Kanara berdiri di halte dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tubuhnya lelah, pikirannya kosong, namun setidaknya satu hal sudah sedikit teratasi.
Beberapa menit setelah dia menghubungi Arga, pria itu langsung mentransfer sejumlah uang yang dia sebutkan. Tanpa basa-basi, tanpa pertanyaan tambahan. Cepat, bersih, dingin. Kanara segera mengurus ke bagian administrasi. Begitu biaya dilunasi, perawat langsung bergerak, membawa ibunya ke ruang tindakan untuk mendapat penanganan lanjutan. Dan sekarang… dia menunggu. Menunggu Arga menjemputnya, seperti kesepakatan mereka. Hampir satu jam berlalu. Hujan gerimis mulai turun, angin dingin berhembus, namun mobil yang dia tunggu belum juga muncul. Perempuan itu menoleh saat mobil berhenti, tatapannya kosong, lelah, menyerah. Arga menurunkan kaca jendela mobil, cukup untuk bicara, suaranya dingin seperti biasanya. “Masuk.” Tanpa banyak bicara, Kanara membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Hening sepanjang perjalanan, hanya suara hujan dan mesin yang terdengar. Tanpa sadar, itulah langkah pertama yang akan mengubah hidupnya selamanya. *** Mobil Arga terparkir di basement salah satu apartemen mewah di pusat kota. Tanpa banyak bicara, keduanya keluar dari dalam mobil. Langkah kaki Arga panjang dan cepat, seolah tidak memberi ruang jeda. Kanara terpaksa sedikit berlari kecil mengejar, menjaga jarak agar tak tertinggal terlalu jauh. Di sepanjang lorong basement menuju lift, tak ada percakapan yang terucap. Semua terasa dingin. Jarak di antara mereka seperti tak kasat mata, namun begitu nyata. Sesampainya di depan lift, Arga menekan tombol. Pintu terbuka, keduanya masuk. Kanara berdiri sedikit di belakang Arga, matanya menunduk, tangan mengepal di sisi tubuh. Sejak di dalam mobil, tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Tidak ada basa-basi. Tidak ada kehangatan. Mereka bukan dua orang yang saling mengenal dekat. Mereka bukan sepasang kekasih. Mereka hanya dua orang yang akan melakukan transaksi. Dingin, nyata, menyakitkan. Kanara merasa seperti kupu-kupu malam, meski hatinya memberontak. Harga dirinya terinjak, namun demi ibunya, dia menelan semua rasa itu. Suasana di dalam lift terasa hening, hanya terdengar suara mesin lift bergerak ke atas. Tiba-tiba, Arga berbalik, langkahnya sigap. Tangannya meraih lengan Kanara, menariknya mendekat. Kanara terkesiap, belum sempat bertanya, tubuhnya sudah terpojok di dinding lift. Dada Arga nyaris menempel di tubuhnya, nafas hangat pria itu menyapu wajahnya. Tanpa peringatan, tanpa kalimat pembuka, Arga menunduk… mencium Kanara begitu saja. Tajam, dalam, seolah menegaskan siapa yang memegang kendali malam ini. Kanara terdiam, tubuhnya kaku, pikirannya berkecamuk. Tapi semua sudah terlambat. Ini adalah konsekuensi dari keputusan yang dia ambil. Tangan Arga mulai menelusup ke balik kemeja Kanara, jemarinya bergerak tanpa ragu, mengabaikan batasan ruang dan waktu. Mereka masih di dalam lift. Kanara refleks menahan pergelangan tangan pria itu, cengkeramannya erat meski tubuhnya bergetar. Dadanya naik turun, wajahnya memerah entah karena marah, malu, atau perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Hatinya sudah cukup tercabik, harga dirinya sudah cukup diinjak. Tapi melakukannya di tempat umum seperti ini? Serendah itu kah Arga menatap dirinya? Tatapan Kanara menajam, menahan amarah yang hampir meluap. Suaranya rendah, gemetar, tapi tetap tegas. “Jangan di sini,” ujarnya pelan, tapi