Share

Bab 8

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-09-04 21:00:46

Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.

Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.

Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.

Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.

“Kuenya baru matang, Sayang,” ujar Reve, suaranya lembut dan penuh kasih. “Aku tak tahu kalau memanggang kue butuh waktu yang lama.”

Laura berdiri dengan punggung membelakangi mereka, tangannya yang masih sedikit gemetar menyusun kue cokelat di atas piring perak. Setiap sentuhan pada kue yang masih hangat itu terasa seperti menyentuh bara api. Mengingatkannya pada sentuhan Reve yang baru saja menggenggamnya dengan kasar.*  

Shara tersenyum, mendekati Reve. “Tidak masalah. Aku memang ingin menyusulmu.”

Tanpa peringatan, Reve menarik Shara mendekat dan mencium bibirnya dengan penuh kepemilikan. Tepat di depan Laura, seolah gadis itu hanyalah sebuah lukisan di dinding, sebuah furnitur yang tak memiliki mata untuk melihat, tak memiliki hati untuk merasa.  

Laura menunduk lebih dalam, berusaha fokus pada hiasan mint yang ia letakkan di samping kue. Namun bayangan ciuman itu tertanam di benaknya. Lembut dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ciuman kasar yang ia terima di kamar kecil tempatnya berada di rumah itu.

“Kuenya sempurna, Sayang," bisik Shara pada Reve, tetapi matanya sesaat menatap Laura. Ada sesuatu dalam pandangannya. Seolah sebuah ancaman, atau mungkin hanya perasaan yang membuat Laura merasa telanjang di hadapannya.

Reve hanya tertawa, mengalihkan perhatian Shara dengan membisikkan sesuatu di telinganya yang membuatnya tersipu.

Dan Laura tetap berdiri di sana, tersenyum palsu, menyajikan kue seolah tak terjadi apa pun.

Puas berkeliling dan membahas rencana dekorasi pertunangan mereka, Reve mengantarkan Shara melintasi taman yang terawat sempurna, tangannya dengan sopan menyangga punggungnya. Udara sore yang sejuk berhembus, membawa aroma mawar yang baru disiram. Di kejauhan, mobil hitam Shara sudah menunggu dengan sopir yang berdiri tegak di samping pintu.

“Terima kasih untuk hari ini, Sayang,” ucap Shara manis, memandang Reve dengan mata berbinar. “Aku sangat senang kita bisa menyelesaikan detail-detail pernikahan kita.”

Reve tersenyum, sebuah ekspresi yang sudah ia latih hingga sempurna. “Aku juga. Semuanya akan menjadi sempurna untukmu.”

Saat mereka sampai di mobil, Reve membukakan pintu untuk Shara. Sebelum masuk, Shara berbalik dan mendekatkan wajahnya, mengharapkan ciuman perpisahan. Reve menempatkan ciuman singkat di pipinya, cukup untuk membuat Shara tersenyum.

“Sampai jumpa besok, Reve,” bisik Shara, masih berpegangan pada tangannya.

“Sampai jumpa, Shara,” jawab Reve, suaranya lembut.  

Begitu mobil meluncur pergi, senyum Reve pudar dengan cepat. Dia berdiri sebentar, menatap mobil yang semakin menjauh, lalu menarik napas dalam-dalam. Tangannya yang tadi memegang Shara kini mengepal erat.

Dia berbalik dan berjalan kembali ke rumah, langkahnya berat. Di tengah jalan, matanya tanpa sengaja tertuju pada jendela dapur, di mana bayangan Laura terlihat sedang mencuci piring. Reve berhenti sejenak, jantungnya berdebar dengan campuran rasa bersalah dan sebuah keinginan untuk mencoba lebih jauh.

Namun, dia memilih terus melangkah. Masuk ke dalam kamar di rumah megah yang tiba-tiba terasa sangat sunyi dan hampa, meninggalkan Laura dengan piring-piring yang harus dicuci dan kenangan-kenangan yang harus dilupakan.

Sementara di balik kaca jendela, Laura mengusap air matanya dengan punggung tangan yang masih berbusa, berusaha membilas semua kenangan dan luka-luka yang tidak bisa dilihat oleh siapa pun.

***

Esok harinya ….

Reve memijit pelipisnya. Meski kursi kerjanya empuk dan ruang kerjanya itu dilengkapi pendingin ruangan, ia merasa panas. Alasannya, kantor Reve di lantai 40 gedung pencakar langit itu dipenuhi oleh sorotan kamera dan karangan bunga yang membanjiri koridor.

