MasukKanara bekerja di salah satu kafe kecil di pusat kota, menjadi pramusaji demi menyambung hidup dan biaya pengobatan ibunya. Kurang tidur, tubuh remuk, jiwa hancur, tapi dia harus tetap berdiri, harus tetap tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.
Pagi ini, wajahnya masih bengkak sisa tangis semalam. Dikelabui seadanya dengan riasan tipis agar setidaknya wajah pucatnya tak terlalu mencolok di tengah ruangan penuh pengunjung. “Ra, ada yang mencarimu,” ucap Lusi, teman kerjanya saat Kanara baru kembali dari jam istirahat. “Siapa?” tanya Kanara, suaranya serak karena lelah dan kurang tidur. “Laki-laki. Duduk di meja paling pojok.” Kanara menghela nafas pelan. Dia bergegas menuju area meja yang dimaksud, langkahnya melambat seketika saat melihat siapa yang duduk di sana. Arga. Pria itu duduk santai di pojok ruangan, mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya, wajahnya menoleh ke arah Kanara, tersenyum, dan melambaikan tangan dengan percaya diri. Jika bukan karena statusnya sebagai karyawan di tempat ini, Kanara sudah pergi dari sana detik itu juga. Sikap Arga semalam masih jelas terpatri di kepalanya. Penawaran keji yang melecehkan harga dirinya. Tapi pekerjaan ini satu-satunya harapannya saat ini. Dia tidak bisa gegabah, tidak mau kehilangan penghasilan yang jadi sandaran hidup mereka. Kanara menarik napas dalam, menenangkan degup jantungnya yang kacau. Dia mengatur raut wajah, menarik senyum profesional seperti saat melayani pelanggan lain, lalu berjalan mendekat. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, nadanya ramah namun hambar, menyembunyikan gemuruh di dadanya. Arga menyebutkan pesanannya, menyelipkan senyum kecil seolah tak terjadi apa-apa semalam. Kanara mencatat dengan cekatan, lalu berbalik, pergi menyiapkan pesanan itu secepat mungkin. Hatinya mengutuk keberadaan laki-laki itu, namun dia tidak punya pilihan lain selain menjalani pekerjaannya. Beberapa menit kemudian, Kanara kembali ke meja Arga, menaruh pesanan pria itu dengan tangan sedikit gemetar. Sorot mata Arga tak pernah lepas darinya, mengunci gerak-geriknya, membuat Kanara nyaris mati gaya di hadapannya. Tangannya hampir saja menumpahkan minuman di meja, namun Arga sigap menangkap gelas itu. Jemari pria itu bersentuhan dengan tangannya, mencengkram pelan namun terlalu lama… terlalu sengaja. Lalu sebelah tangan Arga yang lain bergerak ke pinggang Kanara, mengusap pelan, terlalu lembut hingga membuat bulu kuduk Kanara meremang, bukan karena nyaman… tapi karena jijik dan kesal bercampur aduk. Kanara spontan mundur, menepis tangan Arga, namun pria itu justru tersenyum puas, senyum penuh kemenangan yang membuat Kanara muak. “Tawaranku masih berlaku,” bisik Arga pelan, suaranya terdengar seperti godaan yang berbahaya. Sebelum Kanara sempat merespons, Arga menyelipkan selembar kertas ke dalam saku apron Kanara. Seperti data diri atau informasi yang harus dia lihat nanti. Tanpa berkata apa-apa lagi, Arga bangkit, melangkah keluar dari kafe dengan percaya diri, meninggalkan Kanara berdiri kaku di tempatnya, bersama secuil kertas di saku dan beban pikiran yang makin menumpuk. *** Kanara berjalan tergesa di lorong rumah sakit. