LOGINMakan malam kali ini terasa berbeda dari makan malam pertama mereka yang dulu penuh ketegangan dan agenda tersembunyi. Malam ini, suasananya benar-benar hangat. Tak ada jarak, tak ada rahasia. Hanya kebersamaan yang terasa tulus.Luna tiba hampir bersamaan dengan Athalla. Mereka tidak datang bersama, hanya kebetulan bertemu di depan gerbang. Masing-masing membawa sesuatu di tangan. Luna dengan kotak besar berbungkus pita biru pastel, sementara Athalla membawa bingkisan sederhana yang dibungkus kertas coklat elegan.Kanara yang berdiri di samping Arga menyambut keduanya dengan senyum lebar. “Seharusnya tidak perlu repot membawa apapun,” katanya lembut. “Kehadiran kalian saja sudah hadiah istimewa.”Luna terkekeh kecil sambil mengangkat bingkisannya. “Tapi aku sudah menunggu sekali momen ini,” ujarnya riang. “Aku beli hadiah ini sejak dengar kalian pindah rumah. Kalau tidak kuberikan sekarang, rasanya sayang banget.”Arga tersenyum kecil, menerima bingkisan itu sebelum menyerahkannya ke
Mereka masih berdiri di kamar bayi itu. Cahaya matahari menembus lembut dari jendela besar, menyinari tirai putih yang bergoyang perlahan tertiup angin. Kanara berdiri di dekat baby box, jemarinya menyusuri pinggirannya dengan pelan, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga.“Kapan kau merencanakan semua ini?” tanyanya akhirnya, suaranya lembut namun sarat rasa tak percaya.Arga berdiri di sampingnya, menatap ruangan itu sejenak sebelum menjawab, “Sejak di hari aku yakin akan menikahimu.”Nada bicaranya tenang, tapi mengandung makna yang dalam. Ia lalu melanjutkan, “Saat itu aku tahu, kita butuh rumah, bukan hanya tempat tinggal. Butuh ruang di mana kau bisa merasa aman. Dan anak kita nanti bisa tumbuh tanpa kekhawatiran.”Kanara menoleh, menatap wajah Arga yang begitu tenang. Tatapannya lembut, tapi penuh keyakinan. Ada sesuatu yang membuat dadanya hangat. Campuran antara rasa haru dan kagum.“Lalu kapan kita akan pindah?” tanyanya lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti b
Kanara terbangun dengan kepala masih bersandar di lengan Arga. Udara kamar terasa hangat, dan dari jendela, cahaya matahari menembus tirai tipis, mengenai wajah mereka yang masih lelah setelah malam panjang.Ia menatap sosok di sampingnya, Arga tertidur dengan dada terbuka di balik selimut. Nafasnya tenang, ritmenya teratur. Kanara memandangi wajah pria itu beberapa detik, lalu tersenyum kecil. Ia baru teringat, niatnya semalam ingin menanyakan soal belanjaan bayi mereka yang tidak tampak di apartemen ini. Tapi niat itu buyar begitu saja setelah Arga menariknya lebih dekat, menciumnya dan malam pun bergeser menjadi sesuatu yang lain.Tangannya bergerak pelan, mengusap perut Arga yang berotot. Kulitnya hangat, terasa nyata di ujung jemarinya.Arga mendengus kecil, matanya masih setengah terpejam. Ia menggenggam tangan Kanara di bawah selimut, menahannya.“Jangan membangunkan punyaku, Kanara,” gumamnya serak. “Aku tidak ingin membuatmu kewalahan pagi ini.”Kanara mendongak, menatap waja
Kanara berjalan perlahan di antara deretan rak perlengkapan bayi. Jemarinya berhenti pada pakaian mungil berwarna pastel, mengelus lembut kain halusnya seolah sedang menyentuh sesuatu yang berharga. Senyum kecil muncul di bibirnya. Di dalam benaknya, ia membayangkan sosok kecil yang kini tumbuh di dalam perutnya. Entah wajah siapa yang akan lebih dominan nanti, dirinya atau Arga.Arga berdiri tak jauh di belakangnya, lengan kemejanya digulung rapi, matanya mengikuti setiap gerakan Kanara dengan tenang.“Yang ini lucu banget, ya?” kata Kanara sambil mengangkat setelan bayi berwarna krem dengan gambar kelinci kecil di dada.“Ambil saja,” jawab Arga tanpa banyak pikir.Kanara berpindah ke bagian stroller dan menunjuk model hitam elegan dengan rangka kokoh. “Yang ini juga?”“Ambil,” sahut Arga santai.Kanara menatapnya, separuh geli, separuh heran. “Kau tidak ingin lihat dulu harganya?”Arga menoleh padanya, menatap lurus dengan ekspresi lembut yang tak lagi menyimpan ambisi seperti dulu.
Beberapa hari setelah keputusan sidang ayahnya, seharusnya Kanara merasa lega. Ia tahu itu keputusan yang benar. Adil bagi semua pihak. Tapi anehnya, yang ia rasakan justru sebaliknya. Ada beban yang menekan dadanya setiap kali ia memikirkan ayahnya di balik jeruji besi. Tidur di lantai dingin, makan seadanya, dan hidup dalam rutinitas tanpa kebebasan.Kanara berdiri di depan jendela apartemen, menatap langit sore yang mulai memerah. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh. Pemandangan itu sudah sering Arga lihat akhir-akhir ini. Kanara yang diam terlalu lama, seolah sedang berbicara dengan pikirannya sendiri.Arga masuk tanpa suara. Setelah melepaskan jas dan menaruh tas kerjanya di sofa, ia menghampiri Kanara lalu memeluknya dari belakang. Kanara sempat terlonjak kecil, tidak menyadari kehadiran suaminya.“Aku pulang,” ucap Arga pelan, suaranya hangat di telinga Kanara.Kanara hanya mengangguk kecil. Arga mengusap lembut perut Kanara yang membuncit, lalu menempelkan dagunya di
Hari itu, Reza akhirnya membuat keputusan. Setelah berhari-hari diliputi kecemasan, ia menatap layar ponselnya dengan jemari gemetar. Nama Sandrina terpampang di sana. Nafasnya berat, seolah ada batu besar yang menekan dadanya. Tapi kali ini, ia sudah siap menanggung semuanya.Begitu telfon tersambung, suara Sandrina terdengar tajam.“Reza, kau di mana saja?! Aku sudah bosan menunggu hasil kerjamu. Jangan bilang kau malah—”“Aku akan menyerahkan diriku ke polisi,” potong Reza datar, suaranya berat dan nyaris bergetar.Beberapa detik hening. Lalu suara Sandrina meninggi, penuh kemarahan dan ketakutan bercampur jadi satu.“Apa kau sudah gila?! Jangan bodoh, Reza! Kalau kau buka mulut, semuanya hancur! Aku juga …”Reza menutup mata sejenak, menahan getir di tenggorokan.“Aku sudah cukup, Sandrina. Aku lelah bersembunyi, lelah berbohong. Aku tidak mau terus hidup seperti ini.”“Kau pikir polisi akan percaya padamu? Kau pikir mereka akan—”Klik. Sambungan terputus.Reza menatap ponselnya b