Sejak pagi, teleponnya tidak berhenti berdering, dan sekretarisnya kewalahan mengatur jadwal wawancara dengan media. Wajah Reve dan Shara menghiasi setiap layar televisi dan media cetak bahkan portal berita daring. Keduanya tersenyum bahagia dalam foto yang diambil di pesta charity beberapa bulan lalu, sebuah foto sempurna yang kini menjadi headline di semua portal berita.

Reve yang terjebak dengan keadaan itu akhirnya hanya bisa pasrah.

“Selamat, Pak Reve! Kalian berdua pasangan yang sangat cocok!” seru seorang reporter yang berhasil menyelipkan mikrofon ke hadapannya.

Reve tersenyum, berpose dengan profesional untuk kamera. “Terima kasih. Kami mohon doa agar semua prosesnya lancar” jawabnya.

“Bagaimana perasaan Anda?” tanya reporter lainnya.

“Kami sangat bahagia,” kata Reve, suaranya sempurna tanpa menunjukkan emosi berlebihan, seperti yang telah ia latih selama bertahun-tahun. 

Saat ia kembali ke meja kerjanya, Gerald menyerahkan setumpuk kartu ucapan selamat. “Keluarga Shara sangat senang dengan publisitas dini ini,” lapor Gerald dengan suara datar. “Mereka ingin mempercepat acara pertunangan, mengingat antusiasme media.”  

Reve mengangguk, matanya tanpa sadar tertuju pada ponselnya. Tidak ada pesan apa pun di sana. “Lakukan saja sesuai yang mereka inginkan.”

“Baik,” Gerald berlalu dari ruangan itu.

Di sudut ruangan, Argo yang sedang mengantarkan dokumen tambahan menangkap pandangan Reve yang kosong. Ia tahu, di balik semua kemewahan dan ucapan selamat itu, ada seorang gadis yang hatinya sedang hancur di dapur rumah megah milik tuannya. 

Hingga jam kerjanya berakhir malam itu, Reve duduk sendirian di kantornya yang kini dipenuhi karangan bunga dan hadiah. Ia mengambil foto Laura yang diam-diam ia simpan di laci meja kerjanya. Sebuah foto yang diambil tanpa sepengetahuannya, saat gadis itu sedang tertawa lepas di kebun.

“Kau selalu menarik,” bisiknya pada foto itu, suaranya pecah. “Sayangnya, aku terjebak dalam permainan yang tidak bisa aku menangkan.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 13

    Usai makan siang bersama itu, Shara mengajak Reve menuju butik untuk memilih gaun pernikahan mereka. Butik pernikahan yang eksklusif terasa sunyi meski dipenuhi gaun-gaun mewah yang berkilauan di bawah lampu kristal. Shara dengan semangat memilih-milih koleksi gaun pengantin, sementara Reve berdiri di dekat pintu, tangannya berada di saku celana.“Reve, Sayang, lihat yang ini!” seru Shara sambil mengangkat gaun berenda payet yang memantulkan cahaya. “Desainer gaun ini khusus terbang dari Paris kemarin. Apa menurutmu ini cocok untukku?”Reve mengangguk tanpa antusiasme, matanya kosong. “Ya, bagus. Pakai itu saja.” Shara mengerutkan kening, meletakkan gaun itu dengan sedikit kesal. “Kau bahkan tidak melihatnya, Reve. Ini penting bagiku. Bagi kita. Karena ini untuk pernikahan kita.”Dia mendekati Reve, tangannya yang halus meraih lengan Reve. Shara mencoba menenangkan dengan bertanya dalam nada lembut. “Ada apa? Kau sudah aneh se

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 12

    Reve memasang dasinya sedangkan Laura masih sibuk mendandani anak perempuan mereka.“Sudah selesai belum? Ayah harus segera ke kantor,” kata Reve.“Tunggu, Ayah. Ibu sedang membuat kepang di rambutku,” gadis kecil yang usianya empat tahun lima bulan itu protes.Laura tertawa. “Tunggu sebentar lagi, Ayah. Michelle tidak akan lama.”°°°Senyum masih mengembang di bibir Reve saat matanya terbuka. Untuk beberapa detik, ia masih merasakan kehangatan imajiner dari adegan mimpi yang baru saja dialaminya itu. Tawa Laura yang jernih, tangan kecil anak perempuan mereka yang memegangi jarinya, dan perasaan menjadi keluarga yang utuh.Namun kemudian, realitas kembali menghentakkan mimpinya ke dasar.Kamar hotelnya yang mewah terasa sunyi dan dingin. Tidak ada Laura yang sedang mengepang rambut putri mereka. Tidak ada Michelle—putri mereka yang cerewet memprotes. Hanya kesendirian yang menusuk, dan

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 11

    Kamar Laura diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu tidur. Ia sengaja membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar bulan pucat yang menyelinap melalui celah dari tirai dan ventilasi jendela di sana. Laura baru saja memejamkan mata, berusaha melupakan kekerasan yang berhasil dilewatinya malam kemarin.Ketika pintu kamarnya terbuka dengan perlahan, Reve muncul seperti bayangan. Siluetnya menutupi cahaya lampu kamar yang remang-remang.Laura ingin berteriak, tetapi Reve sudah berada di atas tempat tidurnya dengan gerakan cepat yang membuat Laura semakin gemetar. Tangan Reve yang besar menutup mulut Laura, menekan dengan kuat hingga napasnya tersendat.“Jangan bersuara,” desis Reve.Suaranya serak dan gelap, seperti orang asing yang tidak dikenalnya.Dengan gerakan kasar, Reve merobek baju tidur Laura, kain flanel sederhana itu terkoyak dengan suara yang memekakkan telinga di kesunyian malam. Laura

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 10

    Malam itu, setelah melewati pekerjaan yang sama, Laura membersihkan diri lalu mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana yang nyaman. Ia berbaring, menyalakan televisi untuk menunggu kantuk.Layar kecil televisi tua di kamar Laura menyala, memancarkan cahaya biru yang menyinari wajahnya yang pucat. Berita pertunangan Reve dan Shara ditayangkan dengan gemerlap, foto mereka berdua tersenyum bahagia, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang setara. Laura menatap tanpa berkedip, jantungnya berdetak pelan namun terasa berat.“Mereka sangat cocok,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku yakin dia akan membawa Reve pada kebahagiaan yang layak didapatkannya.”Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuatnya terkejut. Suara ketukan itu tidak seperti biasanya. Berat, tidak teratur, dan disertai suara gesekan di pintu kayu. Laura membeku sesaat, tangannya masih menggenggam remote televisi erat-erat.“Siapa, ya?” Ia bertanya pada diri s

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 9

    “Laura.”Suara Reve yang dalam dan familiar itu memotong kesunyian dapur, membuat Laura menegakkan punggungnya seketika. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk sup, seolah dunia berhenti berputar selama beberapa detik. Dengan jantung berdebar, ia menoleh perlahan, menemukan Reve berdiri di ambang pintu dapur, ekspresi wajahnya tak terbaca seperti biasa.“Ya, Tuan?” sahut Laura, suaranya lembut namun bergetar halus, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mendadak menyergap.Reve tak langsung menjawab. Matanya yang keabuan menyapu ruang dapur sejenak, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, sebelum akhirnya berfokus kembali pada Laura.“Siapkan air untukku berendam. Setelah aku selesai berendam, antarkan teh chamomile ke ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Laura mengangguk patuh, menundukkan pandangannya ke lantai, menghindari kontak mata yang bisa membuatnya semakin gugup sekaligus takut. 

  • Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam   Bab 8

    Di luar ruangan, suara oven berbunyi menandakan kue sudah matang. Namun di dalam kamar yang pengap itu, waktu terasa berhenti. Laura memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Air mata untuk harga diri yang sekali lagi direnggut, untuk tubuh yang sekali lagi diklaim tanpa izin.Dan yang paling menyakitkan, di balik rasa sakit dan penghinaan, ada bagian dirinya yang masih merespons sentuhan Reve, masih menginginkannya seperti api menginginkan oksigen.Itulah monster terbesarnya. Bukan Reve, tetapi keinginannya sendiri yang tak pernah bisa ia kendalikan.Dengan langkah anggun, Shara melangkah masuk ke dapur, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Reve, yang sejenak sebelumnya masih seperti badai yang hendak meluluhlantakkan segala sesuatu, kini telah berubah menjadi lautan yang tenang. Senyum manisnya begitu sempurna, seolah tak ada yang terjadi di balik pintu kamar kecil yang baru saja tertutup.“Kuenya baru matang, Sayang,” uj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status