Share

Bab 6

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-08-18 12:08:09

Reve mengangkat wajah, matanya menyipit menahan sinar pagi yang mulai menerobos jendela. “Apa yang kau inginkan sampai harus memanggilku dengan sebutan itu, Gerald?”

Gerald meletakkan tas kulitnya di atas meja yang masih bersih dari pecahan, tepat di sebelah cangkir kopi buatan Laura. “Keluarga Shara menanyakan progress persiapan acara. Mereka ingin memastikan bahwa tidak ada halangan apa pun.”

Mata lelaki berkacamata itu sekali lagi mengamati keadaan ruangan. Dan kali ini, ada sedikit dugaan dalam diamnya.

Reve tertawa getir. “Katakan pada mereka tidak ada halangan. Semua akan berjalan sesuai rencana.”

“Baik,” Gerald mengangguk, tetapi belum beranjak pergi. Matanya sekarang tertuju pada perban di tangan Reve. “Apakah Anda membutuhkan dokter? Luka itu terlihat—”

“Tidak,” sela Reve dengan segera. “Sekarang keluarlah.”

Namun sebelum Gerald berbalik, pandangannya tertangkap sesuatu. Sepotong kecil kaca yang masih berceceran di dekat kaki Reve, dan di atasnya, setitik darah yang masih segar. Sebuah fakta yang akan ia laporkan nanti, karena itulah tugasnya. Mengawasi, dan melaporkan apa yang dilihatnya.

Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Reve sendirian lagi dengan monster-monsternya. Dan kali ini, dia tahu, pertarungannya bukan hanya melawan sosok masa lalu, tetapi juga terhadap masa depan yang sudah dijalin terlalu rapat untuk diurai kembali.

Laura mengetuk ruang kerja Reve seperti biasa, dengan baki berisi secangkir kopi panas tanpa gula.

“Masuk.”

Bau amis darah langsung menyergap penciuman Laura begitu ia mendorong pintu kayu mahoni yang berat. Matanya berkedip-kedip, berusaha menyesuaikan diri dengan pemandangan chaos di ruang kerja yang biasanya sempurna itu.

Pecahan kaca bertebaran seperti bintang-bintang yang jatuh, dan di tengahnya, noda-noda darah kering membentuk pola abstrak yang mengerikan di atas marmer yang mengilap.

Reve duduk di belakang mejanya, wajahnya pucat dan mata yang biasanya tajam sekarang kosong. Tangan kanannya dibalut perban putih yang sudah ternoda darah di beberapa tempat.

“Tuan, apa yang terjadi?” tanya Laura, suaranya gemetar menahan takut sekaligus kekhawatiran.

Reve mengangkat wajah, matanya berbinar aneh dalam cahaya pagi yang masuk dari jendela. “Aku bertarung dengan monster,” jawabnya dengan suara parau.

Laura meletakkan baki kopi dengan hati-hati, menghindari pecahan kaca. “Monster?”

“Yang di cermin,” Reve tertawa pelan, menunjukkan tangannya yang terluka. “Tapi kurasa dia masih saja jadi pemenangnya.”

Tanpa berpikir panjang, Laura bergegas mengambil sapu dan pengki dari sudut ruangan. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai membersihkan pecahan kaca, setiap sentuhan tangannya penuh kelembutan yang kontras dengan kekerasan yang terjadi semalam.

“Jangan!” Reve tiba-tiba berseru.

“Biarkan ... biarkan aku melihat ini. Sebagai pengingat.”

Laura berhenti, menatap lelaki itu dengan mata penuh pertanyaan. “Tuan, ini berbahaya. Anda bisa terluka lagi.”

“Aku sudah terluka, Laura,” bisiknya.

Matanya tak lepas dari pecahan kaca yang berkilauan. “Luka yang tidak akan sembuh dengan salep atau perban.”

Dia berdiri, berjalan mendekati Laura dengan langkah goyah. “Kau lihat? Ini yang terjadi ketika aku mencoba melawan takdir. Darah dan pecahan kaca. Selalu berakhir dengan darah dan pecahan kaca.”

Laura ingin memeluknya, memeluk lelaki itu. Ia ingin menyembuhkan luka yang tidak bisa dilihatnya. Namun tangannya hanya menggenggam sapu lebih kuat, mengingatkan dirinya pada tempatnya.

Di luar, sinar matahari pagi mulai menerangi ruangan, menyinari kehancuran dan dua jiwa yang sama-sama terluka. Satu dengan luka yang terlihat, satu dengan luka yang tersembunyi jauh lebih dalam.”

“Lakukan pekerjaanmu tanpa menyentuh apa pun,” kata Reve.

Suara itu membuat Laura mengangguk patuh. Setelah membersihkan ruangan tanpa membereskan pecahan kaca di sana, Laura meninggalkan ruang kerja Reve, kembali pada pekerjaannya.

Tak lama berselang, sebuah ketukan hati-hati di pintu kayu yang setengah terbuka memecah kesunyian ruangan. Reve tidak perlu mengangkat pandangannya dari tumpukan dokumen yang terpencar di mejanya untuk mengetahui siapa itu. Hanya satu orang di rumah ini yang mengetuk dengan pola tiga kali yang begitu sopan namun tegas.

“Masuk,” gumamnya, suara bassnya terdengar berat dan lelah.

Argo melangkah masuk, seragam sopirnya masih rapi meski wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Matanya dengan cepat menyapu keadaan ruangan. Pecahan kaca yang belum sepenuhnya bersih, noda kecoklatan di marmer, dan tuannya yang duduk dengan bahu yang tampak menanggung beban sangat berat.

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Reve tanpa melihatnya, jarinya menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut.

Argo berdiri tegak, tangannya tergenggam di belakang punggung. “Tuan, saya ingin menyampaikan kalau Nona Shara akan datang. Mobilnya sudah terlihat di gerbang utama.”

Reve menghela napas panjang, matanya akhirnya terpejam sejenak. “ Baiklah,” ujarnya, suaranya datar dan tanpa emosi. “Sambut dia seperti biasa.”

Namun sebelum Argo berbalik untuk pergi, Reve menahan nya dengan satu kalimat pendek. “Dan satu lagi Argo ....”

“Ya, Tuan?”

“Pastikan Laura tidak berada di sekitar area depan rumah hari ini.”

Argo mengangguk pelan, pemahaman dan sedikit belas kasih terpancar di matanya. “Sudah saya atur, Tuan. Nona Laura sedang membersihkan kebun belakang sekarang.”

Reve mengangguk singkat, lalu kembali menatap dokumen-dokumennya.

“Kenapa kertas-kertas sialan ini tidak ada habisnya?” Ia membentak, seolah-olah dengan kalimat cukup keras itu, semua dokumen akan menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri.

Ketika pintu tertutup, Reve membiarkan kepalanya jatuh ke tangan nya. Di kejauhan, suara mobil mewah yang mendekat sudah bisa terdengar, membawa serta masa depan yang telah ia pilih, dan masa lalu yang terus menghantuinya.

“Shara ….”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 108

    Argo mencoba membuka pintu kamar itu. Namun, Laura masih tak bergeming. Pria itu khawatir, dan mendorong paksa pintu kamar Laura.Argo membeku di ambang pintu, jantungnya serasa berhenti berdetak. Pemandangan di depan matanya membuatnya hancur. Laura berdiri telanjang di depan cermin, tubuhnya gemetar, rambut cokelatnya yang indah terpotong tidak rata dan berantakan. Di tangannya, sebilah gunting masih tergenggam erat.“Laura!” teriak Argo, suaranya pecah oleh kepanikan dan rasa sakit.Dia bergerak cepat, meraih selimut dari tempat tidur dan langsung membungkus tubuh Laura dengan erat, menariknya menjauh dari cermin dan gunting itu. Laura tidak melawan, tubuhnya lemas dan terguncang, isak tangisnya akhirnya meledak.“Argo ... Aku ... Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku,” Laura merintih, bersembunyi di pelukan Argo. “Ada suara ... suara-suara itu terus bergema di kepalaku ... suara-suara itu menyiksaku ….”Argo

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 107

    Sejak proses penyembuhan Reve ditangani oleh dokter Caleb, Shara belum bertemu dengannya. Bahkan setelah jatuhnya kerajaan bisnis Thomas Dalton di pasar saham, Shara belum menemui suaminya itu.Hari itu, berbekal penasaran dan sedikit harapan, Shara memutuskan untuk mengunjungi Reve di rumah sakit Harapan Baru. Saat dua orang perawat membawanya ke ruangan Reve, Shara merasakan aira berbeda dari sosoknya.‘Sosok yang dingin itu kembali,’ pikirnya.Shara berdiri di sana, di depan Reve yang duduk dengan tenang, wajahnya terlihat lelah. Shara telah mempersiapkan dirinya untuk kemarahan, untuk penolakan, bahkan untuk kebencian dari Reve, tetapi bukan untuk hal itu. Bukan untuk sebuah kejujuran yang dingin dan tanpa emosi.“Maaf, Shara,” ucap Reve, suaranya datar, seperti pembaca berita melaporkan cuaca. “Aku tidak mencintaimu. Pernikahan kita adalah pernikahan bisnis.”“Kenapa, Reve?” Shara mencoba bertanya alasannya,

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 106

    Argo berdiri di kejauhan, menyaksikan adegan itu dari balik kerumunan. Dia tidak merasa senang. Sebaliknya, ada rasa hampa yang menyesakkan dalam hatinya.Langkah yang sudah dilewatinya adalah kemenangan untuk Ana, untuk Reve, untuk Laura, dan untuk keadilan. Namun kemenangan kecil itu adalah kemenangan yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Cinta seorang wanita, jiwa seorang pria, dan nyawa seorang wanita yang pernah dicintainya.Argo memutar tubuhnya dan berbalik pergi, meninggalkan keributan itu. Pekerjaannya di sana sudah selesai. Sekarang, saatnya untuk menghadapi konsekuensi dari kemenangan pahit itu dan mencoba memperbaiki apa yang masih bisa dia selamatkan. Setidaknya, dia harus berada di sisi Laura.***Di sebuah ruangan yang tenang di rumah sakit jiwa Harapan Baru, Reve duduk dengan postur sedikit membungkuk. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela, menerangi debu-debu yang menari pelan di udara. Suasana

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 105

    Irene menyatukan dokumen-dokumen itu dengan gerakan tegas, suaranya dingin dan profesional. “Thomas. Anda bisa menyangkal semuanya. Tapi semua bukti ini jelas," katanya, menatapnya tanpa emosi. “Rantai bukti ini sudah lengkap. Anda memiliki motif, kesempatan, kekuasaan. Dan bukti-bukti yang kami dapatkan ... semuanya mengarah pada Anda.”Argo melangkah lebih dekat ke arah Thomas. Dia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang penuh bara dari dendam yang selama ini dipendamnya. “Saya tidak bisa membiarkan Anda hidup tenang,” katanya, matanya membara dengan amarah yang tertahan selama bertahun-tahun, “sedangkan nama baik Ana masih tercoreng. Dia bukan pelacur rendahan. Dia adalah seorang wanita yang mencintai anak Anda, dan Anda merenggut nyawanya.”Argo berdiri tegak, menatap Thomas yang mulai goyah. “Saya bersumpah, pada jiwa Ana, bahwa saya akan selalu mengejar Anda. Di pengadilan, di penjara, bahkan sampai ke neraka sekalipun. Saya tidak akan berhe

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 104

    Reve membuka matanya perlahan. Dan kali ini, bukan dengan tatapan kosong. Sebuah api menyala di kedalaman pupilnya. Api kemarahan yang terlihat lebih besar dari apa yang ada di bayangannya. Dan dia merasakan hal itu sepenuhnya miliknya.“Aku marah …” ujarnya, suaranya rendah dan bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku marah karena ... karena aku merasa dikhianati.”Reve menatap tangannya yang masih mengepal, seolah bisa melihat batu kemarahan itu di telapak tangannya.“Oleh siapa, Reve? Siapa yang berkhianat?” tanya Caleb dengan lembut, membimbingnya.Reve menggeleng, frustrasi karena tidak bisa memberitahu nama seseorang atau hal apa yang membuatnya merasa dikhianati dan marah. “Aku tidak tahu! Tapi … rasanya seperti ... seperti ada yang mengambil sesuatu dariku. Sesuatu yang sangat berharga.” Dia menatap Caleb, matanya penuh penderitaan. “Seperti ada yang masuk ke kepalaku dan ... mencuri diriku.”

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 103

    Caleb menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Reve, menciptakan ruang yang lebih intim di dalam ruang interogasi yang steril dari orang selain Argo dan Irene. Suaranya lembut, seperti seorang teman yang siap menjadi pendengar untuk cerita Reve.“Baiklah, Reve. Mari kita tinggalkan foto ini untuk sementara,” ujarnya, dengan sengaja menggeser foto Ana ke samping. “Mari kita fokus pada Laura. Katakan padaku tentang dia. Apa hal pertama yang muncul di pikiranmu ketika mendengar namanya?”Reve menutup matanya, dahinya berkerut. Sebuah gambaran samar muncul. Sebuah senyuman, tawa yang berderai, perasaan hangat yang tiba-tiba menyergapnya, diikuti oleh rasa sakit yang tajam di kepalanya. Dia mengerang.“Itu ... rasanya kepalaku sakit,” gumamnya, tangannya menekan pelipisnya.“Sakit itu biasa, Reve,” Caleb membimbing dengan tenang. “Itu sering kali terjadi saat kau sedang dalam mode pertahanan. Otakmu sedang berusaha bertahan. Coba l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status