"Besok kita kembali lagi ke villa, itu kan yang kamu mau?"
"Bener, Mas?"
"Iya."
"Okey. Tapi besok jadwalmu fisioterapi, Mas."
"Ya, kita ke rumah sakit dulu. Habis itu kita langsung pulang ke Villa."
"Alhamdulillah, syukurlah, aku senang kamu langsung setuju untuk terapi, tak perlu berdebat lagi masalah ini."
"Ya, aku ingin sembuh. Demi kamu."
Mereka berdua saling melempar senyum. Harshil masih menatap istrinya.
Brakk ...!
Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh. Keduanya menoleh, Inara bergegas melihat siapa yang berada di sana dan mencuri dengar obrolannya.
Ia melihat sekelebat bayangan menjauh.
"Siapa, Inara?" tanya Harshil.
Inara memungut pot bunga plastik yang terjatuh dari tempatnya.
"Gak tahu Mas," sahut Inara.
Harshil terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Mas, aku beresin piringnya dulu, nanti nyusul kamu ke kamar."
"Kita bare
"Inara ..." panggil Harshil pelan.Inara menoleh dan menatap takjub lelaki itu berdiri tak jauh di belakangnya."Mas, kamu ..." Inara menutup mulutnya tak percaya.Masih tertatih, Harshil mendekat dan memeluk tubuh istrinya dengan hangat."Aku sangat ingin memelukmu, makanya aku berdiri," kilah Harshil membuat bunga-bunga di hati Inara makin bermekaran.Harshil mencium puncak kepala istrinya berkali-kali."Inara, kenapa kamu masih pakai jilbab di dalam kamar? Kenapa gak dilepas saja?"Inara mendongak, menatap wajah sang suami. Senyuman mengembang di wajahnya yang manis."Aku kan belum mandi, Mas," sahut Inara tertawa kecil."Pantas, ada bau-bau khas ... Khasyeeem ..."Inara mencubit perut suaminya. "Ih sok tau! Nyebelin!""Hahahaha, walaupun belum mandi, kau tetap wangi.""Mulai deh, menggombal! Aku mandi dulu, Mas.""Tunggu sebentar!" cegahnya."Kenapa, Mas?"
"Yess! Aku berhasil mendapatkanmu. Harshil takkan mengira kalau ini semua ulah orang terdekatnya."Pria itu menyeringai, sesekali melirik ke arah wanita yang tak sadarkan diri di sampingnya."Kamu gadis desa yang cantik," ujarnya sembari mengelus pipi Inara.Pria itu mengambil ponsel di saku jaketnya lalu melakukan panggilan."Hallo, Om. Aku sudah berhasil menangkapnya. Langkah selanjutnya bagaimana?""Bagus. Wanita itu terserah mau kau apakan. Yang jelas aku hanya butuh Harshil menyusul ayahnya ke neraka," sahut suara dari seberang telepon."Caranya?""Jebak dia. Bawa dia ke suatu tempat seolah-olah istrinya ada di sana. Kalau dia benar-benar mencintai istrinya, dia pasti akan datang. Lalu segera ledakkan tempat itu biar Harshil lenyap dalam kobaran api.""Ettan bagaimana?""Kau pasti bisa bereskan sopir sialan itu. Jangan sampai dia menghambat kerja keras kita.""Baik, Om.""Inga
"Hai manis, apa kau sudah menungguku? Hahahaha, kau menatapku tanpa berkedip. Apa kau suka melihat tubuhku yang seksi ini?" Ryan kembali menghampiri Inara yang masih duduk terpaku sembari memandangnya nanar."Mas, kamu tidak bisa berbuat seperti itu padaku.""Kenapa tidak bisa?"Mendadak Inara merasakan sakit perut yang begitu hebat. Ia meringis kesakitan, membuat Ryan heran."Inara, kamu kenapa?" tanyanya."Perutku sakit banget, Mas.""Jangan bohong kamu! Kamu sengaja menghindariku kan?!"Inara menggeleng perlahan sembari memegangi perutnya."Mas, tolong belikan aku obat nyeri haid.""Kamu sedang datang bulan, Inara?"Inara mengangguk."Jangan bohong kamu!""Buat apa aku bohong. Mas, tolong belikan aku pembalut juga, aku udah gak nyaman, pengin ganti."Ryan hanya melongo, ia tak percaya ucapan Inara."Coba kau berdiri!" tukas Ryan.Ina
"Mas, stop, mas, stop!" pekik Inara.Angga memperlambat laju motornya, lalu berhenti."Ada apa, In?"Inara turun dari boncengan motornya, lalu berjongkok di tepi jalan, sembari memegangi perutnya yang terasa tidak enak."Kamu kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Sakit? Kamu belum makan?""Bukan itu, tapi ini masalah perempuan.""Kamu lagi datang bulan?"Inara mengangguk.Angga melihat sekeliling, lalu menunjuk ke arah pos ronda. "Kita istirahat disitu dulu, ayo!"Dia menuntun motornya, parkir di depan pos ronda yang terlihat sepi. Inara mengikutinya dari belakang. Degup jantungnya yang sedari tadi berpacu hebat, kini sudah sedikit relaks kembali."Tunggu dulu di sini sebentar, aku belikan minum untukmu.""Mas, apa boleh aku pinjam ponselmu? Aku ingin menelepon suamiku," tanya Inara lagi.Angga mengangguk lalu memberikan ponselnya pada Inara. Untunglah waktu itu dia sempat
"Bos, semuanya sudah hangus bos!""Apa kalian sudah pastikan?""Iya, Bos. Mobilnya sudah terbakar, begitu juga gudangnya.""Bagus. Kalian akan dapatkan bayaran yang setimpal atas kerja keras ini.""Terima kasih, Bos.""Cepat kalian pergi dari sana, sebelum polisi datang. Ingat setelah kalian dapatkan uang itu, segera pergi dari kota ini, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini. Tutup mulut kalian rapat-rapat.""Beres bos!"Percakapan di ujung telepon itu membuat keduanya menerbitkan senyuman licik. Pram, salah satu Om Harshil memenangkan rencananya. Ia pun menyuruh Ryan untuk memberi tahu sang kakek, mengenai kecelakaan yang terjadi yang menimpa Harshil dan Ettan.Dia berharap kalau si tua bangka itu segera menandatangani surat perjanjian yang sudah dia gadang-gadangkan sebelumnya.Ada alasan kenapa Pram alias Pramudya melakukan kejahatan luar biasa seperti ini. Semua karena dendam masa lalunya.
"Kek ... Kakeeekk ...!" Ryan berteriak panik. Dia tak menduga hal ini akan terjadi.Sandra dan Rosa yang mendengar teriakan Ryan segera berlalu menghampirinya."Apa yang terjadi?""Kakek tiba-tiba pingsan setelah mendengar kabar tentang Harshil.""Apa maksudmu, Ryan?" tanya ibunya."Ma, ledakan di gudang minyak itu, ternyata ada Harshil di sana. Mobilnya juga hangus terbakar.""Apa? Kamu kasih tahu info ini pada kakekmu yang pernah punya riwayat sakit jantung?"Sandra menggeleng pelan lalu menghubungi para penjaga dan sopirnya untuk membawa Tuan Danendra ke Rumah Sakit."Andre, tolong ke sini, bawa Tuan ke Rumah Sakit, kami akan menyusul di belakang," perintah Sandra pada sang sopir."Baik, Nyonya."Sementara Rossa sibuk menghubungi anak buah, untuk mencari tahu kebenaran yang terjadi pada Harshil dan istrinya."Hallo, Tanto, kau cari tahu informasi akurat tentang Harshil dan
"Inara, sudah, aku udah merasa enakan. Kamu juga pasti sangat lelah, mengalami hal-hal yang buruk tadi. Sekarang istirahatlah. Besok kita akan pergi.""Pergi? Pergi kemana, Mas?"Harshil hanya tersenyum. Ia pun bingung untuk menjawabnya. Lebih baik, dia memulai kehidupannya yang baru dengan sang istri, mulai dari nol."Kita sembunyi ke tempat yang tak pernah mereka duga. Kamu mau ikut kan?"Inara mengangguk. "Aku akan ikut kemanapun kamu pergi."Harshil mengelus puncak kepala sang istri, menyentuh pipinya pelan. "Ya sudah, sekarang tidur ya."Inara mengangguk kembali seraya memejamkan mata, mencoba berdamai dengan keadaan, tidur walaupun perasaannya masih bergejolak.***Pagi-pagi sekali, jam empat pagi, Inara dan Harshil berpamitan pada Pak RT, rencananya dia akan pulang ke rumah abah terlebih dahulu. Abah pasti akan membantunya memberikan solusi."Maaf Pak RT, mengganggu waktu istirahatnya. Tapi kami bern
Di kegelapan malam, mereka berdua berjalan. Inara menggamit lengan sang suami. Untuk mencapai jalan raya, harus berjalan kurang lebih 1 km. Suasana perkampungan sangat sepi, mereka hanya berharap tidak ada yang memergokinya di tengah jalan, apalagi bila ketahuan anak buah Juragan Bani. Habis sudah.Tiba-tiba dari kejauhan terlihat cahaya kendaraan bermotor yang semakin mendekat. Inara tampak panik, ia takut kalau motor itu adalah anak buah Juragan Bani."Mas, gimana ini kalau ketahuan?" tanya Inara."Jalan saja, gak usah khawatir," sahut Harshil.Inara mengangguk walaupun debaran jantungnya lebih kencang dari biasanya.Pengendara motor itu berhenti di seberang jalan. Dia turun dari motor dan melepaskan helmnya, menghampiri Inara dan Harshil."Inara? Alhamdulillah, syukurlah kamu selamat," ucapnya.Inara cukup terkejut melihat lelaki itu. "Mas Angga?""Aku sempat khawatir pas dengar berita ledakan di Gu