"Dia libur hari ini."
"Gue pilih level satu inisial A1 paket lengkap." Alven mengambil alih percakapan dengan menunjukkan sebuah foto pada Javas, "Sexy, kan?!" Kedua matanya berkedip dua kali mengerling.
Dengan wajah yang ditekuk Javas mengabaikan Alven yang terus menggodanya. Dia mengambil tablet di tangan Alven lalu mencari pilihan level 2.
"Nggak ada fotonya." protes Javas saat hanya melihat daftar inisial B1 sampai B9."
"Maaf, pekerjaan ini bagi level dua semacam part time job, mereka hanya bekerja jika ada waktu luang atau keadaan mendesak butuh uang, dan, identitas mereka kami rahasiakan dan untuk B6 sampai B9 mereka cuma menemani minum nggak lebih" jelas pria berjas dan berdasi kupu-kupu yang sedari tadi berdiri di samping Alven memberikan penjelasan.
"Level satu paket lengkap, lo pilih siapa ceweknya!" intrupsi Alven menggeser page pada iPad yang masih dipegang Javas.
"B9."
"What? Seriously?!"
"Menemani minum bukan berarti ngga bisa bersenang-senang, lo tahu itu 'kan? Lagian besok gue ada kerjaan pagi." Javas mengangkat bahunya acuh
"Saya disclaimer di awal, B9 pemain baru dia aja baru banget bergabung dan belum ad pengalaman karena sebelumnya dia bekerja di bagian lain"
"Ok! That's totally fine. Gue hanya butuh dia temani gue malam ini."
"Baiklah, saya akan mengantar Anda."
"Let's do it, bro!" Teriak Alven bersemangat.
***
Javas memandang datar pada dance floor yang berada di bawah lantainya ada rasa jijik saat melihat perempuan asing membiarkan pria asing lainnya menyentuh terlalu jauh tubuh mereka, bahkan disambut senang dan tak lama setelahnya si perempuan akan beralih pada pria lain kembali membiarkan sambil menari tak jelas.
Dap..dap
Walau dentuman musik di bawah masih cukup terdengar jelas oleh telinga tapi Javas masih bisa mendengar derap langkah high heels yang diseret, ia menoleh dan sesaat terpaku menatap.
"Tuan Javas," sapa Zehra tercengang mendapati Javas yang kembali minta ditemani olehnya. Atau bukan karena Zehra sendiri sedang ikut permainan yang lain tanpa memberi nama atau foto dirinya untuk dipesan.
Javas mengangkat alis, tidak senang dengan apa yang ia dapati malam ini.
"Apa aku sedang dipermainkan sekarang?" suara Javas emosi.
"Maksud anda?"
"Bartender di bawah bilang kamu lagi libur!"
Zehra mengerjap sekali dan mengangguk kecil, "Saya memang lagi libur kerja sebagai waitress, saya disini kerja untuk tugas yang lain dan karena masih sangat baru belum banyak orang yang tahu, Tuan,"
Javas menyeringai mendengar penjelasan Zehra dengan 'tugas yang lain'.
"Oh, jadi ada bisnis di dalam bisnis disini, bagus!" ejek Javas diikuti senyuman sinis,
"Dan kamu tahu 'kan tugas kamu untuk menemani aku, melayani aku sepanjang malam tapi karena aku sendiri dan ambil paket spesial aku akan butuh penghiburan lebih, nggak ada masalah ‘kan?"
Zehra mengangguk dua kali, "Iya saya tahu, Tuan."
"Bagus, jadi kemarilah!" suruh Javas yang sudah menghempaskan tubuhnya ke atas sofa panjang dengan meluruskan kedua kakinya.
Zehra mengaitkan tangannya pada ujung baju di belakangnya mencoba menyalurkan kegamangan di hatinya. Namun segera ia enyahkan dengan kembali mengingat motivasinya, tapi tetap saja Zehra butuh permulaan.
"Tuan, mau saya tutup tirainya dan menyalakan TV untuk kemudian saya bantu pilihkan lagu atau tetap seperti ini?"
