Share

2. Peduli

Dara menangis sesenggukan di depan ruang rawat adiknya, perempuan itu tidak sampai hati melihat keadaan adiknya pasca kemoterapi yang sejak tadi tidur dan kejang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi satu suap nasi pun Dara belum makan. 

Dari kejauhan seorang pria berjalan pelan seraya memasukkan kedua tangannya di kantong jas putihnya. Pria itu menatap Dara dengan pandangan yang sulit diartikan, selama Dara datang ke rumah orang tuanya, tidak pernah sekalipun Dara menceritakan tentang adik atau pun kehidupannya. Revan hanya mengira kalau Dara anak orang miskin, tetapi siapa sangka kalau kehidupan Dara terlalu komplek. 

Langkah Revan membawa pria itu untuk mendekat pada gadis cantik yang tengah menangis. “Ekhem.” Suara deheman tidak berhasil membuat Dara mendongak. 

“Ekhem.” Revan berdehem lagi, tetapi karena tidak mendapat respon dari Dara, Revan menepuk pundak perempuan itu. 

Dara tersentak, perempuan itu menatap Revan yang berdiri di depannya. “Ada apa?” tanya Dara yang raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. 

“Bagaimana keadaan anakmu?” tanya Revan yang ikut sewot. “Anak dari Ayah yang mana?” tanya Revan lagi yang bibirnya mungkin hanya senang melukai hati Dara. 

Dara segera berdiri, perempuan itu menatap Revan dengan tatapan tajamnya. “Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau kamu yang berhasil mengambil keperawananku? Apa kamu mendadak bodoh sampai bertanya anak dari Ayah yang mana?” tanya Dara dengan tajam. 

Revan bersiap membuka bibirnya untuk membalas ucapan Dara, tetapi Dara nyelonong pergi begitu saja meninggalkan Revan. Saat memasuki ruang rawat, Dara melihat adiknya yang membuka mata. 

“Kai, kamu sudah bangun?” tanya Dara mendekati adiknya. 

“Mual,” rengek Kaivan manja.

“Kamu mau makan apa biar Kakak belikan. Dimsum? donat? Atau mau makan jamur krispi?” tanya Dara. 

Kaivan menggeleng tanda dia tidak mau, bocah itu hanya berguling-guling di ranjang karena merasa perutnya sangat mual tetapi tidak bisa muntah. 

“Kamu masih sakit, kalau kamu tidak makan ususmu bisa dipotong,” seloroh Revan yang tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Kaivan yang baru menyadari kalau ada orang lain pun segera menatap ke sumber suara. Seketika Kaivan menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya karena takut. Revan membulatkan matanya saat melihat respon Kaivan.

“Kai, makan dulu ya!” pinta Dara. 

“Gak mau … gak mau … pokok gak mau,” jawab Kaivan terus menolak. 

“Siapa yang tidak mau makan?” tanya seorang pria membuat Dara dan Revan menatap ke arah pintu. Dokter Arhan masuk seraya mengusung senyumnya. 

Mengenali suara Arhan, Kai langsung menurunkan dua tangannya dari wajah, “Dokter Arhan datang,” ucap Kai terlihat senang. 

“Ini, Om bawain kamu dimsum daging,” ujar Arhan dengan senang. 

“Aku mau makan … mau makan … mau makan!” pekik Kai senang. Dara mmbantu adiknya untuk duduk agar bisa makan. 

“Tadi kamu bilang gak mau makan,” seloroh Revan, Arhan menatap Revan dengan pandangan bingung, sedangkan Kai tidak menanggapi sama sekali. 

“Ada apa Dokter Revan masih di sini?” tanya Arhan. 

“Saya memastikan kalau anak itu dalam keadaan baik-baik saja. Sekarang Dokter yang menanganinya adalah saya,” jawab Revan. 

“Sekarang Kai sudah tidak apa-apa, silahkan Dokter Revan kembali memeriksa pasien selanjutnya!” pinta Arhan seraya tersenyum. Setelahnya cowok itu kembali fokus pada Kai untuk menyuapi anak itu makan. 

Sedangkan Revan mengepalkan tangannya dan segera pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Dara. 

“Dokter, terimakasih ya sudah membawakan makanan untuk Kai. Saya tidak tau harus bagaimana kalau tidak ada Dokter di sini, Dokter selalu membantuku,” ujar Dara tulus. 

“Tidak apa-apa, sudah semestinya saya membantu,” jawab Arhan. “Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa memanggil saya kapan saja,” tambah Arhan. 

Dara mengangguk senang karena bersyukur dipertemukan dengan Dokter sebaik Arhan, sedangkan Revan berdecih mendengar ucapan Dara. Dara bilang kalau tidak ada Arhan tidak tau nasibnya bagaimana, padahal Dara harusnya berterima kasih padanya, karena uang dari Revan bisa digunakan untuk kemoterapi. 

Revan melanjutkan keliling kamar untuk memeriksa pasiennya yang lain. Sedangkan Arhan dan Dara masih di ruang rawat Kaivan. 

“Om Dokter, bagaimana cara jadi Dokter?” tanya Kai dengan suara lucu nan menggemaskan. 

“Sekolah yang pintar, terus belajar yang rajin. Nanti kalau sudah besar, kamu pasti juga jadi Dokter,” jawab Revan. 

