Share

4. Masalah Pribadi

***

Setelah berhasil mengelabui kedua bodyguard tadi, Zehra melewati lorong yang akan membawanya kembali pada area club, bekerja kembali. Di tengah lorong Zehra mendapatkan panggilan telpon dari papahnya. 

"Hallo"

"..."

"Aku ngga bisa, Aku lagi kerja! Jelas ngga bisa ditinggal,"

"..."

"Apa lagi sekarang! Aku udah muak dan aku capek, mau papah apa, sih?"

"..."

Zehra mengeratkan genggaman ponselnya, mendengar tiap suara berat diujung telepon, Zehra menekan keningnya frustasi berharap bisa menghalau segala resah dan khawatir yang membelenggunya.

"Yaudah, aku usahakan kesana, sekarang, Papah tunggu aku dan pastikan ponsel Papah aktif." tutup Zehra gusar dengan langkah berat ia menghadap ke bosnya yang tengah mengawasi.

"Bos, aku minta maaf sebelumnya tapi aku harus minta izin,"

"Izin apa, Zehra?"

***

Zehra berdiri saat menyadari bus tengah memelankan laju pertanda jika tujuannya sudah sampai dan betapa terkejutnya Zehra memandang ayahnya yang tampak loyo tengah duduk membatu dengan bahu menurun di bangku besi khas halte bus.

Zehra menarik napas dan menghembuskan perlahan berharap mengurangi cubitan perih di dada, tanpa sadar Zehra turun dari bus dengan langkah cepat untuk kemudian berhenti di depan papanya yang masih menunduk.

"Pah." tubuh rintih itu sedikit terkesiap dengan pasti ia mendongak dan tersenyum mendapati Zehra benar datang bahkan ada senyum sendu terpatri di wajahnya.

"Syukurlah kamu datang, papah kira kamu kesal dan nggak mau mendatangi papah lagi." serunya tersenyum tulus.

Zehra memaksa untuk ikut tersenyum ia menghela napas lega, "Barang bawaan papah cuma segini, kapan mau diambil barang yang lain?"

"Nggak segini aja cukup, lagian papah udah nggak kuat bawa barang yang lain,"

"Aku nggak minta papah untuk ambil lagi barang itu, aku cuma tanya kapan..-"

"Nggak usah! Papah udah memutuskan hubungan papah sama mereka dan akhirnya papah diusir, papa cuma sempat membawa beberapa baju dan papa nggak sudi kembali ke rumah itu lagi termasuk kamu, jadi berhenti bertanya Zehra. Papah capek!"

Zehra membuang wajahnya gusar sumpah serapah kata-kata makian hingga menyalahkan ingin ia semburkan ke pria dihadapannya namun melihat sang papah duduk dengan wajah lelah dan kalah menahannya.

"Yasudah, ayo kita cari motel di sekitar sini! Papah harus istirahat udah larut malam,"

"Apa... kita nggak bisa pulang ke rumah aja, Ra?" gumam sang papah lemah.

"Ngga bisa, aku belum cerita apapun tentang papah yang sekarang, aku nggak mau buat mamah bingung dan nggak nyaman di rumah kalau ada Papah," ucapan Zehra menghentikan segala obrolan mereka di malam itu.

Zehra sudah memutuskan untuk membuka kamar di motel secepat yang bisa ia dapatkan, kamar yang bersih dan cukup nyaman untuk papanya, meski harus menghabiskan uangnya yang tersisa.  

Setelah memastikan papahnya menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya, Zehra menaruh beberapa lembar uang di atas nakas samping tempat tidur. "Itu uang untuk Papa beli sarapan dan makan siang besok, aku usahakan sebelum berangkat kerja aku kesini lagi, jadi sekarang aku pamit pulang, Pah."

Sang papah mengangguk kecil dengan raut wajah tak rela lantaran ia hanya mampu memandangi Zehra yang meninggalkannya di tempat baru sendirian ditengah malam yang teramat dingin.