Javas memajukan tubuhnya kali ini dengan mengaitkan kedua telapak tangan di taruh di bawah dagunya yang ditopang oleh pahanya dan matanya memindai dalam, keseluruh tubuh Zehra dan berhenti pada kedua mata Zehra, "Aku ingin tetap seperti ini dengan kamu duduk disampingku dan temani aku minum!"
Zehra mendekat dan saat mendudukkan diri tubuhnya ditarik hingga tubuh keduanya saling bersinggungan tanpa jarak hanya kain yang dikenakan sebagai penghalangnya.
Javas meraih botol whiskey untuk dibuka dengan alat dan mengulurkan botol tadi pada Zehra yang tengah menahan napas karena jarak dan aroma woody musk menguar dari tubuh Javas.
"Tuangkan aku minum!"
“Baik,”
Javas mulai tak sabar akan alur yang menurutnya berbelit. “Ayo!” pinta Javas yang merangkulnya erat.
“Apa?”
“Kita pindah ke hotel, bereskan barangmu!”
"Maaf Tuan, saya tekankan sekali lagi saya bertugas sebagai pemandu dan menemani anda di ruang karaoke ini, bukan melayani kebutuhan anda yang lain jadi saya mohon tolong anda mundur, saya nggak nyaman,"
"Cih, ucapan kamu barusan terdengar dialog naskah penuh drama dan aku nggak suka menonton drama jadi mari kita buat lebih sederhana karena kamu nggak perlu khawatir aku bukan orang yang pelit apalagi kalau kamu memuaskanku, mungkin aku akan lebih murah hati dan lembut, gimana?"
Zehra tertegun sejenak rasa getir mulai menggelayuti hatinya ia merasa harga dirinya sedang ditawar dengan cara rendahan, Zehra bergerak mundur lalu mendongak menatap nyalang pada Javas yang kedua matanya berkilat tajam.
"Maaf, apa saya bisa memulai menyalakan TVnya sekarang dan-"
Javas menarik lengan Zehra hingga tubuh wanita itu menabrak d**a bidangnya. Dan sebelum Zehra mencerna keterkejutannya, Javas sudah memagut bibir tebal Zehra. Menelusuri sepanjang garis bibir wanita itu dengan lidahnya. Melumat dan menyesap rasa semanis madu yang kenikmatannya membuat Javas terkejut dan candu dibuatnya.
Mata Zehra terbelalak lebar. Meronta dengan sia-sia dari kekangan sang tuan. Kepala bagian belakangnya ditahan, untuk mempertahankan lumatan panas dan basah mereka semakin dalam.
Javas akhirnya membiarkan tubuh Zehra lepas dari pelukannya setelah matanya terbuka dan melihat wajah Zehra yang berkilat memerah membuka kecil mulutnya, mengeluarkan desah napas memburu karena kehabisan napas.
Benar-benar wanita yang payah dan tak berpengalaman dalam berciuman. Hanya ciuman pendek seperti ini saja nyaris membuat wanita itu mengap-mengap layaknya ikan yang terpaksa dikeluarkan dari air laut.
Zehra mendorong dada bidang Javas dengan sekuat tenaga lalu ia bergerak mundur, hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terseok jatuh belakang lantaran sepatu tingginya. Menarik udara melewati hidung dan bibirnya dengan rakus demi memenuhi udara di paru-parunya.
"A-apa... yang Anda lakukan, Tuan?" Zehra berusaha keras mengeluarkan cicitannya di antara bibirnya yang bergetar. Wajahnya memanas, oleh rasa malu bercampur kemarahan yang membludak.
"Aku udah bilang aku bukan pelacur!" sentaknya yang jengkel melihat Javas menatapnya remeh.
"Kenapa kamu sok jual mahal bukankah ini yang kamu mau?" dengus Javas tanpa sedikitpun rasa bersalah. Bahkan dengan santainya pria itu menggusurkan ibu jari di sepanjang bibirnya lalu menjilat basah yang tersisa di sana seolah menikmati setetes madu. "Rasanya lumayan," komentarnya kemudian dengan ringan dan kembali memandang Zehra dengan mata berkilat.
