Halo pembaca tersayang, bantu support cerita ini dengan kasih ulasan positif dan bintang lima ya
Cahaya lampu sorot dari mobil pengawal menerangi Laura yang digiring paksa keluar gerbang utama. Wajahnya pucat, tapi matanya kering. Air mata sudah terlalu mahal untuk ditumpahkan lagi.Reve berdiri kaku di bawah lampu taman, pipanya masih merah oleh tamparan ayahnya. Namun yang lebih sakit adalah melihat Laura dijauhkan darinya, ditendang dari rumah yang seharusnya menjadi tempatnya merasa aman. “Kau puas, Ayah?” suara Reve tiba-tiba pecah, memecah kesunyian yang tegang.Thomas Dalton memandangnya dengan mata menyala, dipenuhi kemarahan. “Jangan lancang, Reve! Kau sudah mempermalukan kita semua!”Namun Reve tidak mundur. Langkahnya mendekat, suaranya tiba-tiba jadi sangat tenang. Suara tenang yang mengandung maksud lain. “Aku akan menikahi Shara. Tapi dengan dua syarat.”Thomas tertawa sinis. “Kau pikir kau bisa menawar?”“Aku tidak bercanda, Ayah. Ayah tahu ’kan kalau aku menyuruh Daniel untuk me
Laura memutuskan untuk pergi. Dia mengemasi barang-barangnya dalam tas. Perlahan dia lalu berjalan melewati halaman belakang, menuju pintu keluar.Tas kecil itu terasa berat di genggaman Laura, karena beban yang harus ia tinggalkan. Langkahnya cepat dan pasti saat melewati halaman belakang, melewati taman-taman yang dulu menjadi saksi bisu cintanya dengan Reve. Cinta terlarang mereka. Setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca, tetapi hatinya sudah terlalu kebal untuk merasakan sakit.Dan takdir ternyata belum selesai bermain-main dengannya.Dari paviliun taman, asap rokok mengepul dalam kesunyian malam. Reve yang tengah duduk merenung tiba-tiba menangkap gerakan samar di kejauhan. Matanya menyipit, lalu tubuhnya kaku saat mengenali sosok itu. Laura, dengan tas di tangan, berjalan menuju pintu keluar.“Laura!” teriaknya, tetapi angin malam mencuri suaranya.Dia melemparkan rokoknya, berlari seperti orang
Reve membuka mata tepat pukul tiga. Dia menyambar kimono tidurnya, lalu melangkah tanpa alas kaki ke kamar Laura. Laura yang hanya terlelap sesaat segera membuka pintu begitu mendengar suara ketukan di pintu.“Tuan?” katanya.Reve menerobos masuk ke kamarnya. “Tutup pintunya.”Laura mengangguk. Dia memutar kunci pintu kamarnya yang sempit itu.Reve duduk di tempat tidurnya, tangannya melambai pelan pada Laura. “Kemarilah.”Laura berjalan dengan takut-takut, duduk mendekati Reve. Tangan kekar itu segera merangkul pinggangnya hingga dia duduk di pangkuan Reve.“Seberapa parah luka di bibirmu?” tanya Reve.“Saya baik-baik saja. Ini tidak terlalu buruk, Tuan,” jawabnya.“Reve! Panggil aku Reve!” Suara Reve meninggi.Laura mendesah pelan. “Sejujurnya aku ingin mengakhiri ini, Reve.Reve membeku. “Apa maksudmu?”“Kau mencintainya 'kan? K
“Keluar kau, pelayan jalang!” teriakan Shara membuat keheningan di rumah itu seketika terganggu. Pintu kamar Laura terhentak oleh gedoran kasar. Saat Laura membukanya, tamparan keras langsung mendarat di pipi kirinya. Suara itu menggema di koridor sempit, membuat beberapa pelayan yang menyaksikan, termasuk Merry—tersentak kaget. Laura berdiri diam sejenak, tangan menempel di pipinya yang terasa panas. Darah terasa di sudut bibirnya. Dia mengangkat wajah, menatap langsung ke mata Shara yang penuh bara kemarahan. “Berani-beraninya kau menatapku, hah?” Shara memekik, wajahnya yang cantik kini dipenuhi oleh amarah. “Kau tidak tahu posisimu?” Laura hampir tertawa getir, tetapi dia menahannya. Hanya senyum sinis yang muncul. “Apa ada yang bisa saya bantu, Nona Shara? Nona ingin saya membuat hidangan apa lagi kali ini?” “Kau! Kau sengaja, ya!” Shara menjambak rambut Laura, menariknya dengan brutal. Namun sebelum Laura bisa bereaksi, sebuah lengan kekar sudah menahan pergelangan
Matahari pagi menerobos jendela kamar tamu mewah itu, menyinari debu-debu yang berputar dalam sinar emas. Reve membuka pintu dengan wajah masih diliputi sisa kantuk, kimono sutranya terbuka sedikit memperlihatkan dada yang masih membekas jejak cinta semalam. “Tuan, ini gawat!” Argo berbisik dengan suara pelan, matanya melirik ke dalam kamar tempat Laura masih terbaring. “Kenapa?" tanya Reve, suaranya serak. “Nona Shara dan Nyonya Valencia akan kembali hari ini. Dan mereka akan mampir sebentar.” Reve mengerutkan kening, tangan yang awalnya mengusap wajah kini mengepal. “Bukannya itu masih dua hari lagi?” “Katanya ... jadwal pekerjaannya selesai lebih cepat, jadi mereka akan segera kembali,” jawab Argo, matanya sekali lagi mencuri pandang ke arah Laura yang mulai bergerak. Reve menghela napas berat, lalu mengangguk. “Baiklah. Lakukan seperti biasa. Aku akan menunda rencanaku sementara. Bawa kekasihku ke kamarnya.” Argo memasuki kamar dengan langkah hati-hati. Laura terbangu
Mobil hitam mewah milik Reve meluncur mulus di jalanan yang sepi. Di kursi belakang, Reve tak henti-hentinya mengecup setiap jari Laura dengan penuh kelembutan, seolah setiap sentuhan adalah mantra yang bisa menebus semua luka lalu. Matanya tak pernah lepas dari Laura, memandangi wanita yang duduk di sampingnya dengan pandangan penuh rasa kepemilikan dan kerinduan. Argo melirik melalui kaca spion, tangannya menggenggam setir sedikit lebih kuat. “Kita akan segera sampai, Tuan,” katanya. Suaranya datar namun berisi sebuah peringatan halus bahwa mereka hampir tiba di gerbang rumah megah yang penuh mata dan telinga. Namun Reve hanya tersenyum, justru mengangkat tangan Laura dan menempelkannya ke pipi. “Aku mengerti, Argo. Tapi Shara belum kembali. Selama itu, aku bisa bebas dengan kekasihku.” Kata "kekasihku" itu memenuhi udara di antara mereka, tebal dan terdengar lembut di telinga, terasa seperti madu bagi Laura. Laura menunduk, pipinya memerah, tapi tangannya tidak menarik diri.