*Happy Reading*"Reyn, makasih ya, udah bantu usir pria itu." Aku berusaha membuka obrolan. Saat akhirnya tinggal berdua dengan bule kembaran kulkas itu. Tadi, si duda sableng memang sempat ngamuk lagi melihat sikap perhatian Reyn padaku. Namun, bule itu bisa mengatasi dengan apik, bahkan mengusirnya. "Jangan egois! Anda saja bisa dekat bahkan tidur bareng dengan beberapa wanita lain di luar sana. Kenapa Devia harus menjaga hati anda? Sebelum dia benar-benar jadi milik anda. Dia berhak didekati pria mana pun. Khususnya saya, yang memang sudah menjadi bodyguardnya. Kalau memang tidak terima, miliki dia secara hukum dan agama."Paka Vino hanya bisa mengerang tertahan, lagi-lagi tertohok dengan ucapan Reyn. Setelah itu, pergi begitu saja dengan wajah merah luar bias menahan amarah. Okeh, back to saat ini.Reyn melirikku sekilas, sebelum kembali fokus pada layar ponselnya. Meski begitu, dia tetap menjawab, "Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya bekerja." "Bekerja? Jadi ... kamu bene
*Happy Reading*"Ka-kamu ... tahu ... dari mana semua itu?" Setelah sekian menit menegang kaku karena syok. Akhirnya Papa pun kembali bersuara. "Tidak penting aku tahu dari mana. Yang jelas, apa yang aku bilang barusan, bener kan?" Papa tidak langsung menjawab. Masih menegang dengan mulut yang kadang terbuka, lalu tertutup lagi seperti ragu untuk bicara. Sepertinya Papa masih diliputi rasa syok akan penuturanku beberapa saat lalu. "Bener kan, Pa?" Namun, aku tak ingin melepaskannya kali ini. Karena aku rasa memang sudah saatnya aku tahu semua yang beliau sembunyikan selama ini. Aku sudah dewasa sekarang. Aku pasti bisa lebih mengerti keadaan saat ini. Papa menghela napas panjang penuh beban akhirnya. Sebelum mengusap wajah yang mulai menua, dan menatapku lekat seakan belum siap untuk jujur."Ya," akunya dengan lirih. "Papa ... sebenarnya bukan papa kandung kamu." Padahal aku sudah tahu kenyataannya. Tetapi, kok rasanya tetap sakit ya, saat harus mendengar langsung seperti ini. A
*Happy Reading*"Ja-jadi ... papa membohongi kami selama ini?"Inginnya, aku bilang 'jadi papa menghianati mama'. Untungnya aku ingat jika mereka tidak menikah selama bersama. Jadi, aku rasa itu tidak bisa disebut penghianatan, kan?Papa menghela napas panjang lagi dengan berat. Sepertinya, hal ini juga tidak mudah untuknya. Tentu saja, posisinya saat itu memang tidak mudah. "Papa tahu, papa egois, Nur. Tapi, Papa juga ingin bahagia. Bukan, papa bukannya tidak bahagia hidup sama kamu dan Diana. Papa bahagia memiliki kalian. Sungguh! Tetapi ...." Papa menghela napas panjang lagi. Seakan dengah helaan itu, sedikit bebannya bisa berkurang. "Tetapi Papa tidak pernah mencintai Mama, iya kan?" Aku hanya ingin membantu Papa menjelaskan. Papa ternyata mengangguk, membenarkan ucapanku barusan. Aku bingung harus marah atau sedih untuk hal itu. Bagaimana pun, aku tidak bisa egois, dengan menyuruh papa bertahan demi mewujudkan mimpi tentang keluarga sempurna yang dimiliki semua anak. Keluarga
*Happy Reading*Kenapa sih, datang lagi? Udah mau nikah juga, masih aja gangguin? Maunya apa coba tuh duda sableng? Nyebelin banget. Aku rasa, pertanyaan kita akan kelakuan si papah itu sama. Ya, kan? Sama halnya dengan kalian para readerku tersayang. Aku pun juga kesel banget sama si papah. Entah maunya apa lagi pria ini? Atau mungkin lebih tepatnya. Entah mau apalagi si author ini, yang masih aja mempertemukan aku dan si duda. Mungkin, authornya sedang gabut. Atau sedang ingin dilempar sendal sama reader. Coba, deh kalian jewer kupingnya. Siapa tahu gak iseng lagi gangguin hidup aku. Padahal pas awal. Si author janji mau bikin ceritaku ini cuma ringan konflik. Lah, ngapa jadi njelimet gini, ya? Pusing loh aku jalaninnya. "Nah, kebetulan kamu datang. Saya sedang ingin sekali main catur. Sini, kamu temani saya main catur." Menahan kekesalan yang sama. Papa pun buka suara pura-pura menyambut Pak Vino dan Tita. "Eh, main catur?" beo Pak Vino kemudian. Melirikku dengan bingung. Beb
*Happy Reading*"Aduh! Aduh, Nur! Lutut Papa lemes." Papa merintih seraya merayap ke arah sisi tempat tidurku, saat Reyn sudah pergi membawa serta Pak Vino untuk di obati.Lucu, ya? Dia yang bikin si papah babak belur. Dia juga yang nganterin ke suster jaga untuk di obati. Huft ... gak habis pikir aku. Aku sih berdoa. Semoga saja si papah gak berulah lagi, atau memancing kemarahan Reyn saat diperjalanan. Takutnya, nanti bukannya sampe ke suster jaga. Si papah malah salah jalur ke ruang operasi gegara patah tulang. Ugh ... ngeri, sista!"Si Reyn tuh bener-bener turunan preman pasar kayaknya, ya. Dari pukulan-pukulannya, papa yakin dia udah biasa berantem. Eh, atau malah demenannya, ya?" Papa masih mengoceh saja. Mengomentari kelakuan Reyn meski sambil mengurut lutut yang katanya mendadak lemes melihat perkelahian Reyn dan Papa. "Kemaren Papa bilang dia mafia, loh. Sekarang kok jadi turun ke preman pasar?" Aku membantu memijat-mijat lututnya. "Ya, kan kalau mafia, setahu papa maena
*Happy Reading*Apa yang kalian harapkan? Bella adu mulut sama Reyn? Owh, kalau gitu maaf. Sepertinya kalian harus kecewa. Karena apa? Ya, karena seperti yang aku bilang di part sebelumnya. Reyn itu meski sangar dan dingin kek kulkas baru. Tetapi kalau sama anak kecil, tetap gak berkutik. Iya, benar. Herannya, si Reyn itu meski tampilannya angker kek kuburan baru. Kalau sama anak kecil itu sabar bet. Mau nemenin mereka main dan nurut aja diatur para bocah. Bahkan, kemaren diajak main barbie dan masak-masakan pun sama Tita, hayuk aja. Lah, coba itu kalian bayangkan. Tampang udah cool, tapi mainannya barbie. Lagi masak pula itu sii barbienya. Mungkin barbienya mau buka warteg kali, ya?Lain Tita, lain pula Bella. Jika Tita mainannya masih Barbie dan masak-masakan. Maka Bella setingkat di atasnya. Yaitu main ayah bunda.Beneran main papa mama. Reyn yang jadi papanya, Bella yang jadi mamanya. Nah, Tita jadi anaknya. Kesempatan banget, kan? Dengan begitu si Bella bebas gerayangin Reyn se
*Happy Reading*"Reyn pergi? Ke mana?" Tanya itu pun langsung saja hadir. Saat hari ini tidak menemukan Reyn di sekitarku, dan malah terganti oleh Tylor, anak buah Ammar. "Tuan Reyn sedang ada acara keluarga," jawab Tylor dengan sopan."Acara keluarga apa?" Bukannya aku kepo atau ingin mencampuri kehidupan Reyn. Hanya saja, bukannya sekarang aku adalah majikan Reyn. Jadi, wajar kan kalau aku ingin tahu. Lagipula, kenapa Reyn tidak pamit, sih? Ijin gitu. Atau setidaknya basa basi sebelum tiba-tiba menghilang begini. Kan, aku jadi nyariin--Eh, maksud aku. Kalau si Duda sableng itu datang lagi, gimana? Nah, jangan salah paham ya, gaes!"Maaf, tapi saya kurang tahu, nona." Jawaban Tylor tidak membantu sama sekali. Yang ada malah aku jadinya makin kepo, ya kan?Apa ... jangan-jangan Reyn mau tunangan? Atau ... nikah? Atau .... haish! Ngapa jadi mikirnya ke situ sih? Ada apa sebenarnya dengan diriku? Kenapa aku malah jadi perduli gini tentang ke beradaan Reyn? Aneh!"Kurang tahu, atau me
Beken 59*Happy Reading*Aku Muak!Sungguh!Perasaan, Malvino Alexander yang aku kenal itu seorang pengusaha. Bukan selebgram, Influencer, Tiktoker, apalagi aktor Film. Tetapi, kenapa sukanya bikin sensasi, sih?Heran aku! Gak habis pikir dan ... aneh! Parahnya, setiap sensasi yang dia buat selalu membawa serta aku. Membuat aku makin Virall dan mulai dikenal sebagai enemy publik. Padahal, salahku apa? Justru aku di sini korban, kan? Kenapa sih, malah aku yang dihujat sana-sini? Pengen nangis aku, loh. Kalau gak inget udah gede. Pasti aku udah goser-goser di lantai rumah sakit.Lebay? Biarin! Namanya juga lagi sedih. Jadi ya, tolong dimaklumin."Jadi, bagaimana tanggapan kamu soal berita terbaru dari pengusaha Aksa Malvino. Benarkah dia membatalkan pernikahannya karena lebih memilih kamu daripada calon istrinya."Menahan geram di hati akan pertanyaan si wartawan cantik, yang tidak sesuai rencana awal. Aku mencoba tetap tersenyum dan menjawab. "Aduh! Kalau itu saya gak tahu, ya? Saya