Mata Zehra melebar terkejut, di antara napasnya yang terengah dengan keras. Pria itu seolah tidak menunjukkan sikap penyesalan karena telah melecehkan seorang wanita. Dan malah menunjukkan kepuasan karena berhasil merampas ciuman dari seorang wanita lemah sepertinya.
"Biasanya ciuman dan sentuhan lebih dari ini masih satu paket dengan paket yang sudah dibayar tapi karena ini pertama buat kamu aku nggak keberatan memberimu tips dua juta? lima juta? atau berapa kamu menghargai bibirmu sepertinya aku nggak keberatan mengeluarkan beberapa kali lipat asal kamu mau melucuti semua pakaian mu disini dan layani aku, bagaimana?"
Kepalan tangan Zehra menunjukkan bagaimana terkoyaknya harga diri wanita itu yang dilecehkan oleh Javas. Zehra meremas ujung dressnya membuat dressnya lecek tak terbentuk.
"Dengan pakaian seperti ini, kamu menerima undanganku dengan niat ini, kan? Merayu dan mendapatkan imbalan untuk servis mu."
Zehra hampir menangis, tak mampu menyangkal kebenaran niat yang diucapkan oleh pria itu. Tapi kata-kata 'mendapatkan imbalan untuk servis' adalah berlebihan.
Sangat berlebihan dan melukai hatinya. Tapi ia menahan sekuat tenaga agar tangisan itu tak sampai jatuh di pipinya.
"Anggap aja kamu lagi dapat job lebih, aku nggak keberatan melakukannya di ruangan ini, dan kamu akan bayar kamu asal kamu bisa buat puas, adil kan?"
Plaakkkk....
Zehra terkejut dengan tangannya yang melayang dan mendarat di pipi sang penyewanya. Entah keberanian dari mana yang mendorong tubuhnya melakukan tindakan lebih cepat dari niat yang muncul di hatinya. Dengan panik Zehra gegas bangkit dan setengah berlari ke arah pintu keluar.
Namun tinggal beberapa langkah, Zehra kembali ditangkap dan tubuh ringkihnya didorong dan ditahan untuk dihimpit di tembok.
Dengan seringai yang tersungging di sudut bibirnya, Javas kembali menegakkan kepalanya. "Apa arti tamparan ini? Apa kamu merasa hina dengan dirimu sendiri? Tersinggung eh, Atau kau baru menyadari bagaimana rendahnya dirimu?"
Tangan Zehra terangkat, hendak melayangkan satu tamparan lagi di wajah Javas. Tapi Javas menangkap pergelangan tangan Zehra, lalu menarik wanita itu hingga berbaring di meja disambut pecahan gelas dan botol ke lantai. Zehra terkejut mendengarnya fokusnya terbagi sementara itu dengan licik Javas memanfaatkan tubuh besarnya, ia menahan kaki dan kedua tangan di atas kepala Zehra, dan kembali menikmati rasa manis dan kelembutan bibir Zehra.
Rontaan Zehra sama sekali tak membuat ciuman Javas berhenti. Pria itu malah semakin ganas melumat dan menyesap bibir Zehra.
Zehra putus asa. Menangis dalam diam dan membiarkan Javas memaksakan kehendak pria itu pada tubuhnya.
Javas berhenti. Matanya terbuka dan langsung dihadapkan pada banjir air mata yang memenuhi wajah di bawahnya. Wanita itu langsung menelengkan wajahnya ke samping, melanjutkan tangisan tanpa suara. Untuk pertama kalinya, Javas merasa telah melakukan kesalahan teramat besar yang tidak diketahuinya.
Perlahan, Javas menegakkan punggungnya dan membiarkan Zehra turun dari atas mejanya.
"Saya bukan wanita seperti yang anda pikirkan," isak Zehra dengan suara tersengal masih dengan pandangan yang menghindari Javas sambil mengancingkan kemejanya. Lalu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan ruangan tersebut, dengan kemarahan yang semakin menggelegak.
Tapi ternyata akal sehatnya bekerja dengan baik, membuatnya menahan diri agar tidak kembali berbalik dan menghujani sang bos dengan ribuan makian dan tamparan untuk melepaskan gemuruh di dadanya. Pilihan yang diberikannya hanya satu, sebagai manusia rendahan.
Yaitu menangisi ketololannya.
Sejak awal niatnya yang salah datang kemari. Bagaimana mungkin ia bisa berharap akan mendapatkan hasil yang memuaskan?
Tok...tok..
"Masuk!"
Zehra merintih kesakitan setiap Ricky menciumnya demi menutupi bekas Javas yang menimbulkan ruam kemerahan di kulinya. Pria itu benar-benar kalap menggerayangi seluruh permukaan tubuh Zehra. Tarikan napas puas Ricky terdengar jelas setelah tarikan dia berhasil menyatukan dirinya dengan Zehra. Bertahun-tahun dia menunggu momen ini, momen dimana Zehra berbaring pasrah di bawahnya dengan kaki terbuka, momen saat dia berada di dalam Zehra, berkeringat bersama, saling bercumbu, saling menggerayangi, dan saling menikmati demi kepuasan bercinta. Ricky diam merasakan sensasi yang lama dirindukannya. Saat ini tidak ada saling, hanya dia seorang yang akan mencapai kepuasan itu. Sesering apa pun dia mencoba dan mengecap wanita lain, ternyata tidak ada yang senikmat Zehra, mungkin karena selama ini Zehra adalah wanita yang ia cintai sekaligus wanita yang menolaknya untuk dibawa ke ranjang, dan sensasi itu luar biasa.Seks itu subjektif. Tergantung bagaimana individu menilai pasangannya. Sensasi
Zehra diliputi kecemasan, aura penindasan terlihat jelas dari sorot mata Javas. Zehra memang tidak pernah mengijinkan siapapun masuk ke sana, tempat itu tidak diciptakan untuk kesenangan sesaat para pria mesum sejenis Javas, tempat itu untuk mengeluarkan apa pun yang tidak dibutuhkan tubuh Zehra, bukan untuk dimasuki milik siapa pun. Menyadari dirinya dalam bahaya, Zehra beringsut mundur. Tapi sayang Javas Lebih cekatan memutar tubuhnya tengkurap lalu mengunci kedua tangan Zehra di belakang. "Jangan lakukan itu Javas, kumohon!" isak Zehra tidak bisa bergerak, sebab dia kalah tenaga. "I'll be the first there," ujar Javas mengikat tangan Zehra dengan tali bra-nya. Telinganya menuli, isakan Zehra malah membuatnya semakin bersemangat memberi pelajaran pada wanitanya yang berani mencium pria lain di depannya. Javas menarik pinggul Zehra mendekati miliknya yang sudah keras dan berhasrat. Tarikan kasar Javas otomatis menekuk kaki Zehra dan kepalanya menahan beban tubuh bagian depannya.
