Share

4. Menerima Tawaran

Dara menyambar tasnya dan bergegas keluar dari kamar Revan, sedangkan laki-laki itu keluar kamar lebih dahulu. Saat akan menuju pintu utama rumahnya, hp Dara berdering nyaring. Tergesa-gesa Dara mengambil benda pipih di tasnya, panggilan dari tetangganya. Dara mengangkat panggilan itu. 

“Ada apa, Mbak?” tanya Dara. 

“Mbak, Bapaknya dibawa ke rumah sakit karena pingsan di jalanan,” ujar seorang perempuan di seberang sana. 

Wajah Dara pucat pasi mendengar ucapan tetangganya, perempuan itu berlari menuju pintu utama, sayangnya saat membuka pintu, pintu itu tidak bisa terbuka. Dara berusaha membukanya berkali-kali, tetapi tetap saja tidak terbuka. 

“Buka pintunya, Revan!” teriak Dara dengan kencang membuat Revan yang tadinya di dapur langsung menghampiri Dara. 

“Kenapa tergesa-gesa?” tanya Revan seraya tersenyum. 

“Cepat buka pintunya, aku harus ke rumah sakit sekarang,” ujar Dara memaksa. 

“Adikmu baik-baik saja,” jawab Revan. 

“Bukan adikku, tapi Ayahku!” teriak Dara yang terus berusaha membuka pintu. Dara menangis seraya memohon belas kasih Revan agar Revan mau membukakan pintu. Melihat air mata Dara membuat Revan iba, pria itu segera memasukkan kunci ke pintu hingga pintu itu terbuka. 

“Ayo kuantar!” ajak Revan menarik tangan Dara dan mengajaknya ke mobilnya. Tadinya Revan ingin membuatkan sarapan untuk Dara meski hanya sekadar nasi dan telur, tetapi Dara malah teriak-teriak meminta dibukakan pintu. 

“Revan, cepetan!” pinta Dara. 

“Ini sudah cepat,” jawab Revan. 

“Lebih cepat lagi. Ayahku masuk rumah sakit hiks … hiks … hiks.” Dara berucap seraya menangis. Gadis itu merasa hidupnya sangat menyebalkan, adiknya beum sembuh dari sakit, bahkan baru melakukan kemoterapi, dan sekarang Ayahnya masuk rumah sakit juga. 

Sesampainya di rumah sakit, Dara berlari dengan kencang melewati lorong, sedangkan Revan ikut menyusul. Sesampainya di UGD, kaki Dara lemas seketika saat yang menangani Ayahnya adalah Dokter Arhan. Jantung Dara rasanya bertalu-talu karena memikirkan banyak hal tentang penyakit Ayahnya. 

Dara berpegangan pada pintu karena tidak bisa menyangga keseimbangan tubuhnya. Untung saja Revan datang tepat waktu, pria tampan itu menyangga tubuh gadis yang disukainya. 

“Dara, mana Ayah kamu?” tanya Revan. 

“Dokter Revan, saya sudah menanti Anda,” ucap Arhan menatap Revan yang baru datang. 

“Ada apa, Dokter?” tanya Revan mendekat sambil menuntun Dara. 

“Pasien ini mengalami muntah darah dan kerontokan rambut. Dua puluh tahun lalu pasien pernah masuk ke rumah sakit ini sebagai pasien Kanker tukak lambung, saat itu keberhasilan kemoterapi mencapai delapan puluh persen, dan sekarang sepertinya kanker itu muncul lagi,” jelas Arhan sambil memegang berkas dua puluh tahun lalu yang baru dicetak ulang. 

“Sudah dicek keseluruhan?” tanya Revan. 

“Baru masuk laboratorium, prosedur ct-scan dan lain-lain menunggu keluarganya,” jawab Arhan. 

Air mata Dara semakin tumpah ruah mendengar ucapan Dokter Arhan. Dia pernah mendengar cerita kalau Ayahnya juga mantan penderita kanker hingga menurunkan penyakit itu pada adiknya. Dara pikir penyakit Ayahnya tidak akan kambuh lagi, tetapi sekarang kanker itu kembali menggerogoti tubuh Ayahnya. 

“Dokter, apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Dara yang sudah frustasi dengan kehidupannya. Cobaan datang bertubi-tubi, kalau dikata lelah, Dara sangat lelah, tetapi kalau bukan dia yang berjuang demi Ayah dan adiknya, lalu siapa lagi? 

“Dara, kamu ke ruangan adikmu dulu. Ayahmu sudah ditangani dan menunggu hasil pemeriksaan,” ujar Revan. 

“Kapan Ayahku bangun?” tanya Dara sesenggukan. 

Arhan cukup kaget saat mendengar bahwa pasien yang baru dia tangani adalah Ayah Dara. Dokter Arhan mendekat pada Dara membuat mata Revan menatap tajam rekan Dokternya itu. 

“Dara, percayakan semuanya pada Dokter!” pinta Arhan ingin menepuk pundak Dara untuk menguatkan Dara. Namun, dengan sigap Revan menarik tangan Dara dan mengajaknya keluar dari sana. Tangan Arhan yang sudah terangkat kini hanya menggantung karena Revan. 

“Dara, Ayahmu akan baik-baik saja. Soal pembayaran—” 

“Aku terima penawaranmu,” ujar Dara dengan cepat menyela ucapan Revan. Revan menghentikan langkahnya sejenak, pria itu menatap Dara dengan lekat. 

“Aku menerima tawaranmu menjadi istrimu, Revan. Aku janji aku tidak banyak tingkah, aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan. Mau kamu memperlakukanku bagaimana aku tidak akan protes, tapi tolong aku! Aku mohon tolong adik dan Ayahku!” pinta Dara bertubi-tubi. 

“Aku hanya punya mereka yang aku sayangi. Dengan keadaanku yang seperti ini aku sudah tidak bisa apa-apa lagi selain meminta bantuanmu. Aku— aku hiks hiks hiks.” Ucapan Dara terhenti saat tangisan tidak dapat dia bendung. Dara benci dengan dirinya sendiri yang terlihat murahan di hadapan pria yang sering merendahkannya, tetapi Dara tidak ada pilihan lain. 

Selain menjadi Dokter, Revan seorang pengusaha tambang yang diam saja uangnya banyak. Dara yakin dengan dia merendahkan diri pada Revan, Revan akan membantunya. 

“Aku mohon, Revan. Bantu aku hiks hiks hiks. Aku janji akan—” 

Ucapan Dara terhenti saat Revan memeluknya dengan erat. Revan mendekap tubuh Dara seraya mengelus punggung perempuan itu untuk menenangkan. 

Sudah lama Revan mendambakan hal ini, sudah sangat lama dia ingin dirinya dekat dengan Dara. Namun, Dara selalu jual mahal kepadanya sampai Revan membenci perempuan itu. Rasa suka Revan sulit diutarakan hingga hanya kata-kata jahat dan tindakan kejam yang bisa dilakukan pria itu. 

Tubuh Dara terasa membeku saat Revan memeluk tubuhnya, apalagi tubuhnya seolah tenggelam dalam besarnya tubuh Revan. 

Dara sudah tau semua bentuk tubuh Revan saat pria itu telanjang, tetapi baru kali ini Dara merasakan jantungnya bertalu-talu saat dalam dekap hangat pria itu. 

“Kakak, Dara,” panggil Risya membuat Revan dan Dara menoleh. Buru-buru keduanya melepas pelukan masing-masing dan sedikit menjauhkan diri. 

“Risya,” panggil Dara balik yang kini sangat takut Risya mendengar ucapannya dengan Revan. Meski dia kenal dekat dengan Risya, tetapi Dara takut kalau Risya menganggapnya murahan. 

“Dara, kenapa kamu menangis? Apa yang dilakukan Kakakku padamu?” tanya Risya memegang pundak Dara. 

“Risya, jaga Kakak iparmu, Kakak mau kerja dulu!” titah Revan pada Risya membuat Risya terbengong. Gadis itu menatap Dara dan Revan bergantian. 

“Apa maksudnya ini?” tanya Risya bingung. Revan tidak menjawab apa-apa, pria itu nyelonong pergi begitu saja untuk melakukan pekerjaannya, sedangkan Dara hanya bisa menundukkan kepalanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status