Kanara menunduk, pura-pura sibuk meratakan busa di air agar tidak perlu menatap Arga terlalu lama.Arga tersenyum tipis melihat Kanara yang jelas salah tingkah. Air memercik ketika ia tiba-tiba menarik tubuh Kanara mendekat. Sentuhan basah kulit mereka saling menempel, membuat Kanara refleks menahan nafas. Arga merunduk, mengecup bahu Kanara yang basah, meninggalkan sensasi hangat yang kontras dengan air.Kanara mengernyit kecil, mencoba menutupi debar jantungnya. “Apa semalam masih belum cukup bagimu?” suaranya terdengar setengah menantang, setengah gugup.Arga menoleh, matanya menatap dalam. “Denganmu, tidak akan pernah cukup. Kau selalu membuatku candu.”Kalimat itu membuat Kanara terdiam sejenak. Ia melepaskan diri dari dekapan Arga, memberi sedikit jarak agar bisa menatap wajah pria itu dengan jelas. “Berapa banyak perempuan yang sudah mendengar kalimat seperti itu darimu?” tanyanya lirih, tapi nada sinisnya tidak bisa disembunyikan.Arga tidak segera menjawab. Ia hanya melingkar
Selesai makan, pegawai hotel datang membereskan meja. Kanara hanya duduk diam di sofa, memperhatikan ruangan kembali rapi. Setelah mereka pergi, Arga sudah kembali larut pada tablet di tangannya, jemarinya cepat bergerak membuka laporan, mengirim instruksi.Kanara bersandar, menatapnya lama. Ini benar-benar perjalanan bisnis, bukan seperti yang ia bayangkan. Ada penyesalan kecil muncul, mengikuti Arga ke sini justru membuatnya menyadari betapa dirinya tidak memiliki kesibukan apa-apa, sementara pria itu sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaannya.Arga yang sibuk terlihat berbeda. Wajahnya serius, sorot matanya fokus, aura seorang pemimpin besar jelas terpancar. Berbeda jauh dari Arga yang biasa menyambutnya di apartemen dengan senyum santai.Dengan langkah malas, Kanara mendekat. Ia merebahkan kepala di atas paha Arga, memaksa pria itu berhenti sejenak. Arga sempat menoleh, senyum tipis muncul di bibirnya, tangannya mengusap singkat rambut Kanara sebelum kembali menatap layar.“Kau sungg
Kanara tidak ingat persis kapan ia tertidur. Terakhir, ia hanya bermaksud berbaring sebentar, mengistirahatkan tubuh yang masih tegang sejak perjalanan. Namun, ketika terbangun, cahaya lampu kamar sudah remang, menandakan sore menjelang malam.Ia mengeluarkan tangan dari balik selimut tebal, menatap kosong ke langit-langit. Ruangan suite itu terasa begitu luas dan kosong. Tidak ada Arga. Tidak ada suara lain selain dengung AC yang stabil.Ia duduk perlahan, menarik napas panjang. “Dia bahkan tidak membangunkanku,” katanya lirih. Ada nada getir, tapi juga pasrah. Mungkin beginilah rasanya menjadi bagian kecil dari hidup seorang pria dengan posisi sebesar Arga.Bangkit, Kanara melangkah ke kamar mandi. Air hangat yang mengalir dari shower menyentuh kulitnya, menenangkan sedikit rasa kesepian yang tiba-tiba menyeruak. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin yang berkabut.“Kanara…” ia menyebut namanya sendiri dengan suara rendah, “kau ada di sini bukan untuk hanyut. Ingat, ini bukan libur
Arga mencondongkan tubuh, menatap Kanara lekat. “Jangan sebut dirimu begitu,” ucapnya pelan tapi tegas.Kanara tersenyum tipis, kali ini lebih seperti tameng. “Bukankah itu kenyataannya? Aku menunggu di sini, sementara kau—” ia berhenti, menahan ucapannya, “punya kehidupan lain di luar apartemen ini.”Arga menghela napas panjang, lalu meraih jemari Kanara di atas meja. Genggamannya hangat, namun ada sedikit ketegangan. “Aku di sini karena aku ingin bersamamu. Itu bukan sesuatu yang bisa kau samakan dengan permainan orang ketiga.”Kanara menatap jemarinya yang terkunci dalam genggaman Arga. Ada desir hangat, tapi juga rasa getir. “Kau bisa bicara begitu sekarang. Tapi saat kau pergi… aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Apa aku hanya pengisi waktu, atau benar-benar seseorang yang kau inginkan.”Arga menunduk, suaranya terdengar lebih dalam. “Kalau aku hanya butuh pengisi waktu, aku tidak akan memilihmu. Kau sadar itu, kan?”Kanara terdiam. Pertahanan yang ia bangun dengan kalimat s
Ciuman itu semakin dalam, tidak lagi sekadar kecupan singkat. Arga menahan tengkuk Kanara dengan lembut, seolah takut ia menjauh, sementara Kanara merasakan jantungnya berdegup tak beraturan.Tangannya yang semula terkulai kini perlahan bergerak, meraih bahu Arga, menggenggam kain kemejanya. Ada ragu di awal, tapi tubuhnya sendiri menyerah pada kedekatan itu.Arga menariknya lebih dekat, menghapus jarak di antara mereka. Nafas mereka mulai memburu, hangat dan bercampur, memenuhi ruang hening apartemen.“Kanara…” suara Arga terdengar rendah, serak, begitu dekat di bibirnya.Kanara membuka mata sejenak, menatap wajah pria itu dari jarak yang nyaris tak ada. Ada sesuatu di sorot mata Arga, bukan hanya hasrat, tapi juga rasa memiliki yang begitu kuat. Tatapan itu membuat dadanya bergetar.Ia tak berkata apa-apa, hanya menunduk kembali, membiarkan bibir mereka bersatu lagi, lebih lama, lebih dalam. Jari-jarinya kini bergerak menyusuri garis rahang Arga, lalu berhenti di dada bidangnya.Arg
Kanara melangkah keluar dari restoran dengan langkah teratur, meski jantungnya masih berdegup lebih cepat dari biasanya. Udara malam menyambutnya, dingin menyapu kulit, membantu menenangkan dirinya setelah percakapan yang baru saja terjadi.Ia menarik napas dalam, menengadah sebentar ke langit gelap. “Tenang, Kanara… kau sudah melewati yang terburuk,” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Di hadapan Jennifer, ia berhasil terlihat tegar. Namun di balik itu, ia sadar tekanan yang datang tidak akan berhenti sampai di sini. Jennifer jelas tidak main-main. Dan Sandrina, pasti tidak akan tinggal diam.Kanara meraih ponselnya dari dalam tas, menatap layar yang gelap sebelum akhirnya menyelipkannya kembali. Senyum tipis terlukis di bibirnya. “Sepertinya aku tidak perlu repot-repot mencari cara menjatuhkan mereka,” pikirnya.Jennifer sudah membuktikan sendiri, kehadirannya dianggap ancaman. Itu berarti satu hal, dengan Arga di sisinya, secara tidak langsung ia sudah mengguncang po