“Kesepakatan sialan itu bisa kita ubah-”“Nggak! Aku nggak mau ada yang berubah!” Zehra menatap Javas dalam dan berani. Kemudian ia mulai menyunggingkan senyuman tipis, “Aku mau kembali hidup normal tanpa ada rasa bersalah, atau khawatir akan menyesal nantinya.”“Menyesal? Setelah banyak hal yang udah aku kasih ke kamu?!”Zehra mengangguk kecil masih tersenyum tipis, “Gimana sama kamu? Memangnya kamu belum mau berpacaran sama orang yang kamu inginkan dan punya hubungan serius sama dia?”“Dia? Siapa yang kamu maksud?”“Wanitamu … yang bernama Leticia?”***40 hari kemudian Zehra terbangun karena suara berisik yang ditimbulkan oleh aktivitas Javas, yang saat ini sedang berjalan mendekatinya. “Selamat datang, Jav. Kamu sampai terlalu pagi, tau!” sambut Zehra dengan suara mengantuk.“Habis dari mana kamu semalam?”“Apa? Aku?.... Kenapa kamu tanyain itu tiba-tiba?”“Dan kemarin malam juga, sama siapa kamu pergi dan apa yang kalian lakukan?”"Nafas kamu bau alkohol! Sebaiknya kamu tidur
Beberapa bulan kemudian“Jadi, kenapa kamu masih aja terlambat?”Zehra senyum tertahan atas sambutan Javas padanya yang terkesan sinis. “Aku… itu karena aku agak kesulitan dapat taxi onlinenya.”“Oh, ya? Bukannya karena kamu abis bertemu dengan teman kencanmu itu?”Zehra mengerjapkan matanya dua kali, ingatannya berputar saat ia kepergok sedang makan berdua di restoran mall oleh Elkan, salah satu sahabat Javas, dan tentu saja itu ia ia lakukan saat Javas tengah keluar kota dan menarik napas sebelum bicara. “Teman-temanku adalah teman-teman dia juga, dan jelas aku nggak bisa menghindari dia begitu aja ketika kami nggak sengaja makan siang di tempat yang sama, Jav!” Zehra lekas menjelaskan. Berharap kejujurannya bisa dipercaya oleh pria itu meski dengan kemungkinan yang sangat tipis."Kami… Cuma makan siang, nggak lebih…" Mata Javas menyipit tajam. Geraman terdengar dari dalam dadanya. Pengakuan Zehra membuat kecemburuan di dadanya semakin bergemuruh. Javas bangkit dari singgasananya
“Halo,”“Ra, akhirnya kamu angkat telpon aku juga! Ra, tolong bantu aku bicarakan pada pria itu untuk berhenti mengacaukan pekerjaanku! Aku sudah merelakanmu ‘kan? Jadi seharusnya dia menghentikan semuanya ‘kan?”Zehra menghela napas gusar dan menatap balik Javas yang menyeringai ringan kemudian mengangguk kecil. “Ya, aku akan menolongmu untuk bicara sama dia, ada lagi?”“Apa?... Ah, kamu mengerti ‘kan? Posisi aku? Kamu nggak marah sama aku ‘kan?”Zehra menahan nafasnya saat Javas menyambar ponsel dan mematikannya. ***Javas membuka kancing kemeja nya, melonggarkan ikat pinggangnya. "Apalagi yang bisa kulakukan selain ngobrol dengannya di tempat kerjamu. Kamu melarangku bicara dengan orang lain," balas Zehra berbaring di sofa panjang depan tv. "Entah kenapa aku nggak suka melihatmu bersamanya." Javas tiba-tiba menindih Zehra. Remote tv yang dipegangnya terjatuh karena kaget. Serangan Javas membungkam mulutnya sebelum protes. Awalnya Zehra meronta memukul dada Javas tapi lama-lama b
“Mau kemana?”refleks “Kenapa kamu harus menyamar jadi orang lain, hah? Apa tujuan kamu sebenarnya?”“Tujuan? Ckk… itu cuma sekedar nama panggung Jav! Lagian kamu tahu dari mana nama asli aku?”Javas memandang Zehra lamat lalu menjawab, “Aku jelas mendengar mantan pacarmu itu yang memanggil kamu Zehra.” “Oh, ya…. Kami saling mengenal sebelum aku bekerja di club malam,”“Lalu?”“Lalu, bukan cuma kamu orang yang memanggil aku dengan panggilan Lyra. Semua orang yang memakai jasaku, jga memanggil nama itu. Jadi apa kamu udah paham? Apa pembahasan kita udah selesai?”“Pergilah, setelah kamu, aku juga harus mandi atau kita bisa mandi berdu-”“Aku duluan!” potong Zehra segera berlalu.***"Iya Mah, aku paham. Tapi untuk kali ini aku lagi fokus membiayai urusan rumah sakit papah yang ternyata cukup banyak dan masih panjang. Tapi aku yakin aku bisa mengatasinya satu persatu." ucap Zehra sebelum ia memutuskan panggilan. Zehra menarik napas lega. Karena masalahnya sudah teratasi satu persatu d