“Ini bayaranmu!" desis seorang pria tampan melemparkan uang ratusan ribu berlembar-lembar ke wajah seorang perempuan yang tengah berlutut di depannya.
Dara terus menangis sesenggukan, benar-benar Dara merasa harga dirinya hancur karena rela memberikan sesuatu berharga demi uang. Dara Kirana, seorang perempuan cantik nan manis dengan rambut panjang serta gigi gingsulnya. Sejak dulu Dara mempunyai prinsip untuk bekerja keras yang penting halal, tetapi malam ini semua berubah saat dia rela memberikan mahkota berharganya pada Revan.
Selama ini Dara berusaha mendapatkan banyak uang dengan susah payah agar hidupnya terjamin. Mulai menjadi tukang bersih-bersih di rumah orang tua Revan, sampai dia bekerja di bar. Akan tetapi saat usianya memasuki dua puluh tiga tahun, kehidupan Dara semakin runyam hingga tiba di malam ini dia pasrah menjadi pelacur satu malam.
"Apa yang harus kamu katakan padaku?" tanya Revan mencengkram dagu Dara dengan kasar sampai membuat Dara meringis kesakitan.
“Te— terimakasih,” ujar Dara. Revan melepaskan cengkraman dagunya kasar, sedangkan Dara segera memunguti uang yang diberikan oleh Revan.
“Cepat pergi dari sini!” titah Revan kembali mengambil uang yang lain dan melemparnya tepat ke kepala Dara yang membungkuk memakai baju. Air mata Dara semakin deras, bahkan anjing saja lebih berharga dari Dara saat ini.
“Semoga kita gak bertemu lagi,” ucap Dara.
“Aku juga tidak sudi bertemu apalagi memasukimu lagi. Bagiku hanya cukup sekali bersama setiap wanita, tidak ada dua kali karena tidak menarik sama sekali,” jawab Revan.
Dara memunguti lagi uang yang berserakan dan bergegas pergi dari kamar mewah itu. Perempuan itu menangis di setiap langkahnya. Dara dan Revan sudah kenal lama, saat itu Dara sering ke rumah orang tua Revan karena dia berteman dengan Risya, adik Revan, hingga keluarga mereka menawarkan pekerjaan untuk Dara sebagai tukang bersih-bersih.
Awalnya semua baik-baik saja, tetapi makin lama Revan gencar mendekati Dara hingga membuat Dara risih. Pun dengan Revan yang makin lama makin kurangajar hingga pertemuan mereka tidak pernah memberikan kesan baik.
Di dalam kamar hotel Revan menatap darah yang berceceran di sprei. Setelahnya Revan menarik spreinya dengan kencang dan melemparkan asal.
Revan Arjuna, pria berusia dua puluh sembilan tahun yang merupakan Dokter spesialis kanker yang memiliki perawakan tinggi tegap dengan kulit yang lumayan putih. Pria itu sudah lama mendambakan Dara untuk berada di bawah kungkungannya, tetapi Dara sangat susah didekati. Namun saat Dara sudah tunduk di bawahnya, perasaan Revan malah campur aduk tidak karuan.
Revan tidak tau harus senang apa marah, dia senang karena mendapatkan Dara sebagai wanita yang tidak berdaya di bawahnya, tetapi juga marah karena dengan murahnya Dara mau dengannya hanya karena uang.
Dara keluar dari hotel mewah itu dan berjalan tergesa-gesa menuju tempatnya bekerja. Selain menjadi tukang bersih-bersih di rumah orang tua Revan dan Risya, Dara bekerja di bar sebagai pelayan, meski dalam pekerjaannya tidak mudah, tetapi asal uangnya banyak Dara akan melakukannya.
Sama halnya Risya, Dara juga lulus kuliah dengan gelar sarjana ekonomi, tetapi nasibnya tidak sebagus Risya yang bisa bekerja di perusahaan Ayahnya. Sedangkan Dara? Lebih dari dua puluh lamaran pekerjaan, satu pun tidak membuahkan hasil. Dara terus terjebak dalam lingkaran penuh maksiat.
Sesampainya di tempat kerja, Dara segera mengantarkan minuman untuk para pelanggan di kelas vip. Paras Dara yang cantik membuat banyak mata menyukainya, jadilah Dara berada di kelas atas untuk memanjakan para pria hidung belang berduit.
“Silahkan dinikmati, Tuan,” ucap Dara meletakkan dua minuman di meja dua orang pria.
“Berapa?” tanya pria itu kepada Dara.
“Ayolah, dia tidak mau menjual tubuhnya. Aku sudah memintanya berkali-kali,” sahut salah satu pria asing itu.
Dara menegakkan tubuhnya dan bersiap pergi, tetapi matanya terpaku kepada pria yang baru saja datang seraya menampilkan seringaiannya.
“Siapa bilang dia tidak mau menjual tubuhnya?” tanya Revan seraya menaikkan sebelah alisnya.
“Aku baru saja merasakannya,” tambah Revan segera duduk di samping dua temannya.
“Waah, benarkah? Bagaimana rasanya?” tanya teman Revan seolah hal itu bukanlah pembicaraan yang tabu.
Dara mengepalkan tangannya saat dia lagi dan lagi dilecehkan oleh pria-pria kaya itu.
“Aku punya rekamannya bagaimana dia mendesah di bawahku,” ucap Revan membuat Dara membulatkan matanya.
“Jangan sembarangan!” bentak Dara segera mendekati Revan. Sedangkan Revan hanya tertawa kecil.
“Aku akan menyebarkan ke publik, pasti sangat menyenangkan ketika tubuhmu dinikmati banyak orang,” ucap Revan menatap Dara dari atas sampai bawah dengan pandangan mesumnya, bahkan pria itu juga menjilat bibirnya dengan sensual seolah dia akan melahap Dara hidup-hidup.
“Kamu pria kejam yang pernah aku temui!” sentak Dara sambil menunjuk Revan. Dengan sigap Revan menarik tangan Dara dan mengarahkan ke tubuh bawahnya.
“Tolong!” teriak Dara memanggil rekan-rekannya agar dia selamat dari manusia jahanam bernama Revan, tetapi tidak peduli bagaimana dia berteriak, satu pun temannya tidak ada yang menolongnya.
“Nikmat sekali, Dara,” ucap Revan seraya mendesah pelan.
Tadi Revan juga mengatakan tidak ingin bertemu Dara, tetapi nyatanya Revan tetap menyusul perempuan itu di tempatnya bekerja. Lagi dan lagi Dara merasa hina diperlakukan seperti ini oleh Revan.
“Lepaskan aku!” pinta Dara.
“Memohonlah dulu padaku!” pinta Revan. “Memohon seperti anjing kecil,” tambah Revan.
Dara bersimpuh di lantai seraya tangannya masih dipegang oleh Revan. “Tu– Tuan, lepaskan aku!” pinta Revan.
Revan tertawa terbahak-bahak melihat Dara, setelahnya pria itu melepaskan tangan Dara. “Inilah akibatnya kamu menolakku, Dara. Kemarin-kemarin kamu sok jual mahal, ternyata kamu semurah ini,” bisik Revan menendang tubuh Dara hingga Dara terjengkang. Tanpa memperdulikan sakitnya, perempuan itu bergegas pergi menjauhi Revan.
****
Keesokan harinya merupakan hari pertama Revan dipindah tugaskan ke rumah sakit yang lebih besar di kotanya. Pria itu keliling kamar bersama beberapa perawat dan Dokter magang.
Revan memasuki satu kamar yang diisi beberapa pasien kanker, baru juga masuk kamar, pria itu sudah disambut dengan anak kecil yang tengah kejang-kejang dengan hidung yang ada selang oksigen. Dokter jaga segera memberikan penanganan khusus untuk bocah itu.
“Dokter, anak ini kenapa?” tanya Revan segera mendekat.
“Anak ini menderita leukimia stadium tiga, kami sedang menunggu pihak keluarga membayar kemoterapi untuk melanjutkan prosedurnya,” jelas Dokter Arhan yang juga menangani kanker.
“Kenapa harus menunggu pembayaran kalau keadaan pasien sudah seperti ini? Saya yang akan menanggung biayanya,” ujar Revan dengan tegas segera mengangkat anak itu untuk dibawa ke ruang kemoterapi.
Revan berlari keluar kamar dengan tergesa-gesa, saat melewati ruang administrasi, pria itu melihat Dara di sana. Kebetulan Dara menatap ke arah Revan, mata perempuan itu membulat saat melihat adiknya dalam gendongan Revan.
“Mau kau bawa kemana adikku?” tanya Dara menjerit karena takut adiknya diapa-apain oleh Revan.
Revan tidak menanggapi dan membawa adik Dara ke ruang kemoterapi, pun dengan Arhan yang mengejar Revan.
“Dokter Arhan, saya sudah membayar biaya kemoterapi dan rawat inap. Jangan usir adik saya!” teriak Dara yang kini mengejar dua Dokter itu.
Dara menangis sesenggukan di depan ruang rawat adiknya, perempuan itu tidak sampai hati melihat keadaan adiknya pasca kemoterapi yang sejak tadi tidur dan kejang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi satu suap nasi pun Dara belum makan. Dari kejauhan seorang pria berjalan pelan seraya memasukkan kedua tangannya di kantong jas putihnya. Pria itu menatap Dara dengan pandangan yang sulit diartikan, selama Dara datang ke rumah orang tuanya, tidak pernah sekalipun Dara menceritakan tentang adik atau pun kehidupannya. Revan hanya mengira kalau Dara anak orang miskin, tetapi siapa sangka kalau kehidupan Dara terlalu komplek. Langkah Revan membawa pria itu untuk mendekat pada gadis cantik yang tengah menangis. “Ekhem.” Suara deheman tidak berhasil membuat Dara mendongak. “Ekhem.” Revan berdehem lagi, tetapi karena tidak mendapat respon dari Dara, Revan menepuk pundak perempuan itu. Dara tersentak, perempuan itu menatap Revan yang berdiri di depannya. “Ada apa?” tanya Dara yan
Baru kali ini Dara merasa tidurnya sangat nyenyak. Kasur yang dia tiduri pun sangat empuk seperti bukan kasur miliknya, pun dengan harum yang sangat menenangkan menusuk hidung Dara. Kalau seperti ini rasa nyenyaknya tidur, Dara tidak ingin bangun. “Eum … nyenyaknya,” gumam Dara memeluk guling dengan erat. Revan yang tengah menggulung lengan kemejanya pun menatap Dara yang wajahnya berkali lipat lebih cantik saat tidur. Wajah perempuan itu terlihat sangat polos nan teduh, siapa yang tidak jatuh cinta dengan perempuan secantik itu?Lambat laun Dara membuka matanya, pertama yang Dara lihat adalah ranjang putih bersih serta guling berwarna putih juga. “Aku dimana?” tanya Dara segera mendudukkan dirinya karena merasa ini bukan tempatnya, pun dia harusnya bekerja, tetapi malah terdampar di ranjang. “Syukurlah kamu sudah bangun, aku pikir kamu simulasi di alam barzah,” ujar Revan membuat Dara menoleh. Dara tercekat melihat Revan yang berdiri tidak jauh darinya tengah memakai kemeja dan r
Dara menyambar tasnya dan bergegas keluar dari kamar Revan, sedangkan laki-laki itu keluar kamar lebih dahulu. Saat akan menuju pintu utama rumahnya, hp Dara berdering nyaring. Tergesa-gesa Dara mengambil benda pipih di tasnya, panggilan dari tetangganya. Dara mengangkat panggilan itu. “Ada apa, Mbak?” tanya Dara. “Mbak, Bapaknya dibawa ke rumah sakit karena pingsan di jalanan,” ujar seorang perempuan di seberang sana. Wajah Dara pucat pasi mendengar ucapan tetangganya, perempuan itu berlari menuju pintu utama, sayangnya saat membuka pintu, pintu itu tidak bisa terbuka. Dara berusaha membukanya berkali-kali, tetapi tetap saja tidak terbuka. “Buka pintunya, Revan!” teriak Dara dengan kencang membuat Revan yang tadinya di dapur langsung menghampiri Dara. “Kenapa tergesa-gesa?” tanya Revan seraya tersenyum. “Cepat buka pintunya, aku harus ke rumah sakit sekarang,” ujar Dara memaksa. “Adikmu baik-baik saja,” jawab Revan. “Bukan adikku, tapi Ayahku!” teriak Dara yang terus berusaha
“Dara, katakan apa maksudnya tadi!” titah Risya seraya mondar-mandir di ruang rawat Kaivan yang kini sudah berpindah di ruang Vip. “Tadi Kakaku bilang aku harus menjaga Kakak ipar, dan di sana hanya ada kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi Kakak iparku?” tanya Risya lagi. Kaivan yang memegang mobil mainan pun bingung melihat Kak Risya dan Kakaknya. “Dara, kenapa kamu diam saja?” tanya Risya membuat Dara tersentak. Dara menatap Risya, “Risya, maafkan aku yang sudah lancang jadi Kakak iparmu. Aku tau kalau aku hanya perempuan biasa yang tidak ada apa-apanya daripada keluarga kamu. Aku juga tau kalau aku tidak cocok jadi istri Kakakmu, tapi aku … aku ….” “Kamu mau jadi istri Kakakku beneran?” tanya Risya berbinar senang. Tanpa aba-aba Risya memeluk tubuh Dara dengan erat membuat Dara kaget. Pelukan Risya yang kencang membuat Dara sesak. “Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa padaku saat dekat dengan Kakakku? Dari dulu aku senang sekali saat melihat Kakakku kelihatan menyukaimu. Aku pik
Dara merasa hidupnya sungguh mengenaskan, adiknya belum sembuh dari kanker, kini kanker Ayahnya kambuh lagi, pun dengan orang yang sangat dia hormati kini menghinanya. Mungkin bahasa Selin masih halus mengatakan kalau Revan harus menikah dengan sesama Dokter, tetapi itu sukses membuat Dara merasa rendah diri. “Hei, kamu belum menceritakan tentang hubunganmu dan Kakakku. Bagaimana awal mulanya kamu jadi suka sama dia? Bukankah kamu sering sinis sama dia? Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Risya bertubi-tubi sudah seperti wartawan saja. Saat ini Dara dan Risya berada di mall, Risya lah yang memaksa Dara ikut karena gadis itu ingin menghibur calon kakak iparnya yang kelihatan sedih. “Aku dengar kalian ke rumah orang tuaku. Bagaimana? Ibuku setuju kan?” tanya Risya. Dara hanya diam mendengar ucapan teman baiknya. Gadis itu di ambang kebingungan antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Haiyah, pasti Ibuku setuju,” ucap Risya merangkul lebih erat pundak Dara sampai Dara menga
Napas Revan terengah-engah naik turun setelah percintaan panas mereka. Revan sendiri yang mengatakan kalau dia tidak akan memasuki Dara kedua kali, tetapi omongan pria itu hanya bulshit semata, Revan merasa tubuh dara sangatlah candu sampai-sampai ia ingin lagi dan lagi. Saat ini Dara tengah tertidur pulas setelah dua ronde bercinta dengannya. Perempuan itu terlihat kecapean karena keringat bercucuran di keningnya. Revan memiringkan tubuhnya dan menyangga kepalanya dengan siku. Satu tangannya mengelus kening Dara yang penuh dengan keringat, pun dengan cowok itu yang menyelipkan anak rambut Dara ke telinga perempuan itu. Sungguh sejak dulu Revan mengagumi Dara, perempuan cantik, manis dan pekerja keras, sayangnya Dara selalu menolaknya membuat revan membenci gadis itu. “Eughhh ….” Dara melenguh pelan dengan bibir terbuka. Revan menatap bibir Dara yang sangat manis karena sudah dia cium berkali-kali. Tiba-tiba Dara membuka matanya membuat Revan kaget. Revan salah tingkah karena terc
Dara menangis sesenggukan saat Ayahnya kabur dari rumah sakit. Pihak keamanan pun sudah membantu mengecek cctv, tetapi hanya sampai Ayah Dara keluar kamar, arahnya kemana Ayah Dara menghindari lewat daerah yang ada cctvnya. Kini Dara berlari ke penjuru rumah sakit untuk mencari Ayahnya, beberapa perawat turut membantu. Dara berlari ke parkiran, saat membelokkan tubuhnya, Dara terkesiap karena tubuhnya menabrak seseorang. “Eh … maaf … maaf, saya gak sengaja,” ucap Dara menepuk-nepuk dada orang yang dia tabrak, setelahnya Dara bergegas pergi, tetapi tangannya ditahan oleh Revan. “Mau kemana?” tanya Revan. Dara mendongak, “Revan, kali ini jangan menyusahkanku. Aku lagi sibuk,” ucap Dara mencoba melepaskan tangan Revan dari tangannya, tetapi cekalan tangan Revan sangat kuat. Revan melihat gurat kepanikan yang ada di wajah Dara, “Ada apa?” tanya Revan. “Ayahku kabur dari rumah sakit,” jawab Dara. “Dokter Revan, pasien yang dijadwalkan operasi besok pagi kabur. Kemungkinan besar kare
Revan menuntun Ayah Dara masuk ke kamar pria itu lagi. Pun dengan Revan yang menyelimuti Sahrul dengan sabar. “Istirahat dulu ya, Pak. Akan kami atur ulang jadwal operasinya,” ujar Revan. Dara menatap Revan yang terlihat jauh lebih sabar daripada dengannya. Dara merasa melihat Revan sebagai orang lain karena sifatnya berbanding terbalik. “Dara, ayo keluar!” ajak Revan. “Aku mau di sini,” jawab Dara yang tidak ingin kecolongan lagi. Perempuan itu takut kalau diam-diam Ayahnya minggat. “Kalau kamu di sini, kamu membuat Ayahmu tertekan. Aku masih ingat bagaimana kamu marah kayak singa,” seloroh Revan terus menarik Dara untuk pergi. Dara pun menurut dengan Revan hingga Revan membawanya ke kamar sang adik. Di sana Kaivan tengah tertidur pulas dengan selimut yang jatuh karena bocah itu kalau tidur kebanyakan tingkah. Dara mengambil selimut dan bersiap menyelimuti adiknya. Namun, selimut itu diambil paksa oleh Revan. “Eh selimutnya,” kata Dara kaget. Revan menyelimuti tubuh Kaivan,