Laila sudah sejak tadi merebahkan badannya di atas ranjang empuk miliknya, tapi ia belum bisa memejamkan matanya meski tubuhnya lelah tak ada tenaga bersisa. Laki-laki yang tadi siang mengucapkan janji pernikahan padanya belum juga terlihat. Laila memiringkan tubuhnya menghadap dinding. Tak lama kemudian terdengar suara dari ruang keluarga.Suara Malik.Malik sedang berbincang dengan orang tuanya. Laila menggeliat sebentar, menajamkan telinganya dan tetap bertahan dari posisi awalnya, tak bergerak sama sekali. Matanya sesekali mengerjap seolah dengan begitu telinganya bisa mendengar dengan lebih baik.Terdengar suara Malik yang meminta ijin membawanya pergi esok hari. Malik akan membawanya ke rumahnya secepatnya. Lalu terdengar juga suara bapaknya dengan pesan-pesan orang tua itu. Laila menitikkan air matanya. Dan semakin terisak saat mendengar kalimat terakhir dari bapaknya. Meski samar, tapi Laila bisa mengerti kalimat itu. Dadanya terasa sesak jika mengingat statusnya sekarang. Beg
“bangun..” ucap Laila membangunkan Malik. Entah kelelahan atau terlalu nyaman, Malik termasuk susah dibangunkan. Sudah sejak 35 menit yang lalu Laila terus berusaha membangunkan laki-laki itu.“bangun.. kita berangkat jam berapa? Malik..” Pekik Laila. Malik menggeliat. Meregangkan badannya yang pasti terasa pegal.Sejak semalam mereka berdua tidur seperti patung yang meringkuk. Nyaris tak bergerak. Saling menjaga jarak agar tidak saling bersentuhan. Akibatnya, kini badannya bukan jadi segar tapi justru kaku. Begitu pula Laila.“badanku sakit semua..” keluh Malik. Laila acuh tak acuh. Bukan salahnya kalau badannya sakit semua. Malik yang memaksanya menikah, dan Laila tidak perlu merasa bersalah hanya karena ranjang itu tidak sesuai standarnya si tuan arogan.“kita berangkat jam berapa?” tanya Laila ketus. Malik mengambil ponsel di atas meja. Mengetuk layar itu untuk melihat jam.“jam 6..” gumamnya. “kita berangkat jam 9 aja bagaimana? Aku perlu meregangkan badanku dulu..” kata Malik sa
“Ibu Dila minta desain fasad yang kita tawarkan diubah. Beliau udah hubungi lo?” Tanya Denis.Denis sedang duduk di kursi bar tepat di depan Saka yang berada di belakang meja barista. Saka sedang mengolah biji kopi untuk dijadikan minuman favoritnya sendiri.“hmm..” Saka berdehem.“Beliau minta fasad yang lebih tertutup dan terlihat minimalis. Tapi enggak mau nambahin budgetnya. Budget awal katanya dialihkan ke perubahan itu. Gue udah kasih beberapa desain pilihan tapi beliau selalu menolak. Katanya mau lo yang desain. Ada-ada aja. Sedangkan lo nya dihubungin susah banget katanya. Naksir lo kali ya?” pungkas Denis. Saka bergeming.Denis dan Saka memiliki sebuah perusahaan jasa arsitek dan interior yang mereka rintis bersama-sama sejak lulus magisternya. Saka lebih banyak mengurusi desain luar sedangkan Denis lebih sering memegang kendali pada bagian interior ruanganSejauh ini mereka bekerja sama dengan apik. Meski berulang kali mengalami bangkrut karena tertipu pelanggan. Kini posisi
Laila dan Malik baru saja tiba di rumah orang tua Malik. Di depan pintu, sang Papa sudah menyambut kedatangan menantu pertamanya itu dengan senyum lebar dan hangat. Sedangkan Mama Lina tidak nampak batang hidungnya.“Pak, ada kelapa di bagasi mobil, dikeluarkan ya, bawa ke dapur.” Pinta Malik pada satpam rumahnya.“baik, den.” sahut Satpam itu.Malik beberapa langkah di depan Laila. Melangkah dengan langkah cepat seolah memang sengaja meninggalkan Laila di tengah kecanggungannya.Laila menyalami sang mertua. Mencium tangannya takzim setelah Malik hanya ber ‘say hai’ pada Papanya. Agak lain dan tiba-tiba menjadi canggung antara Laila dan Papa mertuanya.“mama mana Pa?” tanya Malik.“ada di taman belakang. Itu apa yang dikeluarkan Pak Budi?” tanya Pak Agung kemudian saat melihat satpam rumahnya sibuk di bagasi mobil Malik.“kelapa. Kelapa muda. Bapak yang panen. Kami bawa untuk oleh-oleh kata Bapak. Diterima ya Pak.” Jawab Laila.“Papa, panggil Papa. Itu pasti diterima. Tidak ada alasan
