Dara menyambar tasnya dan bergegas keluar dari kamar Revan, sedangkan laki-laki itu keluar kamar lebih dahulu. Saat akan menuju pintu utama rumahnya, hp Dara berdering nyaring. Tergesa-gesa Dara mengambil benda pipih di tasnya, panggilan dari tetangganya. Dara mengangkat panggilan itu.
“Ada apa, Mbak?” tanya Dara.
“Mbak, Bapaknya dibawa ke rumah sakit karena pingsan di jalanan,” ujar seorang perempuan di seberang sana.
Wajah Dara pucat pasi mendengar ucapan tetangganya, perempuan itu berlari menuju pintu utama, sayangnya saat membuka pintu, pintu itu tidak bisa terbuka. Dara berusaha membukanya berkali-kali, tetapi tetap saja tidak terbuka.“Buka pintunya, Revan!” teriak Dara dengan kencang membuat Revan yang tadinya di dapur langsung menghampiri Dara.
“Kenapa tergesa-gesa?” tanya Revan seraya tersenyum.
“Cepat buka pintunya, aku harus ke rumah sakit sekarang,” ujar Dara memaksa.
“Adikmu baik-baik saja,” jawab Revan.
“Bukan adikku, tapi Ayahku!” teriak Dara yang terus berusaha membuka pintu. Dara menangis seraya memohon belas kasih Revan agar Revan mau membukakan pintu. Melihat air mata Dara membuat Revan iba, pria itu segera memasukkan kunci ke pintu hingga pintu itu terbuka.
“Ayo kuantar!” ajak Revan menarik tangan Dara dan mengajaknya ke mobilnya. Tadinya Revan ingin membuatkan sarapan untuk Dara meski hanya sekadar nasi dan telur, tetapi Dara malah teriak-teriak meminta dibukakan pintu.
“Revan, cepetan!” pinta Dara.
“Ini sudah cepat,” jawab Revan.
“Lebih cepat lagi. Ayahku masuk rumah sakit hiks … hiks … hiks.” Dara berucap seraya menangis. Gadis itu merasa hidupnya sangat menyebalkan, adiknya beum sembuh dari sakit, bahkan baru melakukan kemoterapi, dan sekarang Ayahnya masuk rumah sakit juga.
Sesampainya di rumah sakit, Dara berlari dengan kencang melewati lorong, sedangkan Revan ikut menyusul. Sesampainya di UGD, kaki Dara lemas seketika saat yang menangani Ayahnya adalah Dokter Arhan. Jantung Dara rasanya bertalu-talu karena memikirkan banyak hal tentang penyakit Ayahnya.
Dara berpegangan pada pintu karena tidak bisa menyangga keseimbangan tubuhnya. Untung saja Revan datang tepat waktu, pria tampan itu menyangga tubuh gadis yang disukainya.
“Dara, mana Ayah kamu?” tanya Revan.
“Dokter Revan, saya sudah menanti Anda,” ucap Arhan menatap Revan yang baru datang.
“Ada apa, Dokter?” tanya Revan mendekat sambil menuntun Dara.
“Pasien ini mengalami muntah darah dan kerontokan rambut. Dua puluh tahun lalu pasien pernah masuk ke rumah sakit ini sebagai pasien Kanker tukak lambung, saat itu keberhasilan kemoterapi mencapai delapan puluh persen, dan sekarang sepertinya kanker itu muncul lagi,” jelas Arhan sambil memegang berkas dua puluh tahun lalu yang baru dicetak ulang.
“Sudah dicek keseluruhan?” tanya Revan.
“Baru masuk laboratorium, prosedur ct-scan dan lain-lain menunggu keluarganya,” jawab Arhan.
Air mata Dara semakin tumpah ruah mendengar ucapan Dokter Arhan. Dia pernah mendengar cerita kalau Ayahnya juga mantan penderita kanker hingga menurunkan penyakit itu pada adiknya. Dara pikir penyakit Ayahnya tidak akan kambuh lagi, tetapi sekarang kanker itu kembali menggerogoti tubuh Ayahnya.
