Baru kali ini Dara merasa tidurnya sangat nyenyak. Kasur yang dia tiduri pun sangat empuk seperti bukan kasur miliknya, pun dengan harum yang sangat menenangkan menusuk hidung Dara. Kalau seperti ini rasa nyenyaknya tidur, Dara tidak ingin bangun.
“Eum … nyenyaknya,” gumam Dara memeluk guling dengan erat.
Revan yang tengah menggulung lengan kemejanya pun menatap Dara yang wajahnya berkali lipat lebih cantik saat tidur. Wajah perempuan itu terlihat sangat polos nan teduh, siapa yang tidak jatuh cinta dengan perempuan secantik itu?
Lambat laun Dara membuka matanya, pertama yang Dara lihat adalah ranjang putih bersih serta guling berwarna putih juga.
“Aku dimana?” tanya Dara segera mendudukkan dirinya karena merasa ini bukan tempatnya, pun dia harusnya bekerja, tetapi malah terdampar di ranjang.
“Syukurlah kamu sudah bangun, aku pikir kamu simulasi di alam barzah,” ujar Revan membuat Dara menoleh. Dara tercekat melihat Revan yang berdiri tidak jauh darinya tengah memakai kemeja dan rambut basah yang disisir rapi. Tiba-tiba pikiran Dara mengarah ke yang ‘iya-iya, buru-buru perempuan itu menatap seluruh tubuhnya.
“Jangan harap aku memperkosamu, aku tidak akan melakukannya,” seloroh Revan.
“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Dara segera bangun dari ranjang.
“Apa kamu yang membawaku kesini?” tanya Dara lagi. Hingga perempuan itu ingat kemarin dia naik mobil Revan, dengan cepat Dara mendekati pria yang terlihat tidak bersalah sama sekali itu.
“Sebenarnya apa maumu?” tanya Dara berteriak. “Aku ingat kemarin aku berada di mobilmu dan makan dari makanan yang kamu bawa. Kamu pasti menjebakku di sini. Semalam aku harus bekerja, tapi gara-gara kamu, aku malah terdampar di sini. Bagaimana kalau aku dipecat!” Dara berteriak menggebu-gebu seraya mendorong tubuh Revan.
“Aku merasa tidak pernah bersalah padamu, tapi kenapa kamu menargetkanku? Kenapa kamu membawaku dalam kesulitan?”
“Mencari pekerjaan sekarang susah, aku sudah senang mendapatkan pekerjaan itu meski harus kau remehkan. Tapi sekarang kau hmphhh—”
Ucapan Dara terhenti saat tiba-tiba Revan mencium bibirnya. Dara membulatkan matanya, apalagi saat merasakan tangan Revan merengkuh pinggangnya dengan erat. Seketika Dara merasa tubuhnya meremang. Dara mendorong tubuh Revan sekuat tenaga, tetapi rengkuhan tangan Revan sangat kuat. Dara tidak menyerah, perempuan itu terus mendorong tubuh Revan hingga ciuman mereka terlepas.
Suara tamparan terdengar kencang di kamar yang luas itu sampai pipi Revan berpaling. “Laki-laki tidak bermoral!” bentak Dara.
“Aku bukan kekasihmu, aku juga bukan perempuan sewaanmu lagi, jangan pernah menciumku sembarangan!” tambah Dara.
“Maka itu jadilah istriku!” pinta Revan membuat Dara tercekat.
Dara merasa semakin hari Revan semakin gila. Setelah menjadikannya perempuan sewaan, menciumnya dengan tiba-tiba, dan kini pria itu ingin menjadikannya istri.
“Gila kamu,” maki Dara ingin pergi, tetapi tangannya ditahan oleh Revan.
“Aku serius, Dara,” ujar Revan.
“Aku menikah dengan laki-laki sepertimu? Cuih!” Dara meludahi tepat wajah Revan.
Revan menatap Dara dengan pandangan tajam seolah akan melahap perempuan itu hidup-hidup. “Beraninya, kau!” desis Revan.
“Kita hanya mengenal karena aku bersih-bersih di rumah orang tuamu, tetapi kamu sudah membawaku dalam banyak masalah. Kamu menyimpan video-video kita seolah aku yang memalukan di situ, kamu merendahkanku di hadapan teman-temanmu, dan sekarang kamu membuatku dipecat dari pekerjaan. Lalu aku harus menikah dengan laki-laki sepertimu? Jangan harap!” sentak Dara.
Revan mencekik leher Dara membuat Dara merasa lehernya sakit seketika, perempuan itu berusaha melepaskan tangan Revan, tetapi Revan lebih kuat darinya.
“Jangan percaya diri, Nona. Aku menikahimu bukan karena aku menyukaimu, tetapi hubungan timbal balik. Aku beruntung memiliki budak yang bisa telanjang setiap hari di hadapanku, dan kamu beruntung mendapatkan uang untuk transplantasi sumsung tulang belakang. Adikmu bisa sembuh kalau melakukan transplantasi, dan kamu membutuhkan setidaknya satu milyar untuk melakukannya,” bisik Revan. Setelahnya cowok itu melepas cekikan pada leher Dara.
Dara terbatuk-batuk, perempuan itu menghindari pandangannya pada Revan. Kemarin Dara juga sudah diberitahu oleh Dokter Arhan kalau kemungkinan Kaivan sembuh sangat besar kalau melakukan transplantasi sumsum tulang belakang, tetapi biayanya sangat mahal membuat Dara tidak berani menyanggupi. Sekarang Revan menawarkan pernikahan padanya, bukan pernikahan, lebih tepatnya perbudakan.
“Pikirkan itu, Nona!” titah Revan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Pria itu merasa puas karena satu langkah lagi dia akan mendapatkan Dara seutuhnya.
“Oh iya, kalau kamu menikah denganku, kamu tidak perlu bekerja di tempat seperti itu lagi. Biarkan kamu murahan hanya di depanku,” tambah Revan seraya tertawa dengan suara yang terdengar sangat mengejek.
Dara mengepalkan tangannya dengan kuat, hanya itu yang bisa Dara lakukan karena dia tidak punya kuasa untuk menghajar balik Revan.
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud