Share

Bab 7

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-09-04 18:00:58

Argo membuka pintu mobil dengan sikap hormat, kepalanya tertunduk rendah saat Shara melangkah keluar dengan anggun. Gaun sutra warna lavender yang dikenakannya berkilauan lembut di bawah sinar matahari, menciptakan siluet yang sempurna dari seorang wanita dari kalangan elit. Dengan senyum tipis yang dipraktikkan ribuan kali, Argo memandu Shara menuju ruang tamu utama, di mana Reve sudah menunggu dengan pose yang penuh wibawa.

Reve berdiri begitu Shara masuk, wajahnya yang biasanya dingin mencair menjadi senyum yang telah dilatih untuk kesempurnaan. Ia mengambil tangan Shara, menekankan kecupan ringan di atasnya. Sebuah gestur klasik yang penuh dengan nuansa kepemilikan dan kesopanan yang dingin.

“Senang sekali bisa bertemu dengan calon istriku di hari ini,” ujar Reve, suara bass-nya terdengar halus dan memesona, seolah tidak ada jejak kekacauan dan kegelapan yang baru saja terjadi di antara ruang kerjanya dan Laura.  

Shara tersipu, pipinya berwarna merah muda yang kontras dengan gaun lavendernya. Matanya yang besar berbinar lucu saat ia menggamit lengan Reve dengan manja.

“Aku juga sangat merindukanmu, Reve,” jawabnya, suara Shara semanis penampilannya. “Aku sudah tidak sabar untuk membicarakan persiapan pernikahan kita. Ibuku sudah memesan bunga dari Belanda, dan ayahku ingin mengundang lebih banyak tamu dari luar negeri. Nanti ibuku akan mengatur jadwal pertemuan kita, Reve.”

Reve tersenyum, tetapi matanya sesaat melayang ke arah koridor menuju dapur, seolah mencari bayangan seseorang yang tidak ada di sana.

“Tentu, Sayang. Apa pun yang kau inginkan,” katanya.

Dia kembali fokus pada Shara, mengalihkan pikirannya dari bayangan Laura yang mungkin sedang mendengarkan di balik pintu dapur.

Dari balik tirai jendela dapur, Laura memandang pasangan sempurna dan setara itu. Reve dengan setelan jasnya yang sempurna, dan Shara dalam balutan dress sutra lavender yang menggelayut seperti mimpi. Reve mencium kening Shara, tangannya melingkari pinggangnya dengan kepemilikan yang membuat sesuatu di dada Laura mengencang. Tidak, itu bukan kecemburuan. Sama sekali bukan sebuah rasa cemburu, melainkan sebuah kepasrahan yang pahit.

‘Mereka terlihat sangat sempurna,' batinnya, menekan perasaan-perasaan liar yang mencoba memberontak. ‘Nona Shara mencintainya.’

“Laura.”

Laura menegang seketika. Suara Argo menyentaknya dari lamunan. Laura berbalik, berusaha menyembunyikan kepedihan yang mungkin masih terpancar di matanya.

“Ya?” sahutnya.

Argo tersenyum kecil, mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku seragamnya. “Kita dapet uang jajan tambahan. Katanya, kita bisa membeli baju untuk menghadiri pesta pertunangan Tuan Reve dan nona Shara nanti,” katanya.

Argo menyerahkan lembaran uang yang jumlahnya lebih dari bayaran bulanan mereka, suaranya berusaha terdengar riang meski matanya masih bertanya-tanya tentang kesedihan apa yang ada di mata Laura.  

Laura memaksa diri untuk tersenyum dan menerima uang itu. “Syukurlah. Semoga masih ada lebihnya. Terima kasih, Argo.”

Argo menggeleng, lalu berkata dengan nada yang hampir tak percaya, “itu hakmu. Dan kamu tidak akan percaya. Jumlahnya tiga kali lipat dari gaji bulanan kita.”

Laura terbelalak.

Tiga kali lipat.

Angka itu bergema di kepalanya seperti bel gereja.

‘Jumlah itu sama dengan biaya hidup Bi Inah di kampung selama enam bulan. Akhirnya aku bisa membayar utangku, bahkan mengirimnya lebih,’ batin Laura.

“Benarkah?” tanyanya dengan suara lirih.

Argo mengangguk, lalu menepuk bahunya dengan lembut. “Kau bisa beli baju yang bagus untuk pesta nanti.”

Namun Laura tak mendengar kalimat akhir Argo. Pikirannya melayang ke kampung halaman, ke Bi Inah yang sudah menyelamatkannya, ke kehidupan lama yang akhirnya bisa ia tebus dengan uang yang diberikan oleh calon mempelai wanita dari pria yang hatinya masih ia simpan.

Di luar, tawa Shara yang jernih terdengar mengikuti angin, dan Laura menutup mata, mencoba merasakan kebahagiaan untuk mereka. Untuk Reve yang akan menemukan kedamaian, untuk dirinya sendiri yang akhirnya bisa membayar sebuah hutang yang sudah terlalu lama membebaninya.

Namun entah mengapa, di balik semua logika itu, dadanya masih terasa sesak? Mengapa uang di tangannya terasa seperti pisau yang justru menoreh luka baru?

Laura memasukkan uang itu ke saku, memutuskan untuk tidak memikirkannya saat itu. Hari itu, ia akan berbahagia, atau setidaknya, berpura-pura bahagia.

Karena terkadang, kepura-puraan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.

Saat Reve dan Shara berkeliling rumah mewah itu untuk mengatur dekorasi pertunangan mereka nantinya, Laura masih sibuk mengadon kue yang akan dihidangkan sebagai cemilan siang untuk Shara. Shara yang kelelahan meminta Reve untuk beristirahat sejenak.

“Ya. Kalau begitu aku akan bawakan kudapan manis untukmu,” kata Reve.

“Baiklah. Aku tunggu, Sayang.”

Reve melangkah menuju dapur. Membuat Laura yang menunggu kue kering di oven berjingkat karena terkejut.

Aroma manis kue cokelat yang baru dipanggang memenuhi dapur, menciptakan ilusi kenyamanan yang palsu. Laura sedang menunggu oven dengan cemas ketika langkah berat Reve tiba-tiba memecah kesunyian. Gadis itu berjingkat, jantungnya berdebar kencang.

“Laura.”

“Ya, Tuan? Saya sedang memanggang kue cokelat untuk Nona Shara,” katanya cepat, berusaha menutupi kegugupannya.

Reve mendekat, mata keabuannya seolah penuh bara yang membuat Laura ingin mundur. “Cepatlah atau kau akan mendapatkan hukuman dariku.”

“Ampun, Tuan. Tunggulah sebentar lagi. Saya akan mengantarkannya pada Tuan dan Nona Shara begitu matang,” jawab Laura, suaranya gemetar.

Namun Reve tidak peduli. Tangannya tiba-tiba meraih lengan Laura, mendorongnya dengan kasar ke arah kamar kecil di sisi dapur—kamar Laura yang sempit dan sederhana. Pintu tertutup dengan keras, mengisolasi mereka dari dunia luar. 

“Tuan, tolong—”

Protes Laura terpotong ketika Reve mendorongnya ke dinding, tangan kasarnya menggenggam payudaranya dengan kuat melalui kain seragam. Laura meringis, rasa sakit dan keterkejutan membuatnya sulit bernapas.

“Lepaskan, Tuan. Ada yang melihat kita,” rintihnya, mencoba melepaskan diri tetapi terlalu lemah untuk melawan kekuatan Reve. 

Reve mendekatkan wajahnya, nafasnya panas di telinga Laura. “Biarkan mereka melihat,” sergahnya kasar. “Biarkan semua orang tahu bahwa kau pelayanku. Milikku.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 196

    Di kantornya yang sudah sepi. Hanya lampu meja Laura yang masih menyala, menerangi sketsa-sketsa digital di layar komputernya. Kyle muncul dari balik pintu ruang kerjanya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mendekati meja Laura. “Laura,” suara Kyle memenuhi ruangan. Suaranya membuat Laura menoleh dari layar. “Ya?” Kyle berhenti di samping mejanya, tidak duduk. Ada ketegangan yang berbeda di udara, bukan seperti atasan dan bawahan, tapi seperti dua orang yang terhubung oleh masa lalu yang rumit. “Kau tahu status kita sebenarnya ‘kan?” Kyle berhenti, seolah menimbang kata-katanya. “Kenapa kau tidak ingin kembali?” Laura menutup tabletnya. Dia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat. Dia menarik napas. “Tidak.” Jawabannya tegas. “Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluargamu, Kyle.” Kyle mengerutkan kening. “Tapi kau juga keluarga kami. Selama bertahun-tahun, ibuku memperlakukanmu seperti anaknya sendiri.” Kenangan itu menyakitkan. Laura memandang l

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 195

    Suasana di klinik Dylan yang biasanya tenang dan steril, pagi itu pecah oleh kehadiran yang tak terduga. Reve berdiri di ruang konsultasi, memakai kemeja sederhana yang menyembunyikan sebagian besar luka-lukanya, meski balutan di kepala masih terlihat. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam dan penuh kehidupan. Saat Dylan memasuki ruangan, secangkir kopi di tangannya hampir terjatuh. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. Dia tertegun, tak mampu berkata-kata. Reve tersenyum, mengulurkan tangannya. “Hai, Bro. Sudah lama.” Dylan perlahan mendekat, masih tak percaya. Dia menjabat tangan Reve dengan kuat, seakan memastikan bahwa Reve di depannya adalah nyata. “Bro ... ini benar-benar kamu? Bukannya kamu .....” Suara Dylan tercekat. Selama ini, seperti semua orang, dia percaya Reve telah tiada. Reve tertawa pelan, ada sedikit keringanan di nadanya. “Kau k

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 194

    Reve mengangguk, air mata akhirnya mengalir. “Ya. Dan aku tahu, alasan apa pun tidak akan pernah cukup. Aku tidak memintamu untuk memaafkanku sekarang. Aku hanya ... ingin kau tahu kebenarannya.”Laura diam sejenak. Lalu, perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman Reve, dan justru meraih wajah Reve, memaksanya menatap matanya.“Aku marah. Aku sangat terluka. Tapi …” kata Laura.Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku juga mengerti. Dan aku masih mencintaimu, Reve. Mungkin itu yang paling menyakitkan dari semua ini.”Di sanalah, di ruangan yang dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan luka, sebuah awal yang baru mulai tumbuh. Bukan dari pengampunan yang terjadi begitu saja, tetapi dari kejujuran yang akhirnya terungkap.Dan cinta yang ternyata mampu bertahan bahkan di balik kepalsuan dan pengorbanan yang paling menyakitkan sekalipun.Reve tiba-tiba saja tersedu-sedu. “Aku menyesal karena kita harus keh

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 193

    Kain perban putih membalut rapi luka di kepala Reve, menjadi kontras yang mencolok dengan wajahnya yang masih dipenuhi debu dan noda darah kering. Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya dari balutan itu, setiap helai kain putih mengingatkannya pada resiko yang baru saja diambil Reve untuknya.Dia menggenggam tangan Reve yang tidak terluka, mengangkatnya, dan meletakkan sebuah ciuman lembut di atas buku-buku jarinya. Air mata masih menggenang di matanya, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang sangat dalam.Laura berbicara dengan suara serak penuh emosi. “Terima kasih, Reve ... terima kasih.”Ucapan itu diulanginya berkali-kali, seolah-olah kata-kata lain sudah tidak cukup. Namun, di balik rasa syukur itu, sebuah pertanyaan besar dan menyakitkan akhirnya mencuat. Pertanyaan yang telah menggerogoti pikirannya sejak tahu Reve masih hidup.Laura menatap Reve, matanya memancarkan kebingungan dan k

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 192

    Reve menatap detonator itu, darahnya kembali membeku. Gerry sudah mempersiapkan segalanya, sampai ke skenario terburuk ini. Dia terjebak di dalam jebakan.Sekarang, pilihannya bukan lagi tentang pengakuan atau saham. Ini tentang hidup dan mati mereka semua.Waktu seakan melambat. Lampu merah detonator di tangan Alistair berkedip seperti mata iblis yang menantang. Percakapan, ancaman, teriakan, semuanya memudar menjadi desisan putih di telinga Reve. Hanya ada satu tujuan yang harus dilakukannya. Menyelamatkan Laura.Dengan lesatan tenaga yang memuncak, Reve melesat maju. Bukan ke arah Gerry, tetapi melintasi ruangan dengan kecepatan angin, langsung menuju kursi tempat Laura terikat. Tendangannya yang kuat dan terarah menghantam bahu salah seorang preman yang menjaga Laura, membuatnya terlempar.Gerry berteriak. “Jangan!”Namun sudah terlambat. Reve tidak peduli dengan detonator, tidak peduli dengan tembakan yang mu

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 191

    “Gerry …” bisik Reve.Gerry Crane. Mantan partner bisnisnya. Orang yang pernah dia anggap saudara, sebelum pengkhianatan itu. Wajah yang dulu selalu dihiasi senyum ramah itu sekarang dingin dan tajam seperti pisau. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini kosong dan penuh perhitungan.“Sudah lama, Reve. Atau harusnya aku memanggilmu ‘saudara’?” ucap Gerry dengan sarkasme yang menusuk. “Tapi, kita bukan saudara lagi, bukan? Bukan sejak kau memilih untuk menyelamatkan perusahaan itu dan membiarkanku jatuh.”“Itu bukan pilihan, Gerry. Kau yang menggelapkan dana, kau yang mengambil risiko gila! Aku menyelamatkan apa yang tersisa!” bantah Reve.Gerry mengangkat tangan, menghentikan sanggahan Reve. “Dan hasilnya? Aku kehilangan segalanya. Reputasi, kekayaan, bahkan keluargaku.” Tatapannya beralih ke Laura yang terduduk tak berdaya. “Sekarang, aku akan mengambil sesuatu yang paling berharga darimu. Seperti yang kau lakuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status