Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai jendela kamar, menerpa wajah Matteo yang masih berkerut oleh mimpi buruk. Di atas meja rias, undangan berlapis emas itu tergeletak dengan hiasan bunga peony putih—tanda tangan Ivy Ruzzo terpampang jelas dengan tinta ungu kesukaannya.
Matteo meremas kertas itu perlahan, lipatannya yang sempurna kini berubah menjadi kerutan-kerutan kecil di telapak tangannya.
“Ck! Sampai kirim undangan seperti ini!” decih Matteo tak suka.
Sebelumnya, Ivy tidak pernah mengirim undangan resmi seperti ini karena ini bukan sebuah pesta, hanya makan malam keluarga. Namun, karena Matteo kerap kali absent jadi Ivy berinisiatif mencetak undangan khusus untuk anak tunggalnya, Matteo.
"Kita harus pergi," suara Isabella terdengar lembut dari balik pintu kamar mandi.
Ia keluar dengan handuk melilit tubuh, rambutnya masih basah meneteskan air. Di cermin, matanya menangkap bekas merah di lehernya—jejak gigitan Leonardo yang belum sepenuhnya memudar.
Matteo menghela napas. "Kau tahu bagaimana ibuku—"
"Aku tahu," Isabella memotong, jemarinya menyentuh lehernya sendiri. "Tapi jika kita tidak datang, ayahmu akan semakin mendesak soal keturunan. Atau kau lupa ancamannya minggu lalu?"
Matteo mengutuk dalam hati. Setiap pertemuan keluarga selalu menjadi medan perang tersendiri. Ivy dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menusuk:
"Kapan aku bisa menggendong cucu?""Sudah periksa ke dokter lagi?""Kalian berdua tidak serius tentang pernikahan ini!"Dan Riccardo—ayahnya—akan duduk di ujung meja dengan tatapan dingin, seolah mengukur kegagalan Matteo sebagai seorang suami dan calon penerus bisnis keluarga.
Isabella membuka lemari pakaian, memilih gaun hitam panjang dengan lengan renda. "Hitam cocok untukku hari ini," ujarnya, tersenyum getir. Warna duka yang disengaja.
“Sepertinya Kau sudah menyiapkan jawaban untuk mereka…” tebak Matteo dengan gerakan seduktif di tubuh istrinya yang masih lembab.
“Kita jawab jujur, Matt. Kita sedang program.”
"Okay! Bersiaplah, aku akan telpon asisteriku untuk menyiapkan kado untuk Mama!" Matteo menutup percakapan dengan ciuman hangat di pelipis Isabella. Tapi sebelum aroma parfumnya sempat menghilang dari udara, suaminya sudah bergegas keluar kamar dengan langkah tegas.
Isabella menghela napas, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia mengambil coat-nya dan perlahan menyusul Matteo yang terlihat sedang memanaskan mesin Mercedes hitam mereka di halaman depan. Saat pintu mobil dibukakan untuknya, ia bisa merasakan aura berbeda yang memenuhi kabin - kehangatan tadi di kamar seolah terkunci rapat di balik pintu rumah, tergantikan oleh ketegangan yang mulai merayap di antara mereka.
Matteo menggenggam kemudi terlalu kencang hingga kulit kepalanya tampak memutih. Isabella duduk di sampingnya, diam-diam mengamati urat di tangan suaminya yang menegang, persis seperti malam ketika rahasia itu pertama kali terungkap. Udara di dalam mobil terasa semakin pengap, meski AC terus menghembuskan udara dingin.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya hati-hati, sambil menurunkan kaca jendela sedikit untuk menghirup udara segar.
Matteo tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertancap di jalanan yang semakin sepi. "Leonardo akan datang," ujarnya tiba-tiba.
Isabella menahan napas. "Aku tahu. Meskipun bukan anak kandung, dia tetap kakakmu!”"
"Aku juga tahu. Dia memang bukan orang yang gampang puas!"
Matteo menoleh sebentar, matanya gelap. "Jika kau masih mencintaiku—"
"Kita sudah melewati batas 'jika' itu, Matteo," Isabella memotong, menatap keluar jendela. Pohon-pohon cypress berlarian di sisi jalan, seperti bayangan masa lalu yang tak bisa ditangkap lagi.
