Share

Mencuri Ciuman

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-07-09 16:02:16

Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai jendela kamar, menerpa wajah Matteo yang masih berkerut oleh mimpi buruk. Di atas meja rias, undangan berlapis emas itu tergeletak dengan hiasan bunga peony putih—tanda tangan Ivy Ruzzo terpampang jelas dengan tinta ungu kesukaannya.

Matteo meremas kertas itu perlahan, lipatannya yang sempurna kini berubah menjadi kerutan-kerutan kecil di telapak tangannya.

“Ck! Sampai kirim undangan seperti ini!” decih  Matteo tak suka.

Sebelumnya, Ivy tidak pernah mengirim undangan resmi seperti ini karena ini bukan sebuah pesta, hanya makan malam keluarga. Namun, karena Matteo kerap kali absent jadi Ivy berinisiatif mencetak undangan khusus untuk anak tunggalnya, Matteo.

"Kita harus pergi," suara Isabella terdengar lembut dari balik pintu kamar mandi.

Ia keluar dengan handuk melilit tubuh, rambutnya masih basah meneteskan air. Di cermin, matanya menangkap bekas merah di lehernya—jejak gigitan Leonardo yang belum sepenuhnya memudar.

Matteo menghela napas. "Kau tahu bagaimana ibuku—"

"Aku tahu," Isabella memotong, jemarinya menyentuh lehernya sendiri. "Tapi jika kita tidak datang, ayahmu akan semakin mendesak soal keturunan. Atau kau lupa ancamannya minggu lalu?"

Matteo mengutuk dalam hati. Setiap pertemuan keluarga selalu menjadi medan perang tersendiri. Ivy dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menusuk:

"Kapan aku bisa menggendong cucu?"

"Sudah periksa ke dokter lagi?"

"Kalian berdua tidak serius tentang pernikahan ini!"

Dan Riccardo—ayahnya—akan duduk di ujung meja dengan tatapan dingin, seolah mengukur kegagalan Matteo sebagai seorang suami dan calon penerus bisnis keluarga.

Isabella membuka lemari pakaian, memilih gaun hitam panjang dengan lengan renda. "Hitam cocok untukku hari ini," ujarnya, tersenyum getir. Warna duka yang disengaja.

“Sepertinya Kau sudah menyiapkan jawaban untuk mereka…” tebak Matteo dengan gerakan seduktif di tubuh istrinya yang masih lembab.

“Kita jawab jujur, Matt. Kita sedang program.”

"Okay! Bersiaplah, aku akan telpon asisteriku untuk menyiapkan kado untuk Mama!" Matteo menutup percakapan dengan ciuman hangat di pelipis Isabella. Tapi sebelum aroma parfumnya sempat menghilang dari udara, suaminya sudah bergegas keluar kamar dengan langkah tegas.

Isabella menghela napas, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia mengambil coat-nya dan perlahan menyusul Matteo yang terlihat sedang memanaskan mesin Mercedes hitam mereka di halaman depan. Saat pintu mobil dibukakan untuknya, ia bisa merasakan aura berbeda yang memenuhi kabin - kehangatan tadi di kamar seolah terkunci rapat di balik pintu rumah, tergantikan oleh ketegangan yang mulai merayap di antara mereka.

Matteo menggenggam kemudi terlalu kencang hingga kulit kepalanya tampak memutih. Isabella duduk di sampingnya, diam-diam mengamati urat di tangan suaminya yang menegang, persis seperti malam ketika rahasia itu pertama kali terungkap. Udara di dalam mobil terasa semakin pengap, meski AC terus menghembuskan udara dingin.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya hati-hati, sambil menurunkan kaca jendela sedikit untuk menghirup udara segar.

Matteo tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertancap di jalanan yang semakin sepi. "Leonardo akan datang," ujarnya tiba-tiba.

Isabella menahan napas. "Aku tahu. Meskipun bukan anak kandung, dia tetap kakakmu!”"

"Aku juga tahu. Dia memang bukan orang yang gampang puas!"

Matteo menoleh sebentar, matanya gelap. "Jika kau masih mencintaiku—"

"Kita sudah melewati batas 'jika' itu, Matteo," Isabella memotong, menatap keluar jendela. Pohon-pohon cypress berlarian di sisi jalan, seperti bayangan masa lalu yang tak bisa ditangkap lagi.

Matteo hanya bisa meremas kemudi dengan kencang karena menyimpan rasa kesal dan rasanya dia sudah tidak bisa bergerak kemana-mana lagi. Dia terjebak permainannya sendiri. Kini dia harus rela berbagi istri dengan kakak angkatnya.

Villa Ruzzo sudah terlihat di kejauhan—megah, dingin, dan penuh dengan rahasia.

Ivy Ruzzo menyambut mereka di teras depan. Wanita Amerika berusia 60-an itu masih cantik dengan rambut pirang keperakan yang disanggul rapi.

"Akhirnya!" Pelukannya hangat, tapi matanya langsung menelusuri tubuh Isabella. "Kau kurus, Bella. Tidak sehat untuk calon ibu."

Isabella memaksakan senyum. "Selamat ulang tahun, Mama."

Riccardo muncul dari dalam rumah, tubuhnya tegap di balik setelan jas tailor-made. "Matteo," ucapnya singkat, anggukan kepalanya lebih mirip perintah daripada sambutan.

Dan di belakangnya—Leonardo.

Ia mengenakan setelan abu-abu yang membuat matanya yang hijau semakin mencolok. Senyum tipisnya mengembang saat melihat Isabella.

"Selamat datang, adikku... dan Belle."

Suaranya seperti madu yang dituangkan perlahan—manis, tapi bisa membuatmu tersedak.

Matteo seperti memasuki ruangan eksekusi, langkahnya berat, namun dia tak punya pilihan selain tetap masuk dan menikmati sajian makan malam.

Pesta berlangsung dengan anggur yang terus mengalir dan percakapan-percakapan palsu. Isabella merasa sesak, kerah gaunnya tiba-tiba terasa seperti jerat. Di antara gelas kristal yang bersinar dan senyum-senyum sempurna para tamu, ia menyadari kebenaran pahit yang tak pernah terpikir oleh perempuan-perempuan yang bermimpi menikahi keluarga konglomerat - bahwa hidup mewah ini hanyalah sangkar emas berlapis kepalsuan.

Dengan dalih mengambil udara, ia menyelinap ke kebun belakang dimana aroma peony bercampur dengan udara malam yang segar. Tapi kedamaiannya segera buyar...

"Belle..."

Suara itu membuatnya tersentak sebelum sepasang tangan kuat memeluknya dari belakang. Leonardo mengecup lehernya, lidahnya menyusuri bekas gigitan semalam.

"Kau gila! Ada tamu di mana-mana—"

"Justru lebih menggairahkan," bisik Leonardo, tangannya merayap ke paha Isabella di bawah gaun. "Kau sudah memikirkan malam nanti?"

Isabella ingin marah. Ingin menamparnya. Tapi tubuhnya malah mendesak ke belakang, merasakan kerasnya tubuh Leonardo.

"Aku benci kau," desis Isabella, tapi suaranya pecah menjadi rintihan ketika Leonardo mengejar denyut nadi di lehernya dengan ujung lidah. Tubuhnya bergolak—setiap sentuhan lelaki itu bagai percikan api di atas minyak, membakar perlawanannya menjadi abu.

Leonardo memutar tubuhnya dengan gerakan menguasai, tangan besarnya menelusuri tulang rusuk Isabella sebelum menenggelamkan jari-jemarinya di rambutnya. "Tubuhmu selalu jujur padaku," bisiknya, sebelum mencaplok bibir Isabella dalam ciuman yang dalam dan tak terburu-buru—seperti anggur yang dituang perlahan untuk dinikmati setiap tetesnya.

Isabella merasakan lidahnya yang panas menyapu setiap sudut mulutnya, mencuri napas dan akal sehatnya. Tangannya yang semula hendak mendorong justru mencengkeram bahu Leonardo, kukunya menancap di kain jasnya yang mahal. "Leo... hentikan—" protesnya terputus oleh helaan nafas ketika bibir lelaki itu beralih ke lehernya, menggigit ringan di tempat yang ia tahu paling sensitif.

Ketika Leonardo akhirnya menarik diri, Isabella terlihat seperti korban badai—bibirnya bengkak memerah, pupil matanya membesar, dan dadanya naik turun tak beraturan. Lelaki itu tersenyum puas sambil mengusap bekas lipstik yang tercoreng di sudut mulutnya. "Kau selalu merespon seperti ini," bisiknya kasar, "seperti bunga yang mekar hanya untuk tanganku."

Dada Isabella masih naik turun tak karuan ketika suara Leonardo yang dalam tiba-tiba menggema di dekat telinganya.

"Masih belum pulih?" Ia mendekat, napas hangatnya menyentuh kulitnya. "Atau... kau ingin aku mengulanginya?"

Isabella menahan gemuruh di jantungnya. "Jangan... jangan dekat-dekat," bisiknya, tapi tangannya justru mengepal di baju Leonardo, seolah tak mau melepas.

Dia tersenyum, tahu betul pengaruhnya padanya. "Ayo kembali ke pesta," godanya, jarinya menyelusuri pergelangan tangannya dengan gerakan memikat. "Atau kau lebih suka kita... menghilang ke tempat yang lebih sepi?"