***

Keesokan harinya

"Zehra!"

Sontak semua pekerja yang tengah menyiapkan klub untuk dibuka nanti malam, langsung ikut menoleh pada Zehra yang tengah berjalan ke arah ruangan Bos.

Tentu saja hal itu mengundang rasa curiga yang teramat besar. Bahkan managernya pun bertanya-tanya apa dia melakukan kesalahan sangat besar yang fatal sehingga bos besar yang juga pemilik klub sendiri yang harus turun tangan. Atau sebagian dari mereka menebak-nebak jika Zehra adalah salah satu kerabat dari si big boss.

"Menurut lo, Zehra ada keperluan apa sampai dia harus dipanggil ke ruangan bos segala, sendirian pula?"

"Nggak tahu, yang jelas itu bukan urusan gue apalagi lo dan liat ke meja! Lo tuang cairan pembersihnya kebanyakan, lap yang benar karena bentar lagi klub mau dibuka!" seru Anggito jutek menghentikan aksi julid Tina pada Zehra.

"Kenapa sih, Anggit? Lo selalu antipati kalau itu tentang Zehra, lo udah sesuka itu sama Zehra, ya?"

Dengan tatapan datarnya Anggito Siswanto menghentikan aksi mengelap gelasnya lalu menoleh sekali lagi pada Tina yang bergumam, 

"Menurut lo?"

***

"Jadi bisa kamu jelaskan! Kenapa dan bagaimana usaha kamu untuk mengganti hutang kamu nanti, itupun kalau aja aku mau kasih hutang itu, ya,"

"Aku butuh uang itu untuk keperluan mendesak Bos dan Bos tenang aja aku masih akan terus bekerja disini dan sebentar lagi sertifikat kelas masak aku keluar, nah! Aku yakin jualan milikku nanti bakalan lebih laku dan aku bisa melunasi hutang aku ke bos, aku benar minta tolong, aku janji bakalan lebih nurut kerja seperti kemarin malam, ya, Bos."

"Memangnya kamu mau hutang berapa?"

"Lima puluh juta, Bos,"

"Itu bukan nominal yang besar sebenarnya, kamu yakin nggak mau bekerja seperti Nina atau Adya?"

Seketika raut wajah Zehra berubah menjadi datar, "Maaf Bos, tapi aku ngga se-hopeless itu sampai harus menggadaikan harga diri,"

"Dan sekarang kamu lagi merendahkan harga diri dengan memohon dipinjamkan uang oleh orang yang memfasilitasi bagi mereka yang mau menggadaikan harga dirinya, begitu Zehra? bagus aku mulai kesal sekarang!" seru si bos mendengus sembari menyalakan cerutunya.

Zehra menatap khawatir pada bosnya sadar sudah ungkapan jujurnya sudah menyinggung hati si bos Zehra pun mulai bernegosiasi, "Maaf Bos, aku nggak bermaksud menyinggung Bos apalagi teman-temanku yang lain tapi yang jelas aku mau berusaha cari tambahan uang dengan cara yang benar, Bos."

Si bos yang mendengarnya hanya mengangguk malas, sesekali menyesap cerutunya dan menghembuskan gumpalan asap dengan cara dramatik.

"Jadi gimana Bos, aku memang ngga bisa pastikan berapa lama aku kembalikan uangnya tapi yang jelas aku usahakan kembalikan uang itu secepat aku bisa."

"Tadi kamu bilang kamu mau bekerja seperti kemarin malam, benar 'kan?"

Zehra meringis mengingat ucapannya barusan dan mengangguk kecil sembari mendengarkan penjelasan dari tawaran big Bos tersebut.

Setelah memastikan ia menutup pintu dengan benar, Zehra melihat tubuh Nina yang melangkah lunglai  ke arahnya dengan penampilan yang sedikit kacau. Ia bergidik membayangkan Nina mendapatkan client yang kasar. Ia jelas tak mau seperti itu. 

