LOGINBegitu Laura membuka pintu mobil hitam yang elegan, sebuah wajah familiar menyambutnya dari kursi sopir. Lelaki berkacamata dengan rambut yang sudah memutih di bagian pelipis itu menoleh, dan kerutan di sudut matanya semakin dalam saat ia tersenyum.
Gerald. Pengawal sekaligus sopir setia Reve yang sudah seperti keluarga bagi mereka berdua.“Senang bisa melihat nona Laura,” katanya, suaranya hangat dan ramah.Mendengar suara itu, hati Laura langsung terasa lebih tenang. Gerald adalah salah satu bagian dari kehidupan lamanya bersama Reve, sebuah kenangan baik yang tidak ternoda oleh segala drama dan tragedi. Melihatnya di sini, seolah menguatkan bahwa Reve yang dulu—dan segala sesuatu yang mereka lewati sebelumnya, benar-benar telah kembali.Laura tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca. “Senang melihatmu juga, Gerald. Sudah lama sekali.”“Benar. Sudah terlalu lama, nona,” jawabnya sambil mengangguk hormat. PandangannDi kantornya yang sudah sepi. Hanya lampu meja Laura yang masih menyala, menerangi sketsa-sketsa digital di layar komputernya. Kyle muncul dari balik pintu ruang kerjanya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mendekati meja Laura. “Laura,” suara Kyle memenuhi ruangan. Suaranya membuat Laura menoleh dari layar. “Ya?” Kyle berhenti di samping mejanya, tidak duduk. Ada ketegangan yang berbeda di udara, bukan seperti atasan dan bawahan, tapi seperti dua orang yang terhubung oleh masa lalu yang rumit. “Kau tahu status kita sebenarnya ‘kan?” Kyle berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Kenapa kau tidak ingin kembali?” Laura menutup tabletnya. Dia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat. Dia menarik napas. “Tidak.” Jawabannya tegas. “Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluargamu, Kyle.” Kyle mengerutkan kening. “Tapi kau juga keluarga kami. Selama bertahun-tahun, ibuku memperlakukanmu seperti anaknya sendiri.” Kenangan itu menyakitkan. Laura memandang l
Suasana di klinik Dylan yang biasanya tenang dan steril, pagi itu pecah oleh kehadiran yang tak terduga. Reve berdiri di ruang konsultasi, memakai kemeja sederhana yang menyembunyikan sebagian besar luka-lukanya, meski balutan di kepala masih terlihat. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam dan penuh kehidupan. Saat Dylan memasuki ruangan, secangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. Dia tertegun, tak mampu berkata-kata. Reve tersenyum, mengulurkan tangannya. “Hai, Bro. Sudah lama.” Dylan perlahan mendekat, masih tak percaya. Dia menjabat tangan Reve dengan kuat, seakan memastikan bahwa Reve di depannya adalah nyata. “Bro ... ini benar-benar kamu? Bukannya kamu .....” Suara Dylan tercekat. Selama ini, seperti semua orang, dia percaya Reve telah tiada. Reve tertawa pelan, ada sedikit keringanan di nadanya. “Kau k
Reve mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Ya. Dan aku tahu, alasan apa pun tidak akan pernah cukup. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ... ingin kau tahu kebenarannya.”Laura diam sejenak. Lalu, perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman Reve, dan justru meraih wajah Reve, memaksanya menatap matanya.“Aku marah. Aku sangat terluka. Tapi …” kata Laura.Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku juga mengerti. Dan aku masih mencintaimu, Reve. Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semua ini.”Di sanalah, di ruangan yang dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan luka, sebuah awal yang baru mulai tumbuh. Bukan dari pengampunan yang terjadi begitu saja, tetapi dari kejujuran yang akhirnya terungkap.Dan cinta yang ternyata mampu bertahan bahkan di balik kepalsuan dan pengorbanan yang paling menyakitkan sekalipun.Reve tiba-tiba saja tersedu-sedu. “Aku menyesal karena kita harus keh
Kain perban putih membalut rapi luka di kepala Reve, menjadi kontras yang mencolok dengan wajahnya yang masih dipenuhi debu dan noda darah kering. Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya dari balutan itu, setiap helai kain putih mengingatkannya pada resiko yang baru saja diambil Reve untuknya.Dia menggenggam tangan Reve yang tidak terluka, mengangkatnya, dan meletakkan sebuah ciuman lembut di atas buku-buku jarinya. Air mata masih menggenang di matanya, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang sangat dalam.Laura berbicara dengan suara serak penuh emosi. “Terima kasih, Reve ... terima kasih.”Ucapan itu diulanginya berkali-kali, seolah-olah kata-kata lain sudah tidak cukup. Namun, di balik rasa syukur itu, sebuah pertanyaan besar dan menyakitkan akhirnya mencuat. Pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya sejak tahu Reve masih hidup.Laura menatap Reve, matanya memancarkan kebingungan dan k
Reve menatap detonator itu, darahnya kembali membeku. Gerry sudah mempersiapkan segalanya, sampai ke skenario terburuk ini. Dia terjebak di dalam jebakan.Sekarang, pilihannya bukan lagi tentang pengakuan atau saham. Ini tentang hidup dan mati mereka semua.Waktu seakan melambat. Lampu merah detonator di tangan Alistair berkedip seperti mata iblis yang menantang. Percakapan, ancaman, teriakan, semuanya memudar menjadi desisan putih di telinga Reve. Hanya ada satu tujuan yang harus dilakukannya. Menyelamatkan Laura.Dengan lesatan tenaga yang memuncak, Reve melesat maju. Bukan ke arah Gerry, tetapi melintasi ruangan dengan kecepatan angin, langsung menuju kursi tempat Laura terikat. Tendangannya yang kuat dan terarah menghantam bahu salah seorang preman yang menjaga Laura, membuatnya terlempar.Gerry berteriak. “Jangan!”Namun sudah terlambat. Reve tidak peduli dengan detonator, tidak peduli dengan tembakan yang mu
“Gerry …” bisik Reve.Gerry Crane. Mantan partner bisnisnya. Orang yang pernah dia anggap saudara, sebelum pengkhianatan itu. Wajah yang dulu selalu dihiasi senyum ramah itu sekarang dingin dan tajam seperti pisau. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini kosong dan penuh perhitungan.“Sudah lama, Reve. Atau harusnya aku memanggilmu ‘saudara’?” ucap Gerry dengan sarkasme yang menusuk. “Tapi, kita bukan saudara lagi, bukan? Bukan sejak kau memilih untuk menyelamatkan perusahaan itu dan membiarkanku jatuh.”“Itu bukan pilihan, Gerry. Kau yang menggelapkan dana, kau yang mengambil risiko gila! Aku menyelamatkan apa yang tersisa!” bantah Reve.Gerry mengangkat tangan, menghentikan sanggahan Reve. “Dan hasilnya? Aku kehilangan segalanya. Reputasi, kekayaan, bahkan keluargaku.” Tatapannya beralih ke Laura yang terduduk tak berdaya. “Sekarang, aku akan mengambil sesuatu yang paling berharga darimu. Seperti yang kau lakuk







