sekolah. Ravensworth High School sedang mengadakan upacara mingguan. Kepala sekolah memanggil nama: > “Meira Adistya Pramudita. Juara pertama Olimpiade Matematika Nasional dan English Speech Contest tingkat provinsi.”< Langkah-langkah ringan terdengar dari sisi panggung. Dari barisan kelas tiga, seorang gadis maju dengan seragam yang rapi sempurna—rok selutut, kemeja putih yang terlipat tepat di pergelangan, dasi merah marun terselip rapi di bawah blazer. Rambut hitamnya tergerai halus hingga punggung, sedikit bergelombang di ujungnya. Cahaya lampu aula menangkap detail wajahnya—mata teduh namun tajam, seperti menyimpan dunia yang tak semua orang bisa mengerti. Kulitnya pucat alami, bukan pucat sakit, tapi pucat yang memantulkan cahaya. Senyum tipisnya tak berlebihan, namun cukup untuk membuat beberapa siswa laki-laki di sekitar Hastan saling menyikut. “Cantik, kan?” salah satu temannya berbisik. Hastan tidak menjawab. Ia hanya menatap. Bukan hanya karena cantik—tapi karena aura gadis itu berbeda. Ada jarak, ada kesan bahwa ia bukan bagian dari keramaian sekolah ini. Seperti… terlalu cerdas untuk terseret arus biasa. Belakangan ia tahu, Meira sebenarnya tiga tahun lebih muda darinya. Usianya baru enam belas. Namun ia bisa berdiri di kelas tiga SMA karena IQ-nya yang superior, ditambah jalur akselerasi sejak SD. Meira baru pindah dari boarding school khusus perempuan, dan dalam beberapa bulan sudah membawa pulang dua piala besar untuk sekolah ini. Hastan ingat jelas—di momen itu, untuk pertama kalinya, ia merasa ingin tahu lebih banyak tentang seseorang. Bukan sekadar nama, tapi apa yang membuat gadis itu begitu tenang, begitu memukau… seolah dunia di sekitarnya bergerak lebih lambat setiap kali ia lewat. Ravensworth High School adalah sekolah yang sering menjadi sorotan media lokal. Gedungnya menjulang tiga lantai, dikelilingi taman dengan pohon flamboyan yang mekar di musim kemarau. Meja-meja di kantin menghadap ke jendela besar, menampilkan pemandangan lapangan hijau dan suara riuh siswa yang saling berceloteh. Meira baru dua bulan pindah ke sekolah ini. Namun namanya sudah sering terdengar di speaker sekolah—setiap kali ada pengumuman pemenang lomba. Ia yang baru saja keluar dari boarding school khusus perempuan, masih sedikit canggung berbaur dengan suasana sekolah campuran seperti ini. Hari itu, bel istirahat berbunyi nyaring. Kantin dipenuhi antrean panjang siswa, wangi ayam goreng dan sup krim bercampur menjadi satu. Meira berjalan pelan sambil membawa nampan berisi nasi, ayam, dan sup. Ia memilih meja kosong di sudut dekat jendela, lalu duduk. Baru ketika ia hendak menyuapkan makanan, Meira tersadar— Astaga… sendok dan garpunya tertinggal di meja saji. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berharap ada teman sekelas yang bisa dimintai bantuan. Namun semua sibuk mengobrol dan makan. Meira menghela napas kecil, bersiap meninggalkan tempat duduk untuk mengambil sendiri. Saat itu, seseorang melintas di dekat mejanya. Hastan. Pemuda berambut hitam sedikit berantakan itu membawa segelas jus jeruk di tangan kiri, langkahnya santai. Namun matanya menangkap ekspresi ragu Meira, yang duduk dengan kedua tangan di pangkuan dan makanan yang tak tersentuh. Ia berhenti. "Kakak… lupa sendok sama garpu, ya?" tanyanya, nada suaranya ringan tapi penuh kepastian. Meira menatapnya, sedikit kaget dipanggil “kakak” oleh siswa yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya. Ia sempat terdiam, lalu tersenyum tipis. "Iya… aku lupa ambil." Tanpa banyak bicara, Hastan berbalik, berjalan ke meja saji, lalu kembali dengan satu set sendok garpu bersih yang masih dibungkus tisu. Ia meletakkannya di samping nampan Meira. "Nih, biar makannya nggak keburu dingin," ujarnya singkat. Meira menerima dengan kedua tangan, sedikit menunduk. "Terima kasih…," ucapnya pelan, bibirnya membentuk senyum kecil yang tulus. Ada rona merah samar di pipinya. Hastan hanya mengangguk, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Tapi sebelum ia benar-benar meninggalkan kantin, ia sempat berpikir… Senyumnya… bikin kantin jadi terasa lebih hangat. Meira menatap punggungnya yang menjauh, tanpa sadar menggenggam sendok itu sedikit lebih erat sebelum mulai makan.Suara klakson mobil membelah udara malam, nyaring, berulang—hingga membuat beberapa kepala pelayan di rumah Angel menoleh dari jendela. Meira yang semula hendak berbincang sebentar dengan Angel dan Chris sontak menegang. Tatapan Angel yang semula ramah berubah sedikit heran. “Mei, itu Hastan ya?” tanyanya pelan. Meira menelan napas kesal, bibirnya menegang. “Iya…” jawabnya singkat, lalu memaksakan senyum. “Sepertinya dia... buru-buru.” Tanpa sempat menyesap teh yang baru dituangkan Angel, Meira menunduk pada Dio dan mengecup keningnya. “Tidur yang nyenyak, ya sayang. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.” “Ma juga hati-hati di jalan,” jawab Dio riang, melambai. Ia tidak tahu, di balik senyum lembut Meira, ada bara yang siap meledak. Begitu keluar dari rumah, suara klakson itu terdengar lagi—lebih panjang. Meira berjalan cepat menuju mobil, membuka pintu dengan kasar. “Apaan sih, berisik banget tahu?! Nggak bisa sabar sedikit apa?!” serunya sambil menatap kesal ke arah Hastan.
Suasana di ruang tamu keluarga Maheswara terasa berat. Clarissa masih di lantai atas, sementara aroma teh jahe dari dapur tak cukup menenangkan udara yang sejak tadi mencekam. Meira duduk di sofa, diam. Dio bermain di karpet, menyusun balok kayu yang baru dibelikan Nayla. Tapi batinnya… tak tenang sama sekali. Setiap suara langkah dari arah tangga membuat jantungnya berdebar, setiap bisik pelayan terasa seperti gemuruh. Ia tak tahan lagi. 'Aku tidak bisa terus di sini… tidak malam ini.' Meira menghela napas dalam, lalu menoleh ke arah putranya yang sedang menyusun balok menjadi menara tinggi. “Dio,” panggilnya lembut. Anak kecil itu menoleh dengan mata berbinar. “Ya, Ma?” “Kita siap-siap, ya? Malam ini kita tidur di rumah Tante Angel. Tante dan Om Chris baru pulang dari liburan mereka, kamu pasti mau ketemu, kan?” Mata Dio langsung berbinar lebih cerah. “Beneran, Ma? Tante Angel udah pulang? Aku mau banget! Tante Angel pasti bawain aku cokelat!” serunya riang
Sore itu, rumah keluarga Maheswara tampak sibuk. Pelayan lalu-lalang membawa kotak dekorasi dan bunga segar, bersiap untuk acara besar tiga hari lagi — anniversary Tuan dan Nyonya Maheswara. Mobil hitam Hastan meluncur masuk ke halaman dengan elegan, menembus cahaya senja yang keemasan. Dari balik kaca, Meira bisa melihat para pelayan menyambut dengan sopan. Ia menarik napas pelan, berusaha menata wajahnya agar terlihat tenang. Hari itu, ia datang bersama Hastan sepulang kerja, seperti biasanya. Tapi hatinya tidak tenang. Ada sesuatu di udara — sesuatu yang membuat jantungnya terasa berat sejak memasuki gerbang besar itu. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Meira membeku. Di sana, Clarissa sudah duduk manis di sofa empuk berwarna krem, mengenakan gaun maternity sederhana namun elegan. Ia tersenyum hangat—senyum yang tampak begitu wajar di rumah ini, seolah tak pernah ada jarak di antara dirinya dan keluarga Maheswara. “Clarissa sayang, sini, makan dulu sedikit sebelum ke atas,” u
“Kau di mana, Has? Suaramu… agak—aneh.” Suara Clarissa terdengar lagi, lembut, namun kali ini menusuk udara yang baru saja dilalui badai. Hastan menatap layar ponsel di dashboard, lalu menarik napas pelan, seolah baru sadar kembali pada dunia luar. “Aku sedang di parkiran,” jawabnya datar. “Mau pulang. Sudah dulu, ya.” Klik. Sambungan terputus. Keheningan kembali merayap, mengisi setiap sudut mobil dengan sisa napas yang masih belum pulih. Meira masih di pangkuannya. Tak ada lagi perlawanan. Kepalanya lunglai, menyandar di dada bidang itu—seolah semua kekuatan telah direnggut habis dari tubuhnya. Napasnya berat, mata terpejam, wajahnya basah oleh keringat dan sisa air mata. Untuk sesaat, Hastan hanya menatap. Diam. Tatapan itu bukan lagi milik seorang pria yang sedang menaklukkan, tapi seseorang yang seolah tak tahu bagaimana cara berhenti. Ia membuka laci di dashboard, mengambil tisu basah, dan dengan gerakan tenang, membersihkan kulit paha Meira. Sentuhannya ha
Denting nada dering itu masih menggema, menggantung di udara mobil yang mulai berembun. Bunyi sederhana—namun malam seolah bergetar karenanya. Meira membeku. Ujung jarinya gemetar, napasnya tersangkut di tenggorokan. Nama di layar itu bukan sekadar nama; itu ancaman, pengingat bahwa dunia luar masih ada—dan bisa meruntuhkan segalanya hanya dengan satu suara. Clarissa. Hastan tak segera bergerak, hanya diam dengan senyum samar yang sulit ditebak. Tatapannya seperti bayangan api, berpendar di balik iris gelapnya, memantul di kaca depan yang buram. Lalu tanpa memperingatkan, tangannya terulur, menekan tombol di layar besar mobil—layar yang kini menyalakan sambungan panggilan. Suara lembut perempuan itu memenuhi ruang sempit mobil, memecah udara yang sudah terlalu padat oleh napas mereka berdua. “Halo, Has?” Meira tersentak. Seluruh tubuhnya menegang, seolah suara itu datang dari kedalaman neraka yang tak ingin ia dengar. Namun sebelum ia bisa berbuat apa pun, jemari Has
Suara robekan halus itu masih bergema di telinga Meira, bagai tanda bahwa garis batas antara waras dan gila baru saja dilangkahi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun tak beraturan, sementara tatapan Hastan menusuk dalam, tajam bagai bilah yang siap melukai.“Kenapa… harus dengan cara ini, Hastan…” bisik Meira, suaranya bergetar.Hastan tidak menjawab dengan kata. Justru jemarinya yang keras dan panas menyusuri belahan lembah kenikmatan terlarang itu, seolah menuliskan vonis di kulitnya. Tubuh Meira bergetar hebat, setengah ingin mendorong pergi, setengah ingin menyerah saja pada arus liar yang mengikatnya.Hastan menunduk, menciumi bibir Meira dengan brutal, menghisap setiap helaan nafasnya hingga gadis itu tercekik oleh campuran ngeri dan nikmat. Tangan di pinggangnya mengunci, tangan lain menekan tengkuknya, membuat Meira nyaris tak bisa bergerak.Lalu, seolah seluruh dunia bersekongkol dalam kegilaan itu—Hastan mendorong masuk batang keras besarnya ke dalam lembah kenikmatan Meira