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipis meski tubuhnya masih terasa lelah dan remuk. Baru saja dia selesai bekerja, kini dia harus berlari ke rumah sakit setelah menerima telepon dari perawat. Suaranya terdengar panik, memberitahu bahwa ibunya butuh penanganan segera. Kondisinya menurun drastis. Tapi… administrasi harus dilunasi lebih dulu. Langkah Kanara terhenti di depan ruang administrasi, tubuhnya bergetar. Kepalanya pening, pikirannya kusut, dadanya sesak. Semua rasa bercampur jadi satu, membekapnya tanpa ampun. Dia menggenggam ponselnya erat, tangannya dingin. Pikiran di kepalanya berputar, mencari jalan keluar, mencari keajaiban. Tapi semua terasa buntu. Dia tidak tahu harus apa lagi. Bahkan menangis pun sudah tidak bisa lagi melegakan hatinya. Air mata rasanya sudah kering, terlalu sering habis untuk luka yang tak kunjung selesai. Sialnya… bayangan Arga dan tawaran menjijikkan itu kembali mengisi pikirannya. Pilihan yang sebelumnya dia anggap mustahil, kini perlahan terdorong ke permukaan, dipaksa untuk dipikirkan ulang. Kanara memejamkan mata sejenak, mencoba bernafas, tapi sesak itu tidak juga hilang. Semesta seolah benar-benar sedang mempermainkannya. Kanara membenci dirinya sendiri. Membenci betapa lemahnya dia. Membenci situasi yang memaksanya mempertimbangkan hal yang bahkan tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, lebih dari itu… dia tahu, dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya jika sesuatu yang buruk menimpa ibunya. Jika ibunya pergi… saat dia masih bisa melakukan sesuatu, sekotor apa pun caranya. Dengan tangan gemetar, Kanara mengeluarkan kartu nama yang tadi Arga selipkan ke dalam saku apron kerjanya. Lembaran kecil itu terasa lebih berat dari apa pun. Seperti menenteng beban harga diri yang siap dikorbankan. Jari-jarinya meremas kertas itu kuat-kuat. Kepalanya berputar, hatinya berperang. Semua prinsip, marah, benci, jijik… bertabrakan dalam dada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam dari semua itu. Ini… adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sekarang.Arga kembali ke rumah sakit dengan langkah cepat, sisa kecemasan masih terasa di dadanya meski pertemuan dengan ibunya memberi sedikit ketenangan. Begitu sampai di depan kamar Kanara, ia berhenti sejenak. Napasnya tertahan, tangannya mengusap wajah, seakan menyiapkan diri untuk apa pun yang mungkin ia lihat di balik pintu.Saat ia membuka pintu perlahan, tubuhnya langsung terpaku.Kanara duduk bersandar di ranjang, posisi setengah tegak. Wajahnya jelas masih pucat, tetapi sorot matanya hangat. Di pelukannya, bayi mereka menyusu dengan tenang. Gerakan Kanara lembut, matanya sesekali menatap anak itu dengan senyum kecil yang tulus.Ketika melihat Arga berdiri di ambang pintu, Kanara tertegun sebentar sebelum tersenyum. Senyum itu sederhana, tapi membuat matanya berbinar, seolah seluruh ruangan ikut terang.“Arga…” panggilnya pelan.Arga tidak langsung menjawab. Hanya berdiri diam, mengunci pandangan pada Kanara dan bayinya seperti takut keduanya akan menghilang jika ia berkedip. Rasanya
Arga duduk di kursi pengunjung Lapas, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja kecil. Bau logam dan deterjen menyengat ruangan, membuat dadanya terasa sesak. Begitu pintu besi terbuka, Arga langsung berdiri.Jennifer muncul diantar seorang petugas. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya tampak lebih tirus, tetapi tatapannya tetap tajam seperti dulu. Ketika melihat kondisi Arga, wajah pucat, mata sembab, dan seragam pasien yang masih ia kenakan di balik jaketnya. Jennifer spontan berhenti melangkah.“Arga?” suaranya merendah. “Apa yang terjadi denganmu—”Belum sempat kalimatnya selesai, Arga tiba-tiba berlutut. Bahkan sebelum Jennifer sempat bereaksi, Arga sudah bersujud di kakinya.Petugas pun tersentak, tapi Jennifer memberi isyarat untuk tidak ikut campur.“Arga. Bangun,” ucapnya cepat, meski suaranya ikut bergetar. Ini bukan Arga yang ia kenal. Anaknya keras kepala, selalu menjaga harga diri. Tidak pernah ia melihat Arga seperti ini, gemetar, menangis, dan kehilangan kendali.
