MasukCahaya siang menembus kaca jendela, Athalla menatap tumpukan berkas di mejanya. Di antara laporan dan foto-foto TKP, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Terlalu banyak kejanggalan dalam kematian ayah Kanara.Versi resmi dari lapas menyebut ‘Korban meninggal akibat pengeroyokan spontan selama kegiatan kerja sosial di luar lapas.’Terlalu rapi.Terlalu dangkal.Athalla tidak mudah percaya pada laporan yang terasa terlalu bersih.Athalla sudah cukup lama bekerja di kejaksaan untuk tahu. Tidak ada kekerasan di balik jeruji yang benar-benar ‘spontan’.Ia bersandar di kursinya, mengetuk-ngetuk pena ke meja. Instingnya menolak berhenti di kesimpulan yang disodorkan begitu mudah.Kejadian ini seperti sudah disiapkan.Tanpa menunggu lebih lama, Athalla memutuskan untuk turun langsung.*Beberapa jam kemudian, ia sudah berada di kantor lapas.“Saya ingin melihat rekaman CCTV,” ucapnya tegas sambil menyerahkan surat permintaan resmi.“Termasuk siapa saja yang berinteraksi dengan para pelaku se
Langit mendung sore itu seolah ikut berkabung. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga tabur. Ayah Kanara dimakamkan tepat di samping pusara mendiang istrinya. Seolah takdir memberi kesempatan bagi mereka untuk kembali berdampingan setelah sekian lama terpisah oleh waktu dan penyesalan. Kanara menunduk di depan nisan itu, tangan mungilnya menaburkan bunga perlahan, seakan takut mengganggu ketenangan orang yang kini terbaring di bawah sana. Air matanya sudah kering sejak tadi, hanya menyisakan sembab di sudut mata. Kali ini, ia tidak ingin terlihat rapuh. Ia sudah menangis cukup banyak. Tatapannya jatuh pada foto ayahnya di atas batu nisan basah itu. Wajah yang dulu keras dan penuh marah, kini hanya tinggal kenangan diam dalam bingkai kecil. Kanara menghembuskan nafas panjang, pelan namun berat. "Semoga Ibu menyambutmu di sana," ucapnya lirih, sebelum menunduk memberi penghormatan terakhir. Arga berdiri di sampingnya, tidak ber
Langkah Kanara goyah, tapi ia tetap maju perlahan, mendekati tempat tidur itu. Setiap langkah terasa berat. Seolah jarak yang hanya beberapa meter itu memakan seluruh tenaga yang tersisa di tubuhnya.Beberapa hari lalu, ia masih melihat ayahnya tersenyum. Sehat. Duduk di ruang kunjungan penjara, memandangi Kanara sambil menyuap potongan kecil makanan kesukaannya.“Ayah senang sekali kau bawakan ini,” begitu katanya waktu itu, dengan senyum lebar yang selalu menenangkan.Tapi hari ini, senyum itu lenyap. Wajah yang sama kini tampak pucat, tertutup oksigen mask, dikelilingi selang dan suara monoton alat medis yang membuat dada Kanara sesak.Ia menelan ludah susah payah, mencoba menahan gejolak yang tiba-tiba naik ke tenggorokan.Beberapa hali belakangan, Kanara memang tak sempat menjenguk karena kandungannya semakin besar dan tubuhnya cepat lelah. Tapi ia tak pernah abai. Setiap hari ia memastikan makanan dikirim ke penjara, memastikan ayahnya makan dengan baik.Dan kini, semua itu seol
“Kondisinya masih kritis, Tuan. Tadi sempat terjadi henti jantung,” lapor seseorang yang Arga perintahkan berjaga di rumah sakit, lewat sambungan telepon.Arga yang sedari tadi duduk di kursi kerjanya mendadak terdiam. Jemarinya yang menggenggam ponsel menegang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Bagaimana bisa?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar tapi tetap berusaha tenang.“Saya juga belum tahu detailnya, Dokter masih di ruang ICU. Tapi kondisinya belum stabil.”Arga menutup matanya sejenak, menahan tarikan napas berat. Ia tahu, ini bisa jadi kesempatan terakhir, atau penyesalan seumur hidup jika ia terlambat.“Terus pantau. Aku akan segera kesana.”Begitu panggilan berakhir, Arga terdiam sejenak. Suara di seberang sana seolah bergema di kepalanya, mengguncang setiap detak tenangnya. Tanpa pikir panjang, ia meraih jas yang tersampir di sandaran kursi kerjanya dan menyampirkannya ke lengan.Dalam hati, ia bergumam pelan.“Semoga belum terlambat...”Ia tahu
Makan malam kali ini terasa berbeda dari makan malam pertama mereka yang dulu penuh ketegangan dan agenda tersembunyi. Malam ini, suasananya benar-benar hangat. Tak ada jarak, tak ada rahasia. Hanya kebersamaan yang terasa tulus.Luna tiba hampir bersamaan dengan Athalla. Mereka tidak datang bersama, hanya kebetulan bertemu di depan gerbang. Masing-masing membawa sesuatu di tangan. Luna dengan kotak besar berbungkus pita biru pastel, sementara Athalla membawa bingkisan sederhana yang dibungkus kertas coklat elegan.Kanara yang berdiri di samping Arga menyambut keduanya dengan senyum lebar. “Seharusnya tidak perlu repot membawa apapun,” katanya lembut. “Kehadiran kalian saja sudah hadiah istimewa.”Luna terkekeh kecil sambil mengangkat bingkisannya. “Tapi aku sudah menunggu sekali momen ini,” ujarnya riang. “Aku beli hadiah ini sejak dengar kalian pindah rumah. Kalau tidak kuberikan sekarang, rasanya sayang banget.”Arga tersenyum kecil, menerima bingkisan itu sebelum menyerahkannya ke
Mereka masih berdiri di kamar bayi itu. Cahaya matahari menembus lembut dari jendela besar, menyinari tirai putih yang bergoyang perlahan tertiup angin. Kanara berdiri di dekat baby box, jemarinya menyusuri pinggirannya dengan pelan, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga.“Kapan kau merencanakan semua ini?” tanyanya akhirnya, suaranya lembut namun sarat rasa tak percaya.Arga berdiri di sampingnya, menatap ruangan itu sejenak sebelum menjawab, “Sejak di hari aku yakin akan menikahimu.”Nada bicaranya tenang, tapi mengandung makna yang dalam. Ia lalu melanjutkan, “Saat itu aku tahu, kita butuh rumah, bukan hanya tempat tinggal. Butuh ruang di mana kau bisa merasa aman. Dan anak kita nanti bisa tumbuh tanpa kekhawatiran.”Kanara menoleh, menatap wajah Arga yang begitu tenang. Tatapannya lembut, tapi penuh keyakinan. Ada sesuatu yang membuat dadanya hangat. Campuran antara rasa haru dan kagum.“Lalu kapan kita akan pindah?” tanyanya lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti b