“Iya, nanti kalau sudah besar, aku akan jadi Dokter biar gak sakit lagi. Aku akan ke rumah sakit untuk menyembuhkan orang, bukan untuk jadi pasien,” ujar Kai dengan senang. Dara menghapus air matanya yang mendesak turun, perempuan itu mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut. 

Dara merasa gagal menjadi seorang kakak yang tidak bisa menyenangkan adiknya. Dara masih punya Ayah, tetapi Ayahnya pun sakit-sakitan tidak mampu bekerja. Sedangkan Dara hanya bekerja yang uangnya sangat pas-pasan, padahal Dara sendiri ingin mengobatkan adiknya ke luar negeri agar adiknya cepat sehat seperti sebelumnya, tetapi semua terkendala dengan biaya. 

*****

Pukul lima sore Dara menghadapi adiknya yang rewel minta sekolah, Dara ingin berangkat kerja, tetapi tangannya ditahan oleh adiknya. 

“Kai, kamu di sini dulu. Nanti Kak Risya datang menjenguk kamu, sekarang Kakak harus bekerja,” ujar Dara menenangkan adiknya yang menangis. 

“Gak mau … pokok gak mau ditinggal,” jawab Kai kukuh. 

“Kalau Kakak gak bekerja, Kakak gak bisa beliin kamu makanan. Sekarang lepasin baju Kakak!” titah Dara. 

“Kakak bekerja terus tapi uangnya gak ngumpul-ngumpul. Kakak bilang akan menyekolahkanku, tapi aku gak sekolah-sekolah. Aku sudah lima tahun, Kakak. Aku pengen sekolah,” rengek Kai yang membuat air mata Dara kembali menggenang di pelupuk matanya. 

“Iya, nanti Kakak sekolahkan kamu. Sekarang biarkan Kakak bekerja dulu,” ucap Dara. 

“Bohong, Kakak pembohong!” pekik Kai yang kini bertambah menangis kencang. Dara melirik jam dinding yang mepet dengan jam kerjanya karena kebagian shift dua. 

“Kakak janji kali ini gak bohong. Besok Kakak bawa kamu ke sekolah,” ujar Dara membujuk. 

Bertepatan dengan itu Risya datang membawa banyak coklat dan mainan untuk Kaivan. “Dara, cepat pergi!” titah Risya. 

“Titip adikku dulu!” pinta Dara. Setelahnya perempuan itu segera melenggang pergi. Saat keluar ruang rawat, lagi dan lagi Dara harus berhadapan dengan orang yang sangat dia benci, siapa lagi kalau bukan Revan. 

Karena tidak mau meladeni Revan, Dara menghindari pria itu. Namun, tiba-tiba Dara merasa kakinya sangat lemah, perempuan itu hampir limbung. Untung dengan sigap Dara berhasil berpegangan pada tembok. 

“Dara, ayo ikut aku!” ajak Revan menarik tangan Dara. Dara menahan diri pertanda menolak. 

“Menurutlah, Dara!” desis Revan. 

“Setelah kemarin, kita tidak ada urusan lagi,” ujar Dara. 

“Ingatlah kalau foto-fotomu masih ada di hpku,” ucap Revan seraya menaikkan sebelah alisnya. 

“Apa maumu?” tanya Dara mendesis. 

“Ke mobilku sekarang!” titah Revan menarik paksa tangan Dara hingga Dara terseok-seok mengikuti langkah pria itu. Hingga sampai di parkiran, Revan memasukkan Dara ke mobilnya. 

“Duduk di situ sampai aku kembali! Kalau kamu berani keluar, tau sendiri akibatnya!” titah Revan sekaligus mengancam. 

Setelahnya Revan bergegas pergi, sedangkan Dara hanya mengepalkan tangannya dengan kuat karena dia tidak bisa melawan Revan. Dara takut kalau dia macam-macam Revan bisa menyebarkan aibnya. Tidak berapa lama Revan datang membawa satu kotak makanan. 

“Makan ini!” titah Revan. Dara menggeleng tanda dia tidak mau. “Aku takut isinya racun,” elak Dara. 

“Kalau aku mau membunuhmu, sudah kulakukan sejak kamu menolakku,” jawab Revan. 

Suara perut keroncongan berbunyi sampai di telinga Revan, pun dengan Dara yang sangat lapar. Dara menerima kotak makan itu dan memakannya dengan lahap. Tadi Dara seolah tidak mau, tetapi sekarang cewek itu makan seperti orang tidak makan tujuh hari. Revan menjalankan mobilnya sesekali melirik Dara yang masih makan. Hingga lambat laun makanan di kotak itu sudah habis, pun dengan Dara menerima air yang diberikan oleh Revan. 

Jam kerja Dara hampir masuk, kalau dalam lima menit Dara tidak sampai di tempatnya kerja, mungkin perempuan itu akan dipecat. Namun, bukannya meminta Revan cepat menjalankan mobil ke tempatnya kerja, Dara malah terlelap dalam tidurnya. 

Revan sampai di rumah pribadinya, pria itu turun dari mobil dan bergegas ke samping kemudi. Dengan mudah Revan membopong tubuh Dara dan membawanya masuk ke rumahnya. Revan lah yang membuat Dara tidur dengan mencampurkan obat tidur di air mineral yang diminum Dara. Pria tampan itu tidak berniat buruk pada Dara, hanya saja Revan ingin Dara istirahat malam ini. Karena yang Revan lihat sejak siang Dara hanya duduk menjaga adiknya, padahal semalam baru bekerja keras. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status