Home / Romansa / Terjerat Nafsu Kakak Tiri / Bab 5 Kesepakatan yang Tak Terucap

Share

Bab 5 Kesepakatan yang Tak Terucap

Author: Secret juju
last update Last Updated: 2025-07-22 08:15:00

Kanara berdiri di halte dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tubuhnya lelah, pikirannya kosong, namun setidaknya satu hal sudah sedikit teratasi.

Beberapa menit setelah dia menghubungi Arga, pria itu langsung mentransfer sejumlah uang yang dia sebutkan. Tanpa basa-basi, tanpa pertanyaan tambahan. Cepat, bersih, dingin.

Kanara segera mengurus ke bagian administrasi. Begitu biaya dilunasi, perawat langsung bergerak, membawa ibunya ke ruang tindakan untuk mendapat penanganan lanjutan.

Dan sekarang… dia menunggu.

Menunggu Arga menjemputnya, seperti kesepakatan mereka.

Hampir satu jam berlalu. Hujan gerimis mulai turun, angin dingin berhembus, namun mobil yang dia tunggu belum juga muncul.

Perempuan itu menoleh saat mobil berhenti, tatapannya kosong, lelah, menyerah. Arga menurunkan kaca jendela mobil, cukup untuk bicara, suaranya dingin seperti biasanya.

“Masuk.”

Tanpa banyak bicara, Kanara membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Hening sepanjang perjalanan, hanya suara hujan dan mesin yang terdengar.

Tanpa sadar, itulah langkah pertama yang akan mengubah hidupnya selamanya.

***

Mobil Arga terparkir di basement salah satu apartemen mewah di pusat kota.

Tanpa banyak bicara, keduanya keluar dari dalam mobil.

Langkah kaki Arga panjang dan cepat, seolah tidak memberi ruang jeda. Kanara terpaksa sedikit berlari kecil mengejar, menjaga jarak agar tak tertinggal terlalu jauh. Di sepanjang lorong basement menuju lift, tak ada percakapan yang terucap.

Semua terasa dingin. Jarak di antara mereka seperti tak kasat mata, namun begitu nyata.

Sesampainya di depan lift, Arga menekan tombol. Pintu terbuka, keduanya masuk. Kanara berdiri sedikit di belakang Arga, matanya menunduk, tangan mengepal di sisi tubuh.

Sejak di dalam mobil, tidak ada sepatah kata pun yang keluar.

Tidak ada basa-basi.

Tidak ada kehangatan.

Mereka bukan dua orang yang saling mengenal dekat.

Mereka bukan sepasang kekasih.

Mereka hanya dua orang yang akan melakukan transaksi.

Dingin, nyata, menyakitkan.

Kanara merasa seperti kupu-kupu malam, meski hatinya memberontak. Harga dirinya terinjak, namun demi ibunya, dia menelan semua rasa itu.

Suasana di dalam lift terasa hening, hanya terdengar suara mesin lift bergerak ke atas.

Tiba-tiba, Arga berbalik, langkahnya sigap. Tangannya meraih lengan Kanara, menariknya mendekat.

Kanara terkesiap, belum sempat bertanya, tubuhnya sudah terpojok di dinding lift. Dada Arga nyaris menempel di tubuhnya, nafas hangat pria itu menyapu wajahnya.

Tanpa peringatan, tanpa kalimat pembuka, Arga menunduk… mencium Kanara begitu saja. Tajam, dalam, seolah menegaskan siapa yang memegang kendali malam ini.

Kanara terdiam, tubuhnya kaku, pikirannya berkecamuk. Tapi semua sudah terlambat. Ini adalah konsekuensi dari keputusan yang dia ambil.

Tangan Arga mulai menelusup ke balik kemeja Kanara, jemarinya bergerak tanpa ragu, mengabaikan batasan ruang dan waktu.

Mereka masih di dalam lift.

Kanara refleks menahan pergelangan tangan pria itu, cengkeramannya erat meski tubuhnya bergetar. Dadanya naik turun, wajahnya memerah entah karena marah, malu, atau perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.

Hatinya sudah cukup tercabik, harga dirinya sudah cukup diinjak. Tapi melakukannya di tempat umum seperti ini?

Serendah itu kah Arga menatap dirinya?

Tatapan Kanara menajam, menahan amarah yang hampir meluap. Suaranya rendah, gemetar, tapi tetap tegas.