Laila sudah terbangun sebelum matahari menyembul sempurna. Ia sedang merapikan tempat tidurnya. Semalam Laila bersikeras tidur di sofa. Padahal Malik sudah berbaik hati menawarkan tidur di ranjang besarnya. Laila rikuh bersebelahan dengan laki-laki itu. Laila berlalu ke kamar mandi lalu turun ke lantai bawah. Langkahnya tertuju pada dapur yang sejak kemarin membuatnya penasaran dengan orang-orang di dalamnya. Tentang siapa Bi Mina, wanita yang katanya akan mengantarkan makanan padanya semalam. Laila penasaran dengan wajah-wajah penghuni rumah besar itu selain tuan rumah mereka.“selamat pagi..” sapa Laila.Dua wanita di dapur tergagap kedatangan majikannya sepagi buta ini. Biasanya mereka akan menyapa tuan rumah mereka saat tuan rumah mereka bersiap sarapan di meja makan.“Non.. kenapa kesini? Ini masih gelap.” Protes Bi Mina.“memangnya kenapa, Bi? Saya tidak boleh kesini?” tanya Laila cemberut.“bukan. Tapi..”“saya mau bantu-bantu..” ucapnya lagi.“aduh, apalagi ini, jangan Non. Na
Laila duduk di sebelah Malik yang masih fokus pada tab-nya. Tak lama kemudian Bi Mina menyusul keluar membawa nampan berisi jus buah lalu Bi Mina berbalik menuju dapur, dan keluar lagi membawa nampan berisi roti tawar berikut bermacam-macam selai. Laila mengamati detail pergerakan Bi Mina. Sementara Pak Agung mengamati Laila yang sedang mengamati Bi Mina. Hanya Malik yang tertunduk sibuk pada tab-nya. Tak mengacuhkan istrinya sendiri.Pak Agung sudah merasa ada yang aneh dengan putranya. Dia yang awalnya menolak menikah karena tidak memiliki pacar atau kekasih, lalu tiba-tiba mengenalkan seorang gadis padanya yang katanya calon istrinya lalu menikahinya dengan terburu. Dan sekarang, sikap mereka berdua sama sekali tidak seperti suami istri.Apakah mereka sedang bertengkar? Tapi kalaupun suami istri bertengkar suasana tidak akan sekaku itu. Malik kaku, Laila apalagi. Batin Pak Agung menduga-duga.“Apa kegiatanmu hari ini Laila?” suara Papa mertuanya membuyarkan fokusnya yang masih meng
Laila tengah duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan jendela. Di depannya sudah terhidang satu cangkir kopi latte panas yang menemaninya. Ia menunggu Malik yang sedang berada di ruangan Saka. Entah apa yang mereka bicarakan. Laila tak mau tahu. Ia hanya tahu Malik akan menjelaskan sesuatu pada Saka.Laila meraih cangkir lattenya. Menyesapnya lalu meletakkan kembali. Pandangannya terlempar keluar jendela, tapi pikirannya jelas tidak disitu. Ia memikirkan nasibnya yang terjerat pernikahan dengan tuan arogan bernama Malik.Berkali-kali mengatai dirinya sial dalam hati. Laila tidak percaya diri bahwa dia mampu bisa menjalani pernikahan akibat jerat hutangnya pada tuan arogan itu. Ditambah Malik sudah menegaskan bahwa dia tidak akan menceraikannya sampai kapanpun, Laila merasa semakin merana. Siapa yang tahu tentang masa depan, bagus jika kelak mereka akan saling mencintai. Tapi kalau tidak? terlebih ibu mertuanya sangat tidak menyukainya. Laila lagi-lagi meratap dalam hati. Air
Beberapa jam sebelumnya.“halo tante.. tante di rumah kan? Gladis mau kesana sekarang. Malik tante, Malik mengabaikan Gladis lagi..” rengek Gladis. Ia sedang mengadu pada mama Malik. Senjata paling ampuh baginya saat Malik tak acuh padanya.Seperti kebiasaannya yang selalu menempel pada Malik, Gladis jamur parasit yang datang tanpa diminta. Karena merasa mama Malik telah memberi lampu hijau padanya, sebab memang ibunya lah yang menjodoh-jodohkannya, Gladis dengan leluasa menempel, mengatur dan bahkan menyetir Malik untuk mengikuti semua keinginannya. Kalau tidak, Malik akan mendapat omelan panjang dari Mamanya.Gladis dengan cepat menyambar tas nya di atas meja. Langkahnya cepat dan menyentak. Heelsnya yang tinggi itu menyentak nyaring menyisakan bunyi gema di lorong-lorong kantor Malik.Ia tak mempedulikan pandangan semua orang yang mengarah padanya. Dengan menegakkan kepalanya ia melewati semua mata itu yang sedang mencibirnya. Terdengar pula bisik-bisik, ada pula yang sengaja denga