Matteo hanya bisa meremas kemudi dengan kencang karena menyimpan rasa kesal dan rasanya dia sudah tidak bisa bergerak kemana-mana lagi. Dia terjebak permainannya sendiri. Kini dia harus rela berbagi istri dengan kakak angkatnya.
Villa Ruzzo sudah terlihat di kejauhan—megah, dingin, dan penuh dengan rahasia.
Ivy Ruzzo menyambut mereka di teras depan. Wanita Amerika berusia 60-an itu masih cantik dengan rambut pirang keperakan yang disanggul rapi.
"Akhirnya!" Pelukannya hangat, tapi matanya langsung menelusuri tubuh Isabella. "Kau kurus, Bella. Tidak sehat untuk calon ibu."
Isabella memaksakan senyum. "Selamat ulang tahun, Mama."
Riccardo muncul dari dalam rumah, tubuhnya tegap di balik setelan jas tailor-made. "Matteo," ucapnya singkat, anggukan kepalanya lebih mirip perintah daripada sambutan.
Dan di belakangnya—Leonardo.
Ia mengenakan setelan abu-abu yang membuat matanya yang hijau semakin mencolok. Senyum tipisnya mengembang saat melihat Isabella.
"Selamat datang, adikku... dan Belle."
Suaranya seperti madu yang dituangkan perlahan—manis, tapi bisa membuatmu tersedak.
Matteo seperti memasuki ruangan eksekusi, langkahnya berat, namun dia tak punya pilihan selain tetap masuk dan menikmati sajian makan malam.
Pesta berlangsung dengan anggur yang terus mengalir dan percakapan-percakapan palsu. Isabella merasa sesak, kerah gaunnya tiba-tiba terasa seperti jerat. Di antara gelas kristal yang bersinar dan senyum-senyum sempurna para tamu, ia menyadari kebenaran pahit yang tak pernah terpikir oleh perempuan-perempuan yang bermimpi menikahi keluarga konglomerat - bahwa hidup mewah ini hanyalah sangkar emas berlapis kepalsuan.
Dengan dalih mengambil udara, ia menyelinap ke kebun belakang dimana aroma peony bercampur dengan udara malam yang segar. Tapi kedamaiannya segera buyar...
"Belle..."
Suara itu membuatnya tersentak sebelum sepasang tangan kuat memeluknya dari belakang. Leonardo mengecup lehernya, lidahnya menyusuri bekas gigitan semalam.
"Kau gila! Ada tamu di mana-mana—"
"Justru lebih menggairahkan," bisik Leonardo, tangannya merayap ke paha Isabella di bawah gaun. "Kau sudah memikirkan malam nanti?"
Isabella ingin marah. Ingin menamparnya. Tapi tubuhnya malah mendesak ke belakang, merasakan kerasnya tubuh Leonardo.
"Aku benci kau," desis Isabella, tapi suaranya pecah menjadi rintihan ketika Leonardo mengejar denyut nadi di lehernya dengan ujung lidah. Tubuhnya bergolak—setiap sentuhan lelaki itu bagai percikan api di atas minyak, membakar perlawanannya menjadi abu.
Leonardo memutar tubuhnya dengan gerakan menguasai, tangan besarnya menelusuri tulang rusuk Isabella sebelum menenggelamkan jari-jemarinya di rambutnya. "Tubuhmu selalu jujur padaku," bisiknya, sebelum mencaplok bibir Isabella dalam ciuman yang dalam dan tak terburu-buru—seperti anggur yang dituang perlahan untuk dinikmati setiap tetesnya.
Isabella merasakan lidahnya yang panas menyapu setiap sudut mulutnya, mencuri napas dan akal sehatnya. Tangannya yang semula hendak mendorong justru mencengkeram bahu Leonardo, kukunya menancap di kain jasnya yang mahal. "Leo... hentikan—" protesnya terputus oleh helaan nafas ketika bibir lelaki itu beralih ke lehernya, menggigit ringan di tempat yang ia tahu paling sensitif.
Ketika Leonardo akhirnya menarik diri, Isabella terlihat seperti korban badai—bibirnya bengkak memerah, pupil matanya membesar, dan dadanya naik turun tak beraturan. Lelaki itu tersenyum puas sambil mengusap bekas lipstik yang tercoreng di sudut mulutnya. "Kau selalu merespon seperti ini," bisiknya kasar, "seperti bunga yang mekar hanya untuk tanganku."
Dada Isabella masih naik turun tak karuan ketika suara Leonardo yang dalam tiba-tiba menggema di dekat telinganya.
"Masih belum pulih?" Ia mendekat, napas hangatnya menyentuh kulitnya. "Atau... kau ingin aku mengulanginya?"
Isabella menahan gemuruh di jantungnya. "Jangan... jangan dekat-dekat," bisiknya, tapi tangannya justru mengepal di baju Leonardo, seolah tak mau melepas.
Dia tersenyum, tahu betul pengaruhnya padanya. "Ayo kembali ke pesta," godanya, jarinya menyelusuri pergelangan tangannya dengan gerakan memikat. "Atau kau lebih suka kita... menghilang ke tempat yang lebih sepi?"
Isabella menggigit bibir. Godaan itu nyaris tak tertahankan.
Pintu gudang berderit keras saat Matteo mendorongnya dengan kasar. Sorot matanya liar, mencari sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Dan di sana, persis di tengah ruangan yang diterangi cahaya bulan, Leonardo berdiri tegak. Tenang. Terlalu tenang."Leonardo!" sergah Matteo, suaranya parau. "Kau pikir kau bisa main hakim sendiri? Menculik Naomi? Kau sama brengseknya denganku!"Leonardo tak bergerak. Hanya matanya yang menyipit, mengamati setiap detail penampilan Matteo yang compang-camping."Kau tahu, Leonardo," Matteo melangkah mendekat, senyum sinis terukir di wajahnya yang dipenuhi janggut pirang tak terurus. "Dari dulu aku selalu jijik melihatmu. Berlagak suci, tapi ternyata sama bejatnya. Merebut istri orang—"Bug!Tidak ada peringatan. Tidak ada kata-kata balasan. Hanya sebuah pukulan keras yang menghunjam tepat di pipi Matteo. Begitu kuatnya sampai Matteo terhuyung mundur, menabrak tumpukan karang kosong."Dasar—!" Matteo mencoba membalas, tapi Leonardo sudah terlalu cepat.B
Serangan balik Isabella dan Leonardo bagaikan badai yang membelah langit. Opini publik pun terbelah, masing-masing dengan narasinya sendiri.Ini memang tujuan Isabella. Dia bukan mencari dukungan penuh tapi memecah. KUBUH SKEPTIS & CUEK:"Lagi, lagi. Orang kaya berantem." Komentar ini mewakili kelompok yang lelah dengan drama elite. Bagi mereka, ini sekadar sinetron berbiaya tinggi yang tak ada hubungannya dengan hidup mereka. Mereka membaca headline, menggeleng, lalu melanjutkan aktivitas. "Buat apa peduli? Yang penting harga sembako turun." Mereka adalah penonton pasif yang jumlahnya tak sedikit. PASUKAN PEMBELA ISABELLA: #KuatSepertiBelleKelompok inilah yang suaranya paling lantang. Terdiri dari para penyintas kekerasan, profesional muda yang menghargai kerja keras, dan masyarakat yang terinspirasi oleh ketangguhannya.Mereka adalah masyarakat yang selama ini mengikuti perkembangan kegiatan La Belle lama dalam kegiatan-kegiatan charity juga yang menerima manfaat dari donasi dan
Malam itu, kediaman Matteo yang mewah terasa seperti penjara berlapis marmer. Dia mondar-mandir di ruang kerjanya, gelas wiski di tangannya tak lagi membawa kehangatan, hanya menambah getar di ujung jarinya. Telepon di meksa berdering, memecah kesunyian yang mencekik.Suara orang kepercayaan Theodore Fia di seberang sana, berbisik tergesa-gesa, penuh tekanan. "Matteo... ada perkembangan buruk. Naomi... dia hilang."Gelas di tangan Matteo pecah berantakan di lantai, isinya membasahi karpet mahal. Wajahnya yang biasanya tampan, mendadak pucat bagai kain kafan. "Apa? Hilang? Apa maksudmu hilang?" desaknya, suaranya serak."Beberapa orang tak dikenal menyergapnya di parkiran bawah tanah, tepat setelah pertemuannya dengan Theodore. Mereka membawanya pergi. Cepat dan bersih.""Tidak mungkin..." Matteo terisak, tubuhnya limbung. Seluruh strategi, semua rencana licik yang telah mereka rajut berbulan-bulan, runtuh seketika. Naomi. Dia bukan sekadar sekutu. Dialah otak di balik setiap gerakan,
Sementara itu, di balik layar, Cassandra aktif. Dia dengan licik menyusun "bukti" untuk mendukung serangannya:Foto-Foto yang Dimanipulasi: Dia membocorkan foto lama Isabella saat sedang terlihat lesu atau sedih, dikirim ke media dengan caption yang menyudutkan, seperti "Isabella terlihat tidak stabil di sebuah acara amal, sebelum akhirnya pulang lebih cepat."Rekaman Suara Palsu: Sebuah rekaman suara samar yang di-edit diedarkan, di mana suara yang mirip Isabella terdengar berteriak histeris. Rekaman itu pendek dan tidak jelas konteksnya, tetapi cukup untuk menciptakan keraguan."Saksi Ahli" Bayaran: Naomi, melalui koneksi Theodore Fia, menyewa seorang psikolog yang tidak bermoral untuk memberikan pernyataan umum kepada media tentang "betapa umumnya pasien PTSD bisa memiliki memori palsu (false memory) yang terasa sangat nyata."Sebenarnya sangat mudah memecahkan bukti-bukti palsu seperti ini, namun jika langsung dilakukan pembalasan rasanya mereka tidak akan mendapatkan efek jerah.
"Dan aku," timpal Leonardo, "memilih untuk berdiri di sisi Isabella. Bukan sebagai 'pebinor', tapi sebagai pria yang telah menemukan belahan jiwanya dalam cara yang paling tidak terduga. Kami membangun hubungan kami dari puing-puing pengkhianatan, dan kami tidak malu akan itu."Video itu diakhiri dengan mereka berdua berpegangan tangan. "Kami menceritakan ini bukan untuk simpati," kata Isabella tegas. "Tapi sebagai peringatan untuk Matteo dan Naomi, juga siapa pun di belakang mereka. Kami tidak akan lari lagi. Kami akan melawan dengan kebenaran."Tak lama setelah video dirilis, gemparlah media sosial. Benar, ada yang mencibir, menyebut hubungan mereka tidak suci. Tapi jauh lebih banyak suara yang mendukung, terharu dengan kejujuran dan keteguhan mereka.Sementara itu, di sebuah apartemen mewah, Matteo membanting gelasnya ke dinding. "Berani sekali mereka! Mereka pamer!"Naomi yang berdiri di dekat jendela memandangnya dengan dingin. "Tenang, Matteo. Emosi tidak akan menyelesaikan masa
“Matteo!” teriak Isabella keras-keras, membuat Leonardo menoleh dengan cepat.“Ada apa? Kenapa kau sebut namanya?” tanya Leonardo mendekati istrinya.Isabella berdiri dan menarik tangan Leonardo, menuntunnya ke setumpuk dokumen yang membuktikan identitas asli Cassandra sebagai Suzan. Alamat rumah, agensi, hingga klinik operasi plastik—semuanya mengarah ke satu nama: Naomi.“Naomi?” ucap Leonardo, seolah mengais ingatan.“Naomi. Ingat, model teman sekolah kita yang dulu juga selingkuhan Matteo,” Isabella mengingatkan.“Ya… aku ingat, Belle,” gumam Leonardo sambil mengangguk.“Aku yakin dia bekerja sama dengan Matteo. Musuh kita tetaplah dia. Matteo. Dia pasti sangat marah, bukan hanya karena uangnya yang hilang, tapi juga harga dirinya yang tercabik,” jelas Isabella dengan semangat berapi-api.“Belle, Sayang… aku masih belum sepenuhnya paham.”“Suzan adalah sepupu Naomi. Dan kebetulan, Naomi juga sudah lama membenciku karena mengira aku selalu lebih beruntung darinya. Padahal…” Isabell