“Dokter, apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Dara yang sudah frustasi dengan kehidupannya. Cobaan datang bertubi-tubi, kalau dikata lelah, Dara sangat lelah, tetapi kalau bukan dia yang berjuang demi Ayah dan adiknya, lalu siapa lagi?
“Dara, kamu ke ruangan adikmu dulu. Ayahmu sudah ditangani dan menunggu hasil pemeriksaan,” ujar Revan.
“Kapan Ayahku bangun?” tanya Dara sesenggukan.
Arhan cukup kaget saat mendengar bahwa pasien yang baru dia tangani adalah Ayah Dara. Dokter Arhan mendekat pada Dara membuat mata Revan menatap tajam rekan Dokternya itu.
“Dara, percayakan semuanya pada Dokter!” pinta Arhan ingin menepuk pundak Dara untuk menguatkan Dara. Namun, dengan sigap Revan menarik tangan Dara dan mengajaknya keluar dari sana. Tangan Arhan yang sudah terangkat kini hanya menggantung karena Revan.
“Dara, Ayahmu akan baik-baik saja. Soal pembayaran—”
“Aku terima penawaranmu,” ujar Dara dengan cepat menyela ucapan Revan. Revan menghentikan langkahnya sejenak, pria itu menatap Dara dengan lekat.
“Aku menerima tawaranmu menjadi istrimu, Revan. Aku janji aku tidak banyak tingkah, aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan. Mau kamu memperlakukanku bagaimana aku tidak akan protes, tapi tolong aku! Aku mohon tolong adik dan Ayahku!” pinta Dara bertubi-tubi.
“Aku hanya punya mereka yang aku sayangi. Dengan keadaanku yang seperti ini aku sudah tidak bisa apa-apa lagi selain meminta bantuanmu. Aku— aku hiks hiks hiks.” Ucapan Dara terhenti saat tangisan tidak dapat dia bendung. Dara benci dengan dirinya sendiri yang terlihat murahan di hadapan pria yang sering merendahkannya, tetapi Dara tidak ada pilihan lain.
Selain menjadi Dokter, Revan seorang pengusaha tambang yang diam saja uangnya banyak. Dara yakin dengan dia merendahkan diri pada Revan, Revan akan membantunya.
“Aku mohon, Revan. Bantu aku hiks hiks hiks. Aku janji akan—”
Ucapan Dara terhenti saat Revan memeluknya dengan erat. Revan mendekap tubuh Dara seraya mengelus punggung perempuan itu untuk menenangkan.
Sudah lama Revan mendambakan hal ini, sudah sangat lama dia ingin dirinya dekat dengan Dara. Namun, Dara selalu jual mahal kepadanya sampai Revan membenci perempuan itu. Rasa suka Revan sulit diutarakan hingga hanya kata-kata jahat dan tindakan kejam yang bisa dilakukan pria itu.
Tubuh Dara terasa membeku saat Revan memeluk tubuhnya, apalagi tubuhnya seolah tenggelam dalam besarnya tubuh Revan.
Dara sudah tau semua bentuk tubuh Revan saat pria itu telanjang, tetapi baru kali ini Dara merasakan jantungnya bertalu-talu saat dalam dekap hangat pria itu.
“Kakak, Dara,” panggil Risya membuat Revan dan Dara menoleh. Buru-buru keduanya melepas pelukan masing-masing dan sedikit menjauhkan diri.
“Risya,” panggil Dara balik yang kini sangat takut Risya mendengar ucapannya dengan Revan. Meski dia kenal dekat dengan Risya, tetapi Dara takut kalau Risya menganggapnya murahan.
“Dara, kenapa kamu menangis? Apa yang dilakukan Kakakku padamu?” tanya Risya memegang pundak Dara.
“Risya, jaga Kakak iparmu, Kakak mau kerja dulu!” titah Revan pada Risya membuat Risya terbengong. Gadis itu menatap Dara dan Revan bergantian.
“Apa maksudnya ini?” tanya Risya bingung. Revan tidak menjawab apa-apa, pria itu nyelonong pergi begitu saja untuk melakukan pekerjaannya, sedangkan Dara hanya bisa menundukkan kepalanya.
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud