"Dari mana saja kau, Elena? Kenapa kau tidur di luar lagi?" tanya Gio dengan nada yang mencampurkan rasa khawatir dan kesal.
Malam itu, Elena baru saja tiba di rumah setelah seharian sibuk. Wajahnya terlihat lelah, namun sikap dinginnya semakin terasa begitu ia melangkah masuk.
Elena menoleh pelan, menatap Gio dengan tatapan dingin yang tak bisa disembunyikannya. "Meeting dengan klienku," jawabnya tanpa emosi. "Kau pun tahu restoranku sedang di ambang bangkrut."
Gio berkacak pinggang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Sudah kukatakan padamu, Elena. Aku akan membantumu—"
"Tapi, kapan?" potong Elena cepat, suaranya mengandung nada tajam yang selama ini jarang ia tunjukkan. Wajahnya tetap datar, namun matanya memperlihatkan kekecewaan yang mendalam.
"Kau hanya menjanjikan, tapi tidak pernah kau lakukan. Harus menunggu restoranku gulung tikar dulu, baru kau akan membantuku?" lanjutnya tanpa memberi Gio kesempatan berbicara.
Elena menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan janji-janji kosong Gio. Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, ia melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Gio yang tertegun di tempatnya.
Gio mengerutkan kening, bingung dengan perubahan sikap Elena yang begitu tiba-tiba. Ia bergumam pelan, "Ada apa dengannya? Apakah klien itu menolak kerja sama dengannya?"
Mengusap rambutnya dengan gerakan frustrasi, Gio menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa. Namun, ponselnya berdering, membuyarkan pikirannya. Melihat nama "Jesika" di layar, senyuman kecil terukir di bibirnya.
"Jesika..." gumam Gio sebelum mengangkat telepon itu.
**
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Di kantor Karl.
Pria itu tengah duduk di kursinya yang mewah, sibuk memeriksa dokumen di mejanya. Vincent, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah sigap sambil membawa sebuah map berisi dokumen perjanjian kerja sama.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Vincent sopan sambil meletakkan map di meja Karl.
Karl mengambil dokumen tersebut, membukanya, dan mulai membaca dengan saksama. Setelah yakin, ia menandatangani kontrak kerja sama dengan Elena F&B tanpa ragu. Namun, sesuatu melintas di benaknya. Ia menutup dokumen itu dengan suara pelan sebelum berbicara.
"Cari tahu tentang Gio," perintah Karl dengan nada dingin dan penuh otoritas. "Pria ini adalah suami Elena, pemilik restoran yang akan bekerja sama dengan kita."
Vincent mengangguk, siap melaksanakan tugas itu. Namun, Karl menambahkan informasi lain. "Dia juga bagian dari klien kita. Nama perusahaannya The Ask Company," ucapnya, menambahkan tekanan pada kata-katanya.
Dengan cekatan, Vincent membuka iPad di tangannya. Ia mulai mengetik nama "The Ask Company," melacak segala informasi terkait perusahaan tersebut. Beberapa detik kemudian, ia menemukan data yang relevan.
“Giovani Maxime,” Vincent memulai. “Berusia tiga puluh tahun, berstatus sebagai suami Elena Anderson. Pernikahan mereka telah berjalan selama tiga tahun. Memiliki hobi bermain golf dan sudah menjalankan bisnis bahan pangan lebih dari lima tahun.”
Karl mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, tanda pikirannya tengah bekerja cepat. Wajahnya tetap dingin, namun ada kilatan di matanya yang sulit ditebak.
“Cari tahu lebih dalam tentang perusahaannya dan bukti perselingkuhannya!” titah Karl tegas. Ia mengambil map berisi kontrak kerja sama lalu bangkit dari kursinya dengan gerakan pasti.
Vincent memandang bosnya dengan penuh keheranan. “Biar aku saja yang memberikan kontrak ini,” tambah Karl sambil melangkah keluar.
Vincent membelalakkan matanya. Ia tidak percaya Karl, yang biasanya mendelegasikan tugas semacam itu, memutuskan untuk turun tangan langsung.
"Sejak kapan bosku ini mau mengantarkan kontrak sendiri?" gumam Vincent sambil menggaruk kepalanya.
Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di benaknya. “Apakah dia sedang jatuh cinta? Tapi bukankah Elena adalah istri Gio?” tanyanya pada dirinya sendiri. Namun, jawabannya segera muncul. Ia teringat laporan perselingkuhan Gio, dan ini membuatnya semakin terkejut.
“Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan itu!” serunya, lalu buru-buru keluar dari ruangan. Namun, ketika ia tiba, Karl sudah tidak ada di sana. “Cepat sekali hilangnya,” keluh Vincent, bingung bagaimana bosnya bisa menghilang tanpa jejak.
Lima belas menit kemudian. Karl sudah tiba di restoran Elena. Tempat itu masih lengang karena belum jam operasional. Ia berjalan masuk dengan langkah mantap, disambut oleh Maia, asisten pribadi Elena.
“Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa dibantu?” sapa Maia sopan, sedikit gugup melihat sosok Karl yang memancarkan aura otoritas.
“Aku ingin bertemu dengan Elena. Pemilik restoran ini,” jawab Karl dengan nada datar namun tegas.
Maia mengangguk. “Nyonya Elena belum sampai, Tuan. Mungkin—” Maia terhenti sejenak ketika melihat seseorang masuk ke restoran. “Ah! Itu dia.”
Karl menoleh ke belakang. Tatapannya bertemu dengan Elena yang baru saja tiba. Namun, wajah Elena tampak tegang begitu melihat Karl ada di sana tanpa pemberitahuan.
Karl segera menyadari penyebab ketegangan itu. Elena tidak sendiri. Di sampingnya, Gio berdiri dengan ekspresi penuh tanya, tangannya melingkar di pinggang Elena, seolah ingin menunjukkan kepemilikannya.
“Karl?” Gio membuka percakapan dengan nada datar namun sinis. Ia menatap pria itu dengan alis mengerut. “Lama tidak bertemu.”
“Gio,” balas Karl akhirnya, suaranya tenang namun mengandung dinginnya es. “Kebetulan sekali kita bertemu.”
Elena merasa canggung berada di antara dua pria itu. “Karl, kau tidak memberi tahu bahwa akan datang ke sini,” ucapnya, mencoba memecah ketegangan.
Karl menatap Elena dengan tajam, cukup lama untuk membuat wanita itu sedikit bergeser dari posisi Gio. “Ada sesuatu yang perlu kubahas langsung denganmu, Elena. Kebetulan ada Gio di sini. Sangat kebetulan sekali.”
Deg!
Jantung Elena berdebar tak karuan mendengar ucapan Karl. “Apa … yang ingin kau bahas, Karl?”
Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder
Keduanya berjalan bersisian menuju area parkir. Angin siang menerpa wajah mereka, namun langkah mereka tak goyah. Saat sampai di depan mobil masing-masing, mereka berhenti.Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata yang langsung keluar. Hanya diam. Tapi bukan diam kosong.“Apakah Tuan Federick kembali ke rumah sakit?” tanya Vincent seraya menoleh singkat ke arah pria yang tengah membuka pintu mobilnya.“Iya, aku harus menjemput Maia. Dia kutinggalkan begitu saja di sana,” jawab Federick, suaranya terdengar sedikit menyesal.“Baiklah jika begitu, aku harus kembali ke perusahaan dan ke restoran baru milik Nona Elena,” jelas Vincent sambil membenahi jasnya yang sempat kusut.“Baik, jika begitu kita berpisah di sini. Selamat jalan, Vincent. Lancar selalu.”“Begitu juga dengan Anda, Tuan,” sahut Vincent, memberikan sedikit anggukan hormat sebelum Federick menutup pintu mobilnya.Federick pun segera melangkah menuju kendaraan pribadinya, membuka pintu, masuk, dan dalam sekejap mobilnya melaju
Karl tersenyum hangat. Ia mendekat, mengusap rambut Elena perlahan, lalu menatap matanya dalam-dalam, seakan tak ada lagi siapa pun di ruangan itu selain mereka berdua.“Bersabarlah dulu sebentar, Sayang. Kita selesaikan dulu masalah kebakaran restauran kamu. Satu atau dua bulan ke depan, semua pasti siap. Aku janji.”Elena mengangguk pelan. “Baik.”Mata Karl berbinar, dan ia pun bertanya dengan nada lebih ringan, mencoba mengangkat suasana, “Tema bagaimana yang kau inginkan untuk pernikahan kita nanti?”Elena terdiam beberapa saat, mengalihkan pandangannya dari Karl dan memutar kepala perlahan ke arah Maia yang masih berdiri tidak jauh dari ranjang.Tatapannya serius, mengiris keheningan dengan nada datar namun jelas, “Maia, bagaimana perkembangan kasus restoran kita?”Maia tersentak kecil. Ia tidak menyangka pertanyaan seberat itu akan muncul saat atmosfer sebelumnya masih hangat membahas pernikahan.Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menata jawaban, “Pindahan sudah beres… mengena
Pagi hari yang cerah menyambut dengan sinar lembut yang menembus celah tirai. Udara kamar inap menjadi lebih hangat, dan aroma makanan menyebar perlahan.Wajah Elena terlihat jauh lebih segar. Pucat memang masih tersisa, tapi ada semburat kehidupan yang kembali ke pipinya. Karl duduk di sampingnya, seperti sejak tadi malam, tak pernah benar-benar meninggalkan.Dengan penuh perhatian, Karl menyuapi Elena yang kini bersandar santai di atas bantal besar. Ia menatap wanita itu seolah Elena adalah harta paling berharga yang tak boleh tergores sedikit pun."Makan yang banyak, kau tahu, makanan ini aku sendiri yang buat!" ucap Karl dengan bangga, mengangkat sendok seperti seorang koki profesional yang baru saja menciptakan mahakarya.Elena mengerjap pelan, mengernyit kecil. "Sejak kapan kau bisa masak, Karl?""Sejak kau terbaring di sini," jawab Karl enteng, tersenyum.Namun Elena menyipitkan matanya, seakan tak mudah percaya."Tapi masakan ini... rasanya seperti dari restoranku. Aku tidak p