***

Javas menatap ke luar jendela sambil berkacak pinggang dari penthouse nya. Amarahnya masih saja membuncah walau ia sudah memukul samsak gantung berkali-kali pun dengan keringat yang sudah membasahi dari kening hingga perut yang bebas masih saja tak mampu menghentikan amarahnya akan ingatan kelam yang selalu hadir. 

Javas baru menyadari betapa tebal wajah Anne yang memberi salam formal padanya bersikap layaknya teman lama yang baru bertemu dan tak segan menunjukkan kemesraannya bersama kekasih barunya yang akan segera bertunangan.

Sungguh sial! Selama ini Javas tak pernah menyadari jika ia sudah diduakan, Javas selalu mempercayai Anne bahkan ketika Javas harus pulang pergi ke luar negeri untuk bekerja tak pernah menyangka disaat yang sama Anne menjalin cinta dengan pria ningrat yang pernah menjadi relasi bisnisnya. Deringan ponsel mengalihkan perhatiannya.

"Di mana, Bro?"

"Menurut lo, sial lo lagi mengejek gue?!" Pertanyaan dari seberang telpon makin membuatnya jengkel.

"Relax, Bro!" suara orang yang menelpon makin terkekeh, "Jangan sampai dia tahu kalau lo langsung merenung sendiri di kamar setelah ketemu dia sama pacar barunya, butuh bantuan untuk melampiaskan emosi?"

"Omong kosong, lo dimana?" sambar Javas mendengus.

"Di depan pintu." Tak lama kemudian bel berbunyi.

"Shit!" Pria itu makin kesal hingga membanting ponselnya di sofa lalu membuka pintu.

Alven mengerutkan keningnya,"Ngeboxing malam-malam, eh? Kurang seru lo butuh melampiaskan gairah dan amarah lo, ayo pergi, kita bersenang-senang!"

"Apa gue terlihat separah itu?"

"Ngga juga, buktinya lo masih beraktivitas dan berpikir seperti biasa tapi sialnya di acara tadi lo harus ketemu sama betina itu yang bergelayut manja di lengan cowok barunya si anak bungsu dari keluarga Wicaksono,"

"Nggak penting." tukas Javas acuh yang sudah duduk di atas sofa mahalnya dengan kedua tangan terbuka lebar bersandar.

"Yes, emang nggak penting sama kayak kelakuan lo yang nggak penting sendirian merenung disini, ayo kita clubing dan kita pesan pesan perempuan yang paling cantik dan seru, gimana?"

Javas mendengus lalu melempar Alven dengan bantal kursi. "Gue lagi nggak merenung!" tukas Javas bangkit dan berjalan ke arah kamar sembari membuka sarung tinjunya.

"Ke mana?"

"Ke klab, kan? Ayo!"

"Ok."

***

"Level berapa?" Teriak Alven di tengah alunan musik yang memekakkan telinga.

Javas mengerutkan kening tidak mengerti. Pandangannya kembali ke arah gadis-gadis seksi yang meliuk-liuk di dance floor.

"Level 1 atau 2?" Tanya Alven lagi.

Javas meneguk alkohol yang tersaji di hadapannya, "Apa bedanya?"

"Pro atau amatir?"

Pilihan itu menarik perhatian Javas, "Yang kedua."

Alven mencibir, "Maksud lo amatir, don't you take a serious bro! Mana puas, gue pilihkan pro ya, biar sama kayak gue" Matanya berkedip nakal.

Javas kembali meneguk minumannya habis, "Bro, yang namanya Lyra mana, kenapa dia belum juga kelihatan?"

Anggito yang tengah meracik minuman langsung menoleh pada Javas yang duduk pada arah jam satu di depannya yang hanya terhalang bar panjang.

"Oh ya. Lyra, pelayan yang itu, dimana dia?"

“Maaf?”

“Aku mau kamu panggil wanita yang bernama Lyra, dan suruh dia temui aku ke ruangan yang aku pesan, sekarang!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status