tegas. “Setidaknya… tunggu sampai kita di kamar.” Ucap Kanara, matanya menatap langsung ke mata Arga, mencoba mempertahankan sisa harga diri yang masih dia punya. Arga terdiam sejenak, senyum tipis penuh kemenangan kembali muncul di wajahnya. Jemarinya perlahan menarik mundur, memberikan ruang, namun matanya tetap mengunci pandangan Kanara—penuh hasrat, penuh permainan. “Kau masih peduli tempat?” “Aku masih punya rasa malu,” balas Kanara, menahan tatapan penuh gengsi. “Aku bukan boneka.” “Malam ini, kita hanya menyelesaikan apa yang kau mulai. Jangan bersikap seolah kau tak tahu.” “Aku tahu,” ucap Kanara lirih, nyaris seperti bisikan. “Tapi bukan berarti aku tak punya batas.” Pintu lift berdenting terbuka. Tanpa berkata apa-apa, Arga melangkah keluar lebih dulu. Kanara menarik napas panjang, menguatkan dirinya. Sisa malam ini… dia tahu, semuanya akan terasa lebih berat dari yang dia bayangkan.Kanara menelan ludah, tenggorokannya kering. Ada tekanan di dadanya yang membuat napasnya terasa berat. Dengan gerakan kaku, ia bangkit dari ranjang. Bathrobe yang longgar di bahunya melorot perlahan hingga jatuh ke lantai tanpa suara. Ia tidak berusaha mengambilnya kembali.Demi Ibu… hanya untuk Ibu, batinnya.Arga menatapnya dalam diam. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia tahu, ia menang malam ini. Ia berhasil menggoyahkan pertahanan terakhir Kanara.Perlahan, Kanara melangkah mendekat. Kepalanya sedikit tertunduk, jemari yang bergetar mulai membuka kancing kemeja Arga satu per satu. Arga hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Kanara, seolah menunggu tanda terakhir dari keraguannya.Saat kancing terakhir terlepas, Kanara perlahan duduk di pangkuan Arga di atas ranjang. Tubuhnya kaku, napasnya belum stabil. Namun, ia memberanikan diri memajukan wajahnya. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Arga, seperti meniru apa yang Arga lakukan sebelumnya. Hati-hati, penuh rasa asing, tapi tak
Sentuhan Arga semakin dalam, jarak di antara mereka hampir menghilang. Nafas Kanara memburu, tubuhnya menegang namun tidak bergerak. Hatinya berteriak menolak, tapi otot-ototnya kaku, tak mampu mendorong pergi.Cengkraman di pinggangnya menguat. Arga menunduk, bibirnya kembali mendekat. Kanara menahan napas, matanya terpejam rapat, menunggu momen itu lewat begitu saja.Namun suara getaran ponsel memecah keheningan. Samar, tapi cukup jelas berasal dari saku celana Arga.Arga mengabaikannya, jemarinya tetap bertahan di bathrobe Kanara, siap menariknya lagi. Getaran kedua menyusul, lebih lama dari sebelumnya. Arga masih tidak bergeming.Getaran ketiga akhirnya membuatnya mendecak pelan. Dia melepaskan Kanara, melangkah ke meja, lalu merogoh ponsel dari saku celananya.“Tidak usah kemana-mana,” ucapnya singkat, sebelum menggeser ikon hijau di layar ponselnya dan mengangkat panggilan.Kanara berdiri mematung, dada naik-turun cepat. Napasnya masih berat, bukan hanya karena ketegangan barusa
Kanara melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut bathrobe putih yang sudah tersedia di sana. Bahan kain itu hangat, tapi tetap saja tidak mampu meredam dinginnya perasaan di dalam dadanya.Di ruang tengah, Arga sudah menunggunya.Pria itu duduk santai di sofa, satu tangan memegang gelas tinggi berisi wine merah, sesekali dia menyesapnya perlahan. Botol wine masih terbuka di atas meja kaca, menciptakan kontras tajam dengan suasana tegang yang memenuhi ruangan.Tatapan mata Arga bergerak menelusuri tubuh Kanara, dari kepala hingga kaki. Ada kilatan puas di sana, seperti pemilik yang baru saja menerima barang pesanannya."Kemari," ucap Arga, nada suaranya tenang tapi tegas, tak memberi ruang untuk penolakan.Di depannya, sudah tersedia gelas kedua, setengah penuh berisi wine merah pekat. Arga menggeser gelas itu ke arah Kanara, isyarat halus tapi jelas.Kanara menatap gelas itu, lalu menatap Arga."Aku tidak minum alkohol," ucapnya singkat, suaranya sedikit serak, ada penolakan
