Saat ini Stevi sudah berpindah ke ruangannya dia di temani oleh kakak tercintanya. Sang Dokter sudah pergi beberapa menit yang lalu.Gadis itu sudah bisa duduk dengan baik karena efek obat bius sudah sedikit menghilang. Rasa sakit akibat benang yang menyatukan dagingnya sudah mulai terasa."Siapa sebenernya Debora?" tanya Alex. Matanya masih menatap langit-langit kamar Stevi yang dominan berwarna putih.Stevi memutar bola matanya ke atas, apakah Kakaknya tidak mengenali istrinya sendiri? Bukankah dia yang dapat lebih leluasa mempertanyakan siapa jati diri wanita yang dia nikahi."Stevi," panggil Alex dengan anda dingin."Kak, apa kakak tidak bisa bertanya langsung pada orangnya? Bahkan waktu kakak dan Debora lebih banyak dari pada denganku," keluh Stevi dan mulai merebahkan tubuhnya di kasur."Ternyata percuma aku datang ke sini!" Alex bangkit dari duduknya dan hendak melangkah pergi."Selidiki Tuan Michael, sepertinya ada yang tidak beres padanya." Stevi menarik selimut dan menutupi
Lidya menarik napas panjang, dia melempar pandangan ke arah lain. Dengan berat hati bibirnya mulai mengucap satu kata."Dia adalah pemimpin kelompok hitam di negara ini, banyak yang mengincarnya. Sehingga orang yang berada di dekatnya akan selalu di jaga olehnya." Lidya melempar pandangannya kembali ke Debora.Kenyataan ini terlalu lucu untuk di ketahui Debora. Dia benar-benar di permainan oleh takdir. Mana bisa seorang gay memimpin sebuah kelompok hitam, terutama dengan lingkup negara. Ini terlalu konyol untuk di percaya. Debora menggelengkan kepalanya lirih. Bibirnya terbuka mengatup. Dirinya tidak bisa memberi komentar. Entah saat ini dia harus bahagia atau sedih."Mama, kau tidak bercanda?" tanya Debora masih tidak percaya dengan kenyataan ini.Lidya membelai lembut rambut panjang Debora yang berwarna pirang itu. Matanya masih memancarkan keteduhan khas seorang ibu menatap anaknya."Percayalah Alex adalah orang yang baik. Dia hanya sedikit sulit mengungkapkan perasaannya. Lingkun
Alex duduk bersandar di bangku belakang mobil. Angannya melayang kembali ke menit sebelumnya. Dia tidak tau mengapa coretan kecil mampu memberikan rasa haru padanya.Deringan ponsel yang terselip di kantong jasnya membuyarkan lamunan. Dia segera merogoh jas tersebut dan menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan."Ada apa?" tanya Alex dengan suara dingin khasnya."Komjen Desta, ingin menemui Tuan, apakah Anda ingin mengatur waktu?" tanya sekertaris Alex di ujung sambungan."Baiklah. Aku akan kesana sekarang," ucap Alex memutuskan sambungan sepihak.Alex menarik napas panjang. Kenapa banyak orang yang mencari masalah padanya akhir-akhir ini. Apakah dengan pangkatnya dia tidak bisa membereskan masalah mudah seperti ini? Menyebalkan."Kita ke kantor polisi," lanjut Alex memberikan perintah pada sopir.Mobil Alex melaju meninggalkan asrama. Di saat yang bersamaan ada seorang anak kecil yang baru saja tersadar dari tidurnya.Dia mengucek matanya dan memanggil wanita yang masih duduk bers
Alex tidak peduli dengan deringan ponsel yang terus berbunyi. Dia sudah muak melihat orang berpangkat yang mengandalkan jabatannya hanya demi kepentingannya sendiri.Jangan tanya apa yang dilakukan oleh Alex. Pastinya dia memiliki satu alasan untuk membungkam mulut kotor itu. Salah satunya adalah pembunuhan saksi dari aksi bejat salah satu pejabat di negaranya itu.Nyalinya terlalu besar. Alex tidak percaya seorang polisi ecek-ecek mampu mengancamnya.Mobil Alex melaju menuju sebuah jalan yang cukup jauh dari hiruk-pikuk kota. Jalan ini di penuhi pepohonan pinus yang cukup tinggi.Karena cuaca sudah mendekati senja. Beberapa kabur mulai menutupi jalanan yang di lewati. Alex sudah menyiapkan beberapa pistol di balik jasnya.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang hingga bertemu sebuah pertigaan dan memilih untuk berbelok ke arah kanan.Kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Mobil terlah sampai di sebuah bangunan tua yang sudah lapuk.Dindingnya hanya terbuat dari kayu yang
Wanita tersebut memejamkan matanya. Dia tau saat ini tidak akan ada kata maaf untukn ya. Dia sadar betapa bodohnya dia dulu.Meninggalkan seorang yang amat mencintainya demi karir yang saat ini bahkan tidak bisa menolong masa depannya. Dia tau bagaimana perasaan pria yang sedang menodongkan pistol ke kepalanya, sakit. Sakit yang tidak bisa di se,mbuhkan walaupun dengan nyawa.Wanita itu sudah pasrah dengan keadaannya saat ini. Dia memejamkan mata, mencoba mengenang masa lalu yang indah bersama pria yang saat ini tidak dapat sedikitpun memaafkannya.Bayangan indah terputar di benaknya yang menimbulkan peluh haru menetes membasahi pipinya.Rahang tegas yang selalu kaku pada semua orang. Tapi tidak padanya, baginya itu adalah senyuman termanis dan tulus yang pernah dia temui.Semua perhatian yang tertuju padanya. Bahkan dia ingat betul bagaiaman sat dia membatalkan jadwal pertemuannya dengan rekan bisnis hanya untuk membujuknya makan sesuap nasi.Rela memayunginya dari hujan peluru yang
Debora duduk di samping pria yang baru saja masuk kedalam kehidupannya. Dia tidak menyangka hidupnya akan serumit ini. Bahkan tujuan utamanya saja belum tuntas, tapi bayang-bayang kematian sudah menghantuinya.Mungkin dia adalah mafia terlucu di muka bumi ini. Bagaimana bisa ada mafia yang terjebak scandal dengan sesama jenis? Sangat menggelitik.Tapi bila di lihat parasnya juga tidak terlalu buruk. Hanya saja dia jarang senyum jadi terlihat menakutkan. Terlebih rambut tipis yang membingkai wajahnya itu.Debora tidak tau bagaimana ceritanya sang suami yang gagah berani ini bisa mengalami kecelakaan. Meskipun anak buahnya bilang dia tertabrak, ini mustahil. Karena bajunya tadi ada sebuah robekan bekas terbakar.Akan tetapi Debora tidak mau melanjutkan penelitiannya. Membayangkan hidupnya saja dia cukup pusing. Apalagi kabar permata hatinya yang tidak di ketahui keberadaannya.Penjelasan mama mertuanya sudah sedikit melegakan hatinya. Mungkin benar apa yang di katanya. Alex hanya ingin
Kaki Debora merasa begitu lemas. Dia tidak percaya dengan ucapan wanita yang memakai baju pasien tersebut.Dia tau hubungannya dengan Alex hanya sebatas status. Tidak ada rasa di antara mereka. Debora juga tidak tau mengapa dadanya tiba-tiba terasa sesak."Aku akan keluar sebentar," ucap Debora melangkahkan kakinya.Langkahnya terhenti saat tangannya di genggam erat oleh seseorang di belakang. "Selesaikan urusanmu dulu, aku tidak mau menganggu," lanjut Debora menghempas tangan Alex.Debora mengayunkan tangannya kasar dan Alex semakin mempererat cengkeramannya. Debora memutar badannya, kemudian menatap lekat Alex yang ternyata sedang melempar pandangan ke arahnya."Biar aku perjelas masalah ini sekarang," ucap Alex masih tetap menatap Debora."Kenalkan, dia adalah Clara. Seorang wanita yang pernah singgah di hidupku. Bahkan telah memiliki semuanya. Nyawaku, Ragaku, dan cintaku." Alex bangun dari tidurnya.Tangannya masih mencengkram erat tangan Debora sampai meninggalkan bekas merah d
Debora memutuskan untuk pulang dari rumah sakit. Tak ada gunanya lagi dia di sini. Moodnya sudah berantakan.Di saat yang berbeda Lidya melangkah menuju mobil yang mengarah ke kamar putranya. Untuk pertama kalinya seorang Ibu sepertinya mengkhawatirkan kondisi anaknya.Alex sering keluar masuk rumah sakit. Dan percayalah, saat itu pula tubuhnya itu sudah siap menerima peluru lagi. Jadi Lidya tidak pernah mencemaskan Alex.Dia dan senjata seolah saudara yang tidak bisa di pisahkan. Ada alasan lain yang membawa Lidya datang. Yaitu seorang wanita yang saat ini sedang berdiri di samping Alex.Di sudut matanya masih mengalir buliran air bening. Tangisnya tidak membuat hati pria yang duduk di ranjangnya luluh. Beberapa anak buah Alex yang menyamar segera memberi jalan untuk sang Nyonya dan masuk ke dalam ruangan.Saat ini ruangan sudah steril. Hanya ada Alex dan dia orang anak buah kepercayaannya. Satu lagi, wanita yang masih mengemis belas kasihnya."Jadi kenapa kau kembali?" tanya Lidya