“Jangan di sini,” ujarnya pelan, tapi tegas. “Setidaknya… tunggu sampai kita di kamar.” Ucap Kanara, matanya menatap langsung ke mata Arga, mencoba mempertahankan sisa harga diri yang masih dia punya.

Arga terdiam sejenak, senyum tipis penuh kemenangan kembali muncul di wajahnya. Jemarinya perlahan menarik mundur, memberikan ruang, namun matanya tetap mengunci pandangan Kanara—penuh hasrat, penuh permainan.

“Kau masih peduli tempat?”

“Aku masih punya rasa malu,” balas Kanara, menahan tatapan penuh gengsi. “Aku bukan boneka.”

“Malam ini, kita hanya menyelesaikan apa yang kau mulai. Jangan bersikap seolah kau tak tahu.”

“Aku tahu,” ucap Kanara lirih, nyaris seperti bisikan. “Tapi bukan berarti aku tak punya batas.”

Pintu lift berdenting terbuka. Tanpa berkata apa-apa, Arga melangkah keluar lebih dulu.

Kanara menarik napas panjang, menguatkan dirinya. Sisa malam ini… dia tahu, semuanya akan terasa lebih berat dari yang dia bayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 173 Setelah Badai Reda

    Arga kembali ke rumah sakit dengan langkah cepat, sisa kecemasan masih terasa di dadanya meski pertemuan dengan ibunya memberi sedikit ketenangan. Begitu sampai di depan kamar Kanara, ia berhenti sejenak. Napasnya tertahan, tangannya mengusap wajah, seakan menyiapkan diri untuk apa pun yang mungkin ia lihat di balik pintu.Saat ia membuka pintu perlahan, tubuhnya langsung terpaku.Kanara duduk bersandar di ranjang, posisi setengah tegak. Wajahnya jelas masih pucat, tetapi sorot matanya hangat. Di pelukannya, bayi mereka menyusu dengan tenang. Gerakan Kanara lembut, matanya sesekali menatap anak itu dengan senyum kecil yang tulus.Ketika melihat Arga berdiri di ambang pintu, Kanara tertegun sebentar sebelum tersenyum. Senyum itu sederhana, tapi membuat matanya berbinar, seolah seluruh ruangan ikut terang.“Arga…” panggilnya pelan.Arga tidak langsung menjawab. Hanya berdiri diam, mengunci pandangan pada Kanara dan bayinya seperti takut keduanya akan menghilang jika ia berkedip. Rasanya

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 172 Sang Pendosa

    Arga duduk di kursi pengunjung Lapas, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja kecil. Bau logam dan deterjen menyengat ruangan, membuat dadanya terasa sesak. Begitu pintu besi terbuka, Arga langsung berdiri.Jennifer muncul diantar seorang petugas. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya tampak lebih tirus, tetapi tatapannya tetap tajam seperti dulu. Ketika melihat kondisi Arga, wajah pucat, mata sembab, dan seragam pasien yang masih ia kenakan di balik jaketnya. Jennifer spontan berhenti melangkah.“Arga?” suaranya merendah. “Apa yang terjadi denganmu—”Belum sempat kalimatnya selesai, Arga tiba-tiba berlutut. Bahkan sebelum Jennifer sempat bereaksi, Arga sudah bersujud di kakinya.Petugas pun tersentak, tapi Jennifer memberi isyarat untuk tidak ikut campur.“Arga. Bangun,” ucapnya cepat, meski suaranya ikut bergetar. Ini bukan Arga yang ia kenal. Anaknya keras kepala, selalu menjaga harga diri. Tidak pernah ia melihat Arga seperti ini, gemetar, menangis, dan kehilangan kendali.

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 171 Yang Terlambat di Sadari

