MasukHari itu, Reza akhirnya membuat keputusan. Setelah berhari-hari diliputi kecemasan, ia menatap layar ponselnya dengan jemari gemetar. Nama Sandrina terpampang di sana. Nafasnya berat, seolah ada batu besar yang menekan dadanya. Tapi kali ini, ia sudah siap menanggung semuanya.Begitu telfon tersambung, suara Sandrina terdengar tajam.“Reza, kau di mana saja?! Aku sudah bosan menunggu hasil kerjamu. Jangan bilang kau malah—”“Aku akan menyerahkan diriku ke polisi,” potong Reza datar, suaranya berat dan nyaris bergetar.Beberapa detik hening. Lalu suara Sandrina meninggi, penuh kemarahan dan ketakutan bercampur jadi satu.“Apa kau sudah gila?! Jangan bodoh, Reza! Kalau kau buka mulut, semuanya hancur! Aku juga …”Reza menutup mata sejenak, menahan getir di tenggorokan.“Aku sudah cukup, Sandrina. Aku lelah bersembunyi, lelah berbohong. Aku tidak mau terus hidup seperti ini.”“Kau pikir polisi akan percaya padamu? Kau pikir mereka akan—”Klik. Sambungan terputus.Reza menatap ponselnya b
Kanara berhenti di depan sebuah rumah tua di pinggiran kota. Tempat itu tersembunyi di antara ruko-ruko yang sudah lama tutup. Ia menatap bangunan itu sejenak, memastikan tidak ada orang lain yang mengawasi. Langkahnya mantap, tapi degup jantungnya cepat.Pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Reza berdiri di sana, wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali Kanara melihatnya. Rambutnya berantakan, mata cekung, dan sikapnya siaga seperti orang yang hidup dalam ketakutan.“Kau datang juga,” suara Reza datar, tanpa ekspresi.“Ayah,” ucap Kanara pelan.Reza menoleh, mempersilahkan masuk tanpa bicara banyak. Kanara mengikuti, memperhatikan ruang sempit itu. Berantakan, penuh bungkus makanan instan dan botol air kosong. Ada rasa iba yang sulit dijelaskan di dadanya.“Kau tidak seharusnya datang ke sini,” ucap Reza akhirnya. “Sandrina punya mata di mana-mana.”“Aku tidak peduli.” Kanara menatap ayahnya lekat. “Aku datang karena aku ingin kita bicara.”Reza menghela napas, lalu duduk d
Malam berjalan tenang, nyaris tanpa percakapan berarti. Rutinitas rumah tangga mereka tampak biasa, tapi ada jarak halus yang terasa di udara.Kanara duduk di depan meja rias dengan piyama satin berwarna gading. Gerakan tangannya lembut saat menghapus sisa riasan di wajah. Dalam pantulan kaca, ia melihat Arga masuk tanpa suara, menatapnya beberapa detik sebelum menghampiri.Tanpa sepatah kata, Arga berdiri di belakangnya, mengusap bahu Kanara perlahan sebelum mengalungkan sesuatu di lehernya. Seuntai kalung kecil berbandul sederhana tapi tampak mahal.Kanara membeku. Tatapannya naik ke arah cermin, memandangi wajah Arga yang tersenyum samar di belakang tubuhnya. “Dalam rangka apa?” tanyanya pelan, mencoba membaca maksud Arga.Arga melepaskan genggamannya, lalu berjalan ke tepi ranjang. “Tidak ada. Aku hanya ingin memberimu sesuatu.”Kanara memutar tubuhnya sedikit, menatap Arga yang kini menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu. Ia tersenyum tipis. “Aku sudah memaafkanmu, Arga. Kalau i
Athalla tahu, meninggalkan Arga di bar dalam keadaan setengah sadar bukan pilihan.Sialnya, itu berarti ia harus bertanggung jawab sampai pria itu pulang dengan selamat.Ia memapah Arga keluar dari mobil, langkahnya berat karena tubuh pria itu nyaris tak bisa menopang diri. Bau alkohol masih samar tercium dari kemejanya. Begitu pintu lift terbuka, Athalla setengah menyeretnya masuk.Di dalam, ia sempat mendesah pelan. “Kenapa bukan aku saja yang mabuk tadi,” gumamnya lirih, separuh kesal, separuh lelah.Begitu sampai di depan unit, ia menekan bel. Tak sampai satu menit, pintu terbuka.Kanara berdiri di sana dengan wajah tenang, tapi mata yang jelas-jelas kelelahan.Perutnya mulai tampak membulat, tanda waktu terus berjalan, tak peduli seberapa kusut hidup orang-orang di sekitarnya.“Bisa kau sekalian membawanya masuk ke kamarnya?” ucap Kanara tanpa banyak basa-basi.Athalla terdiam sejenak. Ada sesuatu di nada suaranya, tidak dingin, tapi juga tidak akrab.Ia mengangguk kecil, lalu me
Athalla baru saja menyimpan berkas terakhir di meja kerjanya ketika matanya menangkap sosok yang tak asing di ruang tunggu. Arga duduk bersandar santai di kursi, kaki disilangkan, seolah kedatangannya hanyalah kunjungan biasa. Tapi dari tatapan matanya yang tenang dan dingin, Athalla tahu, pria itu tidak datang tanpa alasan.Athalla berhenti di ambang pintu. “Ternyata benar,” ucapnya datar. “Aku tidak salah lihat. Apa CEO besar sekarang punya waktu nongkrong di kantor kejaksaan?”Arga mengangkat wajah, menatap sekilas tangan Athalla yang masih terbungkus perban, pria itu belum benar-benar pulih. “Kau seharusnya lebih banyak istirahat di rumah. Atau kerja keras itu bagian dari hukuman buat dirimu sendiri?”Athalla terkekeh kecil. “Aku suka pekerjaanku. Duduk diam di rumah justru bikin aku stres.”“Dan mungkin juga bikin orang lain lebih tenang,” balas Arga datar.Athalla membalas tatapan itu dengan senyum tipis yang tak kalah sinis. “Kalimat yang menarik dari seseorang yang datang tanp
“Kenapa kau membohongi ayah soal flashdisk,” suara itu rendah, tapi penuh tekanan. “Jelas-jelas kau masih menyimpannya. Karena perbuatanmu, ayah harus kabur ke luar negeri agar tetap hidup.”Kanara menelan ludah pelan. Sekarang ia tahu pasti, suara itu milik Reza, ayah kandungnya.“Ayah…” suaranya lirih tapi tenang, berusaha menahan getaran di dadanya. “Kita bisa bicara baik-baik. Turunkan pisau itu dulu.”Namun Reza tidak bergeming. Mata tuanya terlihat lelah namun liar, seperti binatang yang terpojok.“Aku harus menyingkirkanmu agar tetap hidup,” katanya dingin. Genggaman tangannya pada pisau semakin kuat.Mendengar itu satu nama terlintas dalam benak Kanara, Sandrina. Perempuan itu satu-satunya musuh yang dia punya saat ini. Dia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia tahu benar cara Sandrina bekerja, memanfaatkan ketakutan orang lain untuk menanamkan kendali. “Siapa yang menyuruhmu? Sandrina, kan?” tebak Kanara dengan nada pelan namun mantap. “Hanya dia yang bisa me







