Reve mengangkat wajah, matanya menyipit menahan sinar pagi yang mulai menerobos jendela. “Apa yang kau inginkan sampai harus memanggilku dengan sebutan itu, Gerald?”
Gerald meletakkan tas kulitnya di atas meja yang masih bersih dari pecahan, tepat di sebelah cangkir kopi buatan Laura. “Keluarga Shara menanyakan progress persiapan acara. Mereka ingin memastikan bahwa tidak ada halangan apa pun.” Mata lelaki berkacamata itu sekali lagi mengamati keadaan ruangan. Dan kali ini, ada sedikit dugaan dalam diamnya. Reve tertawa getir. “Katakan pada mereka tidak ada halangan. Semua akan berjalan sesuai rencana.” “Baik,” Gerald mengangguk, tetapi belum beranjak pergi. Matanya sekarang tertuju pada perban di tangan Reve. “Apakah Anda membutuhkan dokter? Luka itu terlihat—” “Tidak,” sela Reve dengan segera. “Sekarang keluarlah.” Namun sebelum Gerald berbalik, pandangannya tertangkap sesuatu. Sepotong kecil kaca yang masih berceceran di dekat kaki Reve, dan di atasnya, setitik darah yang masih segar. Sebuah fakta yang akan ia laporkan nanti, karena itulah tugasnya. Mengawasi, dan melaporkan apa yang dilihatnya. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Reve sendirian lagi dengan monster-monsternya. Dan kali ini, dia tahu, pertarungannya bukan hanya melawan sosok masa lalu, tetapi juga terhadap masa depan yang sudah dijalin terlalu rapat untuk diurai kembali. Laura mengetuk ruang kerja Reve seperti biasa, dengan baki berisi secangkir kopi panas tanpa gula. “Masuk.” Bau amis darah langsung menyergap penciuman Laura begitu ia mendorong pintu kayu mahoni yang berat. Matanya berkedip-kedip, berusaha menyesuaikan diri dengan pemandangan chaos di ruang kerja yang biasanya sempurna itu. Pecahan kaca bertebaran seperti bintang-bintang yang jatuh, dan di tengahnya, noda-noda darah kering membentuk pola abstrak yang mengerikan di atas marmer yang mengilap. Reve duduk di belakang mejanya, wajahnya pucat dan mata yang biasanya tajam sekarang kosong. Tangan kanannya dibalut perban putih yang sudah ternoda darah di beberapa tempat. “Tuan, apa yang terjadi?” tanya Laura, suaranya gemetar menahan takut sekaligus kekhawatiran. Reve mengangkat wajah, matanya berbinar aneh dalam cahaya pagi yang masuk dari jendela. “Aku bertarung dengan monster,” jawabnya dengan suara parau. Laura meletakkan baki kopi dengan hati-hati, menghindari pecahan kaca. “Monster?” “Yang di cermin,” Reve tertawa pelan, menunjukkan tangannya yang terluka. “Tapi kurasa dia masih saja jadi pemenangnya.” Tanpa berpikir panjang, Laura bergegas mengambil sapu dan pengki dari sudut ruangan. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai membersihkan pecahan kaca, setiap sentuhan tangannya penuh kelembutan yang kontras dengan kekerasan yang terjadi semalam. “Jangan!” Reve tiba-tiba berseru. “Biarkan ... biarkan aku melihat ini. Sebagai pengingat.” Laura berhenti, menatap lelaki itu dengan mata penuh pertanyaan. “Tuan, ini berbahaya. Anda bisa terluka lagi.” “Aku sudah terluka, Laura,” bisiknya. Matanya tak lepas dari pecahan kaca yang berkilauan. “Luka yang tidak akan sembuh dengan salep atau perban.” Dia berdiri, berjalan mendekati Laura dengan langkah goyah. “Kau lihat? Ini yang terjadi ketika aku mencoba melawan takdir. Darah dan pecahan kaca. Selalu berakhir dengan darah dan pecahan kaca.” Laura ingin memeluknya, memeluk lelaki itu. Ia ingin menyembuhkan luka yang tidak bisa dilihatnya. Namun tangannya hanya menggenggam sapu lebih kuat, mengingatkan dirinya pada tempatnya. Di luar, sinar matahari pagi mulai menerangi ruangan, menyinari kehancuran dan dua jiwa yang sama-sama terluka. Satu dengan luka yang terlihat, satu dengan luka yang tersembunyi jauh lebih dalam.” “Lakukan pekerjaanmu tanpa menyentuh apa pun,” kata Reve. Suara itu membuat Laura mengangguk patuh. Setelah membersihkan ruangan tanpa membereskan pecahan kaca di sana, Laura meninggalkan ruang kerja Reve, kembali pada pekerjaannya. Tak lama berselang, sebuah ketukan hati-hati di pintu kayu yang setengah terbuka memecah kesunyian ruangan. Reve tidak perlu mengangkat pandangannya dari tumpukan dokumen yang terpencar di mejanya untuk mengetahui siapa itu. Hanya satu orang di rumah ini yang mengetuk dengan pola tiga kali yang begitu sopan namun tegas. “Masuk,” gumamnya, suara bassnya terdengar berat dan lelah. Argo melangkah masuk, seragam sopirnya masih rapi meski wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Matanya dengan cepat menyapu keadaan ruangan. Pecahan kaca yang belum sepenuhnya bersih, noda kecoklatan di marmer, dan tuannya yang duduk dengan bahu yang tampak menanggung beban sangat berat. “Apa yang membawamu kemari?” tanya Reve tanpa melihatnya, jarinya menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut. Argo berdiri tegak, tangannya tergenggam di belakang punggung. “Tuan, saya ingin menyampaikan kalau Nona Shara akan datang. Mobilnya sudah terlihat di gerbang utama.” Reve menghela napas panjang, matanya akhirnya terpejam sejenak. “ Baiklah,” ujarnya, suaranya datar dan tanpa emosi. “Sambut dia seperti biasa.” Namun sebelum Argo berbalik untuk pergi, Reve menahan nya dengan satu kalimat pendek. “Dan satu lagi Argo ....” “Ya, Tuan?” “Pastikan Laura tidak berada di sekitar area depan rumah hari ini.” Argo mengangguk pelan, pemahaman dan sedikit belas kasih terpancar di matanya. “Sudah saya atur, Tuan. Nona Laura sedang membersihkan kebun belakang sekarang.” Reve mengangguk singkat, lalu kembali menatap dokumen-dokumennya. “Kenapa kertas-kertas sialan ini tidak ada habisnya?” Ia membentak, seolah-olah dengan kalimat cukup keras itu, semua dokumen akan menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri. Ketika pintu tertutup, Reve membiarkan kepalanya jatuh ke tangan nya. Di kejauhan, suara mobil mewah yang mendekat sudah bisa terdengar, membawa serta masa depan yang telah ia pilih, dan masa lalu yang terus menghantuinya. “Shara ….” ***Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan
Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura
Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s
“Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut.
Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj
Argo membuka pintu mobil dengan sikap hormat, kepalanya tertunduk rendah saat Shara melangkah keluar dengan anggun. Gaun sutra warna lavender yang dikenakannya berkilauan lembut di bawah sinar matahari, menciptakan siluet yang sempurna dari seorang wanita dari kalangan elit. Dengan senyum tipis yang dipraktikkan ribuan kali, Argo memandu Shara menuju ruang tamu utama, di mana Reve sudah menunggu dengan pose yang penuh wibawa.Reve berdiri begitu Shara masuk, wajahnya yang biasanya dingin mencair menjadi senyum yang telah dilatih untuk kesempurnaan. Ia mengambil tangan Shara, menekankan kecupan ringan di atasnya. Sebuah gestur klasik yang penuh dengan nuansa kepemilikan dan kesopanan yang dingin.“Senang sekali bisa bertemu dengan calon istriku di hari ini,” ujar Reve, suara bass-nya terdengar halus dan memesona, seolah tidak ada jejak kekacauan dan kegelapan yang baru saja terjadi di antara ruang kerjanya dan Laura. Shara tersipu