Sesampainya di unit apartemen, Arga menekan sandi pintu dengan santai. Bunyi klik terdengar sebelum pintu terbuka perlahan, memperlihatkan interior mewah dengan pencahayaan temaram.Kanara berdiri terpaku di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Jantungnya berdetak tidak beraturan, rasa takut menyelusup, tapi dia menahannya mati-matian.Memperlihatkan ketakutan atau kelemahan di hadapan Arga hanya akan membuatnya semakin kehilangan harga diri. Meski, dia sadar… sebagian besar harga diri itu sudah terkubur sejak notifikasi transferan Arga masuk ke layar ponselnya.Arga sudah lebih dulu masuk, langkahnya santai, seperti pria yang baru saja tiba di rumah usai bekerja. Dia melepas dasi dari leher, melemparkannya sembarangan ke sofa. Lalu, satu per satu kancing kemejanya dia buka perlahan, memperlihatkan tubuhnya yang terlatih.Tatapan Arga terarah ke Kanara yang masih berdiri di depan pintu, ragu melangkah.“Kenapa diam saja di situ? Masuk,” ucap Arga, suaranya tenang tapi
Kanara berdiri di halte dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tubuhnya lelah, pikirannya kosong, namun setidaknya satu hal sudah sedikit teratasi.Beberapa menit setelah dia menghubungi Arga, pria itu langsung mentransfer sejumlah uang yang dia sebutkan. Tanpa basa-basi, tanpa pertanyaan tambahan. Cepat, bersih, dingin.Kanara segera mengurus ke bagian administrasi. Begitu biaya dilunasi, perawat langsung bergerak, membawa ibunya ke ruang tindakan untuk mendapat penanganan lanjutan.Dan sekarang… dia menunggu.Menunggu Arga menjemputnya, seperti kesepakatan mereka.Hampir satu jam berlalu. Hujan gerimis mulai turun, angin dingin berhembus, namun mobil yang dia tunggu belum juga muncul.Perempuan itu menoleh saat mobil berhenti, tatapannya kosong, lelah, menyerah. Arga menurunkan kaca jendela mobil, cukup untuk bicara, suaranya dingin seperti biasanya.“Masuk.”Tanpa banyak bicara, Kanara membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Hening sepanjang perjalanan, hanya suara hujan dan mesi
Kanara bekerja di salah satu kafe kecil di pusat kota, menjadi pramusaji demi menyambung hidup dan biaya pengobatan ibunya. Kurang tidur, tubuh remuk, jiwa hancur, tapi dia harus tetap berdiri, harus tetap tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Pagi ini, wajahnya masih bengkak sisa tangis semalam. Dikelabui seadanya dengan riasan tipis agar setidaknya wajah pucatnya tak terlalu mencolok di tengah ruangan penuh pengunjung.“Ra, ada yang mencarimu,” ucap Lusi, teman kerjanya saat Kanara baru kembali dari jam istirahat.“Siapa?” tanya Kanara, suaranya serak karena lelah dan kurang tidur.“Laki-laki. Duduk di meja paling pojok.”Kanara menghela nafas pelan. Dia bergegas menuju area meja yang dimaksud, langkahnya melambat seketika saat melihat siapa yang duduk di sana.Arga.Pria itu duduk santai di pojok ruangan, mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya, wajahnya menoleh ke arah Kanara, tersenyum, dan melambaikan tangan dengan percaya diri.Jika bukan karena statusnya sebagai karya