“Dara, katakan apa maksudnya tadi!” titah Risya seraya mondar-mandir di ruang rawat Kaivan yang kini sudah berpindah di ruang Vip.
“Tadi Kakaku bilang aku harus menjaga Kakak ipar, dan di sana hanya ada kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi Kakak iparku?” tanya Risya lagi. Kaivan yang memegang mobil mainan pun bingung melihat Kak Risya dan Kakaknya.
“Dara, kenapa kamu diam saja?” tanya Risya membuat Dara tersentak.
Dara menatap Risya, “Risya, maafkan aku yang sudah lancang jadi Kakak iparmu. Aku tau kalau aku hanya perempuan biasa yang tidak ada apa-apanya daripada keluarga kamu. Aku juga tau kalau aku tidak cocok jadi istri Kakakmu, tapi aku … aku ….” “Kamu mau jadi istri Kakakku beneran?” tanya Risya berbinar senang. Tanpa aba-aba Risya memeluk tubuh Dara dengan erat membuat Dara kaget. Pelukan Risya yang kencang membuat Dara sesak. “Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa padaku saat dekat dengan Kakakku? Dari dulu aku senang sekali saat melihat Kakakku kelihatan menyukaimu. Aku pikir Kakakku cupu tidak berani menyatakan rasa sukanya padamu, Kakakku yang kupikir cupu nyatanya suhu. Jadi kapan kamu mulai pacaran sama dia? Lalu apa rencana masa depan kalian? Dan kapan kalian akan menikah?” tanya Risya bertubi-tubi dengan semangat. Dara mengerjapkan matanya mendengar ucapan Risya. Dara pikir dia tidak akan mendapatkan restu dari Risya, tetapi dugaan Dara salah besar.“Dara, aku sangat ingin kalian berdua bersama sejak dulu. Aku senang sekali kamu jadi Kakakku, bagiku tidak ada yang cocok dengan Kakakku kecuali kamu,” ujar Risya yang kini kembali memeluk tubuh Dara.
“Aku juga mau dipeluk,” rengek Kaivan cemberut saat dua perempuan itu tidak ada yang menganggapnya.
Risya segera melepas pelukannya dengan Dara dan menghampiri adik Dara yang sudah dia anggap adiknya sendiri. “Sini Kakak peluk,” ujar Risya. Kaivan merentangkan tangannya dan membalas pelukan Risya.
“Karena kamu anak baik, kamu dapat bonus ciuman dari Kakak,” kata Risya mencium pipi Kaivan bertubi-tubi membuat Kaivan terkikik geli.
“Kalau sama cewek cantik saja mau peluk,” ejek Dara menghampiri adiknya.
“Kak Risya memang Kakak tercantik,” puji Kaivan membuat Dara mendengus, sedangkan Kaivan menjulurkan lidahnya pada sang Kakak.
Dara mengelus puncak kepala Kaivan, kini Dara bisa sedikit bernapas lega karena dia yakin adiknya akan sembuh kalau Revan membantunya. Tidak peduli kalau dia harus kehilangan harga diri dan seluruh tubuhnya, Dara hanya ingin adik dan Ayahnya sembuh. Dari awal dia memang sudah tidak punya masa depan, jadi tidak ada gunanya kalau Dara masih naif tidak mau dengan bantuan Kaivan.
Dara semakin mengelus kepala Kaivan, elusan tangan Dara sangat lembut sampai membuat Kaivan mengeluh ngantuk. Namun, saat tangan Dara menjauh dari kepala bocah itu, tangan Dara penuh dengan rontokan rambut sang adik.“Kakak jangan elus lagi, aku tuh jadi ngantuk,” keluh Kaivan.
Buru-buru Dara menyembunyikan rontokan rambut adiknya di saku celananya. “Iya, Kakak gak ngelus lagi. Sekarang kamu mau makan apa?” tanya Dara.
“Makan ayam goreng pedas, susu manis, mau mochi, mau roti gulung,” oceh Kaivan bertubi-tubi.
“Kai, gak boleh makan itu semua,” tegur Dara.
“Terus makan apa dong?” tanya Kaivan bersungut-sungut.
“Makan sayur yang banyak, minum air putih yang banyak, susu kedelai,” jawab Dara.
“Aku sudah bosan, Kak. Aku mau yang enak-enak,” rengek Kaivan yang mulai rewel.
“Mau makan ayam pedas, mau makan mochi,” rengek Kaivan lagi yang kini mulai guling-guling di ranjang. bagaimana pun juga Kaivan masih bocah berusia lima tahun yang kemauannya ingin selalu dituruti.
“Kakak, aku mau mamam itu pokoknya itu!” pinta Kaivan marah.
“Kalau kamu masih mau makan itu, nanti disamperin Dokter Revan,” ujar Dara membuat Kaivan menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut karena takut.
Risya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dara yang sukses membuat Kaivan takut.
“Kakak, jangan panggil Dokter itu!” pinta Kaivan.
“Ya makanya jangan minta aneh-aneh, kamu harus makan banyak sayur biar cepat sembuh,” jelas Dara. Dari balik selimutnya Kaivan mengangguk.
“Dokter Revan tidak ada di sini kan?” tanya Kaivan memastikan. Bocah itu takut kalau membuka selimut tiba-tiba ada Revan di sini.
“Gak ada,” jawab Risya. Kaivan menurunkan selimutnya pelan-pelan untuk meyakinkan bahwa Revan memang tidak ada di sana. Setelah tidak melihat Dokter berwajah ganteng itu, Kaivan langsung bernapas lega.
Dara menggeleng pelan melihat tingkah adiknya. Jangankan Kaivan, Dara saja takut pada Revan saat Revan mode menyeramkan.
*****
Malam ini Dara berdandan cantik memakai dres yang dibelikan oleh Revan. Revan memaksanya memakai dres itu dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah orang tua Revan atau tempat yang biasa Dara kunjungi untuk dibersihkan.
Ayah Dara sudah dipindahkan ke ruang perawatan dan besok melakukan kemoterapi. Hasil pemeriksaan menyatakan kalau Ayah Dara mengalami kanker stadium dua.
“Dara, kita akan menemui orang tuaku untuk meminta izin menikah,” ucap Revan. Dara mengangguk, perempuan itu meremas tangannya sendiri karena gugup. Meski Dara sudah sering bertemu dengan orang tua Revan, tetapi dia datang hanya sebagai teman Risya sekaligus tukang bersih-bersih, sedangkan sekarang menjadi calon menantu.
Tidak beberapa lama mereka sampai di rumah yang lumayan besar. “Ayo turun!” ajak Revan yang diangguki oleh Dara.
Kini Revan dan Dara berjalan beriringan menuju ke rumah mewah yang pintunya terbuka lebar.
“Revan, masih ingat rumah Ibu ternyata,” ujar Selin setengah menyindir saat melihat anaknya. Selin mengerutkan dahinya saat melihat Dara di samping Revan.
“Bu, aku mau ngomong,” ucap Revan.
“Ngomong saja!” titah Selin.
“Ayo duduk dulu, Bu!” pinta Revan yang mempersilahkan Ibunya duduk di sofa, pun dengan Revan yang ikut duduk bersama Dara.
Perasaan Dara sangat gelisah karena takut kehadirannya ditolak oleh Ibu Revan.
“Ayah dimana, Bu?” tanya Revan.
“Ayahmu belum pulang. Kalau kamu mau bicara, cepat bicara saja!” titah Selin.
“Aku mau menikah sama Dara,” ucap Revan membuat Selin tercekat. Selin menatap Dara dari atas sampai bawah membuat Dara kikuk.
“Revan, ini gak lucu,” ucap Selin.
“Aku serius, Bu. Aku mau menikah sama Dara dalam waktu cepat,” ujar Revan yakin.
“Revan, Ibu sangat menyukai Dara. Dia gadis yang baik, setiap kali dia kesini Ibu selalu terhibur dengan pribadinya yang ceria. Tapi kamu jangan melempar kotoran di wajah Ibu, setiap Ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk Ibu. Ibu ingin masa depan kamu cerah, memilih istri yang gap profesinya tidak jauh karena kesetaraan itu penting,” jelas Selin membuat Dara menarik napasnya dalam-dalam.
Peribahasa yang digunakan Selin sukses membuat hati Dara bagai diremas-remas. Menikah dengannya sama saja Revan melempar kotoran di wajah Ibunya, dalam artian Dara sangat menjijikkan.
“Revan, Ayahmu seorang pengusaha, Ibumu Dokter. Kamu juga seorang Dokter, masih banyak perempuan lain yang seprofesi. Kalau Ibu, maunya satu profesi atau tidak sama sekali,” tambah Selin.
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud