“Jangan menikah di belakangku kayak bapak, Tian.” kata Cilla menahan sesak di dada.Suaranya pun parau seakan tidak mampu mengucapkan hal itu. Sebagai seorang anak terlebih perempuan. Hal paling ia takuti, ketika melihat sang ayah yang menjadi pria pertama yang dicintai justru mengkhianati.“Kenapa bapak jahat, Tian?” tanya Cilla dengan derai air mata. Bastian hanya mampu menelan salivanya. Dia tahu, berat bagi Cilla untuk menerima kenyataan pahit ini. Kejadian pagi ini membuatnya tidak stabil dalam hal emosi. Bastian khawatir bila wanitanya terus seperti ini, maka akan mengganggu psikologisnya terlalu parah.“Bude Arum juga begitu. Kenapa dia bisa melakukannya? Puluhan tahun berkamuflase seperti sahabat ibuk, ternyata tega merebut bapak dari ibuk.” keluh Cilla seperti semalam. Bastian tidak tahu harus menenangkan wanita itu seperti apa. Membiarkannya mengatakan segala isi hati mungkin pilihan yang benar. Cilla menangis tersedu memeluk erat suaminya. Mereka tidak peduli, jalanan mul
Hari ini terasa begitu suram. Langit mendung menambah perasaan duka kian menguat. Bastian terdiam dengan pandangan kosong. “Ubi Cilembu,” sebutnya lirih di depan ruang perawatan rumah sakit.Panggilan sayang pada sang adik yang sedari kecil ia sematkan pada gadis itu. Gadis yang saat ini bertaruh antara hidup dan mati. “Tian, minum dulu.” titah sang istri memberikannya air mineral.Mata basah Bastian menatapnya sejenak lantas beralih pada wajah sang istri. Diam sesaat, dan suasana hening. Gema lorong rumah sakit terdengar langkah kaki.“Kenapa Vika jadi seperti ini, Yang?” tanya Bastian.“Minumlah dulu, kita duduk di sana, Tian.” ajak Cilla sambil menggandeng sang suami untuk duduk di kursi tunggu.Bastian menurut kemudian duduk. Sesaat ia meminum air mineral yang sebelumnya diberikan sang istri. Cilla melihat pintu ruang ICU masih tertutup rapat. “Aku gak akan maafin diriku kalau ada apa-apa sama…” ucapan Bastian terpaksa terhenti, tentu Cilla menyelanya.“Gak usah bicara sembaran
Semua menanti jawaban Bastian. Tentu, siapapun akan terkejut dan bertanya mengenai ucapan Bastian yang tidak main-main itu.“Gara-gara kalian berdua, Eyangku anfal dan meninggal!”Seperti guntur menggelegar. Cilla menatap sang suami dari samping seakan goyah. Benarkah perkataan Bastian itu? Tanpa aba-aba suara pukulan terdengar begitu keras. BugAli memukul tepat di pipi Bastian. Tidak sempat menghindar, Bastian jatuh tersungkur. Ali dengan membabi buta memukuli Bastian. Cilla yang terkejut bingung dengan apa yang terjadi.“DASAR KURANG AJAR KAMU, BAS!” bentak Ali seraya melepaskan pukulan bertubi-tubi.Bastian yang tidak sempat menghindar mendapatkan pukulan tak terelakkan. Namun, pria itu segera bangkit dan membalas perlakuan sang ayah mertua. Arum mencoba melerai tetapi ia jatuh terkena kibasan tangan Ali. Sedang Danilo mencoba melerai dengan menarik Ali.“Tian berhenti!” kata Cilla mencoba memeluk punggung sang suami. Bastian memegang kerah baju Ali dan mengunci pergerakan pria
Prakk"Aku benci sama kamu, Tian!" pekik Cilla usai memukul pemuda itu dengan sebuah balok kayu.Cilla sangat marah sebab pemuda itu menekan jerawatnya di dahi hingga luka. Sebelumnya, mereka berdebat seperti hari-hari biasanya. Tian, Bastian si pemuda jangkung dengan rambut lurus itu memegangi telinganya. Tak lama tangan pemuda itu basah oleh darah akibat luka yang timbul dari pukulan Cilla.Tak hanya hari ini, semenjak mereka masuk di bangku sekolah menengah pertama. Bastian dan Cilla sering terlibat pertengkaran. Kribo, jerawatan, dan kopi adalah sederet kalimat ejekan Cilla yang dilontarkan oleh Bastian."Ahhh..." rintih Bastian masih menekan telinganya yang seakan berdengung.Sesaat Cilla berubah menjadi khawatir. Apakah dirinya keterlaluan memukul Bastian? Tangan lentik gadis itu menyentuh tangan Bastian yang berlumuran darah. Ia segera menarik pemuda itu untuk ke UKS sekolah.***Bastian Hananta, pemuda jangkung dengan mata hitam legam itu memandang lalu lalang motor yang lewat
Mata bulan sabit itu tengah fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Alisnya terangkat satu saat melihat sebuah foto yang baru saja muncul di media sosialnya. Tangan kokohnya meletakkan ponsel itu dan nampak menghembuskan nafasnya panjang. Ia beralih berdiri di jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Matanya memandang jauh ke seberang jalan. Di mana rumah bercat hijau tosca itu berada. Tak lama penghuni rumah itu keluar. Dengan kaos putih tulang dan celana pendek, gadis itu sedang menyiram tanaman di depan rumahnya. Seperti sebuah kebetulan, gadis yang ia lihat di ponselnya membagikan fotonya dengan sang kekasih. Kini ada di depan sana.Bastian beralih turun ke lantai satu ia menuju jendela yang ada di dekat pintu.Sang nenek melihat cucunya itu menatap keluar jendela sudah paham. Siapa yang dilihat cucunya itu? Bastian melihat gadis itu yang tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya. Bibirnya terangkat membentuk kurva. Binar matanya seolah mengatakan bahwa ia sangat menyukai
Mata bulat itu menyorot jauh ke langit yang mendung. Sore yang indah dengan hamparan hijau sawah yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Cilla duduk di tembok jembatan kecil dengan pintu air di bawahnya. Tempat favorit gadis itu sejak kecil. Pintu air itu menghubungkan sebuah waduk buatan kecil untuk pengairan sawah di desa ini. Entah berapa lama gadis itu duduk berdiam diri di sini. Jika sudah menyendiri seperti ini, Cilla tak peduli seberapa lama ia duduk termenung di tempat ini. Sesaat sinar matahari yang terbebas dari bayang-bayang mendung memberikan bias indah. Semburat jingga dengan pemandangan sekitar begitu membaur seolah memberikan buaian mata yang menentramkan jiwa."Ngapain pose kayak kucing kejepit?" kata seseorang yang datang.Cilla sangat hafal, suara berat itu. Suara yang seakan merusak sebuah rasa indah yang tercipta. Suara yang seakan sebuah terompet perang yang menghancurkan kedamaian."Heh, kopi!" ujar pemuda itu lagi sebab tak mendapatkan respon."Ya Allah, kenapa
"Tian, pulanglah dulu sama Pakde Ali. Kamu belum mandi dari semalam," kata Arum menyarankan sang keponakan agar pulang.Pasalnya, Bastian sejak kemarin sore belum ganti baju maupun mandi. Dia sangat khawatir dengan keadaan sang nenek sehingga tak peduli dirinya sendiri."Assalamualaikum," ucap gadis bermata bulat dengan baju kaos dipadu jaket berwarna merah muda itu.WAALAIKUM SALAMJawab serempak semua orang yang berada di kamar rawat ini. Cilla datang membawa rantang bersama Maura sang ibu. Mereka membawakan makanan untuk semua orang yang ada di sini. Mengingat Eyang Adjeng belum sadar sedari kemarin sore.Mereka akhirnya dengan terpaksa makan meskipun tak berselera. Bagaimanapun semua orang haruslah menjaga kesehatan salah satunya makan dengan benar, untuk menjaga wanita tua itu. Kini mereka berada di cafetaria rumah sakit. Akan tetapi Bastian tak mau ikut, sehingga Cilla menemani pemuda itu di kamar. "Makan dulu, Tian." kata Cilla seraya memberikan piring berisi makanan pada Basti
"Apa Cilla mau, Pak? Apa dia bisa menerimanya?" tanya Maura usai kembali dari rumah Eyang Adjeng.Maura begitu bingung saat diskusi dengan keluarga Bastian mengenai pernikahan. Bagaimana tidak bingung? Permintaan wanita tua itu sangat mendadak. Ya, Eyang Adjeng sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi setelah bersikeras meminta pulang. Kondisinya belum sepenuhnya baik. Akan tetapi, wanita itu ingin pulang. Sehingga rumah sakit terpaksa mengijinkan dengan catatan, apapun yang akan terjadi dengan Adjeng, bukan tanggung jawab dari pihak rumah sakit."Eyang banyak sekali membantu kita, Maura. Bastian juga tidak buruk. Sepertinya dia sangat menyayangi Cilla. Seperti eyang katakan, kalau dia selama ini menyukai Cilla," kata Ali.Maura berpikir sejenak. Perasaannya kini sedikit membaik setelah sebelumnya kacau. Ia sangat khawatir bila permintaan ini membuat putrinya menolak. Tak lama suara pintu terbuka. Cilla dengan berjalan terseok-seok datang."Astaghfirullahaladziim, Cilla. Kamu kenapa, N