    Arga duduk di kursi tunggu rumah sakit. Telapak tangannya dingin, dan di punggung tangannya masih ada noda darah kering dari infus yang tadi ia lepas paksa. Pintu ruang tindakan tertutup rapat. Suara langkah dokter dan perawat hanya terdengar samar, cukup untuk membuat dadanya makin sesak.Setiap detik terasa seperti menunggu vonis.Langkah cepat terdengar mendekat. Arga menoleh.Athalla muncul dengan setelan jas lengkapnya, dasi masih rapi seolah baru keluar dari ruang sidang. Wajahnya tegang, tapi tatapannya langsung melunak ketika melihat Arga.“Arga…” panggilnya pelan.Hanya satu kata, tapi cukup untuk meruntuhkan pertahanan yang sejak tadi Arga paksa bangun.Ia menunduk lagi, bahunya bergetar. Air mata yang ia tahan di hadapan Kanara akhirnya jatuh juga. Pelan, tapi tidak bisa dihentikan. Bukan tangis pecah, hanya kelelahan, ketakutan, dan kecemasan yang akhirnya menemukan tempatnya.Athalla mendekat tanpa banyak tanya. Ia duduk di samping Arga, lalu menepuk bahunya pelan, sekali

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 170 Antara Hidup dan Mati

    Waktu terasa berjalan lambat. Kontraksi datang semakin dekat dan semakin kuat, membuat Kanara hampir tidak sempat menarik napas dengan benar. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya refleks menegang dan membungkuk.Arga tetap berada di sampingnya tanpa berpindah sedikit pun. Genggaman tangan Kanara pada dirinya makin erat, sementara napas Arga sendiri tidak kalah kacau, seakan ikut merasakan setiap gelombang rasa sakit yang menyerang perempuan itu.“Bu Kanara, saya periksa lagi, ya,” ujar dokter.Kanara mengangguk. Perawat membantu memposisikan kakinya. Begitu dokter memulai pemeriksaan, Kanara mengerang pelan, menahan rasa tidak nyaman.Beberapa detik kemudian, raut dokter berubah serius.“Pembukaan lengkap,” katanya tegas. “Kita mulai proses mengejan sekarang.”Arga menegang seketika. Kanara menutup mata, mencoba menstabilkan napasnya yang tersengal.“Sekarang?” tanya Arga, suaranya terdengar pecah meski berusaha tenang.“Ya. Bayinya sudah turun.”Dokter dan perawat bergerak cep

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 169 Kontraksi

    Baru beberapa langkah keluar dari kamar mandi, Kanara tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menegang, tangannya otomatis meraih lengan Arga.“Arga…” suaranya bergetar.Arga melihat ke bawah, cairan hangat mengalir dari sela kaki Kanara, deras dan tidak bisa dihentikan. Mata mereka saling bertemu, dan kepanikan langsung muncul di wajah Kanara. “Air ketuban,” bisik Kanara, hampir tidak percaya.Arga tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung meraih pinggang Kanara dan membopongnya. Rasa ngilu di perutnya menusuk, tapi ia tidak memberi ruang untuk itu. Fokusnya hanya pada Kanara.Ia membaringkan Kanara di ranjang pasien miliknya, membetulkan posisi tubuh perempuan itu agar nyaman. Kanara mengerang pelan, memegangi perut yang kembali menegang.Kanara menggenggam lengan Arga erat. “Arga, sakitnya beda.”“Aku tahu.” Suara Arga rendah, sukar disamarkan ketegangannya. Ia menangkup pipi Kanara sebentar, mencoba memastikan perempuan itu tetap melihatnya. Arga berdiri di samping ranjang, bingung se

  • Terjerat Nafsu Kakak Tiri   Bab 168 Ciuman di Kamar Mandi

    Arga kembali menautkan bibirnya pada Kanara. Kali ini ciumannya lebih dalam, lebih yakin, seolah seluruh rindu yang terpendam sejak malam itu akhirnya menemukan tempatnya. Kanara membalas dengan lembut, satu tangannya bertumpu pada bahu Arga, sementara yang lain terangkat menyentuh rahangnya.Arga menggeser kepalanya sedikit, mencari sudut yang lebih nyaman, mencium Kanara perlahan namun intens. Napas mereka berbaur, hangat dan saling mengejar. Sesekali Kanara mengeluarkan napas kecil yang terputus, membuat Arga semakin menahan pinggangnya dengan hati-hati agar ia tetap berada dekat.Kanara merapat sedikit, mencium Arga kembali. Kali ini lebih berani. Jemarinya menyentuh tengkuk Arga, membelai rambut pendek di sana. Arga menahan napas, matanya terpejam, menyesap moment itu seolah takut semuanya hanya mimpi.“Pelan dikit,” bisik Arga di sela ciuman, suaranya rendah dan agak terputus karena menahan sakit di perutnya. “Lukaku masih sedikit ngilu.”Kanara tertawa kecil, ujung hidungnya ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status