Arga duduk di kursi tunggu rumah sakit. Telapak tangannya dingin, dan di punggung tangannya masih ada noda darah kering dari infus yang tadi ia lepas paksa. Pintu ruang tindakan tertutup rapat. Suara langkah dokter dan perawat hanya terdengar samar, cukup untuk membuat dadanya makin sesak.Setiap detik terasa seperti menunggu vonis.Langkah cepat terdengar mendekat. Arga menoleh.Athalla muncul dengan setelan jas lengkapnya, dasi masih rapi seolah baru keluar dari ruang sidang. Wajahnya tegang, tapi tatapannya langsung melunak ketika melihat Arga.“Arga…” panggilnya pelan.Hanya satu kata, tapi cukup untuk meruntuhkan pertahanan yang sejak tadi Arga paksa bangun.Ia menunduk lagi, bahunya bergetar. Air mata yang ia tahan di hadapan Kanara akhirnya jatuh juga. Pelan, tapi tidak bisa dihentikan. Bukan tangis pecah, hanya kelelahan, ketakutan, dan kecemasan yang akhirnya menemukan tempatnya.Athalla mendekat tanpa banyak tanya. Ia duduk di samping Arga, lalu menepuk bahunya pelan, sekali
Waktu terasa berjalan lambat. Kontraksi datang semakin dekat dan semakin kuat, membuat Kanara hampir tidak sempat menarik napas dengan benar. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya refleks menegang dan membungkuk.Arga tetap berada di sampingnya tanpa berpindah sedikit pun. Genggaman tangan Kanara pada dirinya makin erat, sementara napas Arga sendiri tidak kalah kacau, seakan ikut merasakan setiap gelombang rasa sakit yang menyerang perempuan itu.“Bu Kanara, saya periksa lagi, ya,” ujar dokter.Kanara mengangguk. Perawat membantu memposisikan kakinya. Begitu dokter memulai pemeriksaan, Kanara mengerang pelan, menahan rasa tidak nyaman.Beberapa detik kemudian, raut dokter berubah serius.“Pembukaan lengkap,” katanya tegas. “Kita mulai proses mengejan sekarang.”Arga menegang seketika. Kanara menutup mata, mencoba menstabilkan napasnya yang tersengal.“Sekarang?” tanya Arga, suaranya terdengar pecah meski berusaha tenang.“Ya. Bayinya sudah turun.”Dokter dan perawat bergerak cep
Baru beberapa langkah keluar dari kamar mandi, Kanara tiba-tiba berhenti. Tubuhnya menegang, tangannya otomatis meraih lengan Arga.“Arga…” suaranya bergetar.Arga melihat ke bawah, cairan hangat mengalir dari sela kaki Kanara, deras dan tidak bisa dihentikan. Mata mereka saling bertemu, dan kepanikan langsung muncul di wajah Kanara. “Air ketuban,” bisik Kanara, hampir tidak percaya.Arga tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung meraih pinggang Kanara dan membopongnya. Rasa ngilu di perutnya menusuk, tapi ia tidak memberi ruang untuk itu. Fokusnya hanya pada Kanara.Ia membaringkan Kanara di ranjang pasien miliknya, membetulkan posisi tubuh perempuan itu agar nyaman. Kanara mengerang pelan, memegangi perut yang kembali menegang.Kanara menggenggam lengan Arga erat. “Arga, sakitnya beda.”“Aku tahu.” Suara Arga rendah, sukar disamarkan ketegangannya. Ia menangkup pipi Kanara sebentar, mencoba memastikan perempuan itu tetap melihatnya. Arga berdiri di samping ranjang, bingung se
Arga kembali menautkan bibirnya pada Kanara. Kali ini ciumannya lebih dalam, lebih yakin, seolah seluruh rindu yang terpendam sejak malam itu akhirnya menemukan tempatnya. Kanara membalas dengan lembut, satu tangannya bertumpu pada bahu Arga, sementara yang lain terangkat menyentuh rahangnya.Arga menggeser kepalanya sedikit, mencari sudut yang lebih nyaman, mencium Kanara perlahan namun intens. Napas mereka berbaur, hangat dan saling mengejar. Sesekali Kanara mengeluarkan napas kecil yang terputus, membuat Arga semakin menahan pinggangnya dengan hati-hati agar ia tetap berada dekat.Kanara merapat sedikit, mencium Arga kembali. Kali ini lebih berani. Jemarinya menyentuh tengkuk Arga, membelai rambut pendek di sana. Arga menahan napas, matanya terpejam, menyesap moment itu seolah takut semuanya hanya mimpi.“Pelan dikit,” bisik Arga di sela ciuman, suaranya rendah dan agak terputus karena menahan sakit di perutnya. “Lukaku masih sedikit ngilu.”Kanara tertawa kecil, ujung hidungnya ha