Isabella menggigit bibir. Godaan itu nyaris tak tertahankan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Proyek Bersama

    Keesokan harinya, mereka mengadakan pertemuan darurat dengan Luca dan Antonio.Isabella dan Leonardo sudah memiliki kesepakatan bahwa mereka akan saling mendukung apapun nanti hasilnya."Giovanni Rossi?" Luca mencemooh. "Dia akan mengubah 'Radici e Ali' menjadi mall mewah! Kalian berdua benar akan menolaknya.""Tapi kita tetap butuh dana," ingat Antonio yang kini sudah mulai bekerja di divisi keuangan perusahaan Leonardo. "Renovasi gedung di Milan saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit."Isabella tiba-tiba tersenyum. "Aku punya ide. Bagaimana kalau kita tidak mencari satu investor besar, tapi banyak investor kecil?"Bicara soal uang sebenarnya Isabella dan Leonardo tidak kekurangan uang. Mereka bisa membiayai proyek itu sendirian bahkan tanpa campur tangan investasi dari manapun. Hanya saja, dia memiliki pemikiran lain."Seperti crowdfunding?" tanya Leonardo."Lebih dari itu," jelas Isabella. "Kita buat program 'Komunitas Pemilik Impian'. Kita undang seniman lokal, pengrajin, bahka

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Impian dan Ambisi

    Ternyata hidup slow living bukanlah gaya Leonardo dan juga Isabella. Mereka masih saja terpikir dengan impian-impian tertundanya.Sudah memiliki LaBelle tapi dia memiliki impian yang lain yang ingin diwujudkan. Jika, orang mengatakan ini adalah ambisi maka Isabella mengatakan ini bukan ambisi ini hanya impian.Impian dan ambisi adalah dua hal yang berbeda,Ambisi akan membuat orang cenderung melakukan segala cara untuk mewujudkannya sedangkan impian adalah sesuatu yang ingin diwujudkan jika memang mampu.Impian dia setelah Labelle adalag Radici e Ali.Pertemuan pertama perencanaan “Radici e Ali” diadakan di perpustakaan villa. Luca dan Antonio hadir sebagai penasihat, sementara Francesco bertindak sebagai penasehat hukum.“Aku rasa ini ide gila yang brilliant!” sahut Luca antusias. “Tapi lokasinya? Menurutku harus di Florence. Jantungnya Renaissance.”“Tidak,” bantah Isabella halus. “Harus di Milan. Ibukota fashion. Di sinilah semua mata tertuju.”“Tapi suasana Tuscan lebih cocok deng

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Pernikahan Antony

    Udara di Tuscan di musim semi mulai hangat, namun mendekati bulan April mulai menghangat Leandro dan Givendra main kejar-kejaran di taman dengan bebas tanpa baju hangat, kulit mereka sampai kemerahan."babies...." teriak Isabella mencakup keduanya. Kadang sangat kesusahan memanggil nama mereka satu persatu.Boca dua tahun itu berlomba mendekati Mamanya yang sudah menunggu di ambang pintu."Mama...apakah ulang tahunku nanti aku dapat kado dari Mama dan Papa?" tanya Givendra sambil membenahi rambut coklatnya yang menutupi separuh wajahnya.Isabella menggandeng tangan keduanya, "tentu, jika kalian menurut dan tidak buat keributan di pernikahan Paman Tony dan Bibi Clara nanti."Setelah peristiwa itu, Isabella sengaja menjodohkan Clara asistennya dengan Tony, setelah dua bulan mereka dekat mereka memutuskan untuk bertunangan kemudian menikah. Semua berjalan dengan sangat cepat."Kita akan pergi ke Milan?" Leandro bertanya lagi."Iya...kalian sudah menanyakan ini lebih dari tiga kali sama M

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Pengorbanan dan Pengampunan

    Dengan refleks yang mengandalkan naluri, Antonio yang baru saja terbebas dari ikatannya mendorong Leonardo dengan sekuat tenaga. DOR! Peluru yang seharusnya menembus dada Leonardo, kini bersarang di pundak Antonio."ANTONIO!" teriak Leonardo, menangkap tubuh sepupunya yang terhuyung.Fokus Leonardo langsung terpecah beberapa detik, semua ini persis janji mereka semasa kecil akan saling menjaga. Luca langsung menembak kaki Lombardi, menjatuhkan pria itu dengan cepat. Polisi segera mengamankan Lombardi yang kini menjerit kesakitan."Leo..." desis Antonio, wajahnya memerah menahan nyeri. "Aku... tebus... kesalahanku..."Ucapan itu tidak lantas membuat Leonardo tenang, akan tetapi membuatnya merasa bersalah. Dalam hubungan saudara perselisihan kerap terjadi asal bisa diselesaikan dengan kepala dingin kenapa harus dengan kekerasan."Jangan bicara," potong Leonardo, menekan luka di pundak Antonio untuk menghentikan pendarahan. "Kau akan baik-baik saja."Isabella bergegas mencari pertolonga

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Jebakan di Gudang Tua

    Mobil van hitam melaju cepat menuju pinggiran Milan. Di dalamnya, Leonardo duduk di antara Luca dan anggota tim keamanan lainnya. Senyap yang tegang menyelimuti mereka, hanya terdengar suara mesin dan napas yang tertahan."Kita hampir sampai," bisik Luca, matanya tak lepas dari tablet yang menunjukkan denah gudang. "Menurut informasi Marco, Antonio dikurung di lantai dua."Leonardo mengangguk, tangannya mengepal erat. "Aku harap Antonio baik-baik saja."“Sebenarnya kamu tidak usah ikut dalam operasi ini, Leo! Kami bisa atasi” ucap Luca.“Ini Antonio, dia satu-satunya keluargaku yang masih ada Luca”"Tim kedua sudah bersiap di markas Lombardi," tambah Luca. "Begitu kita dapat konfirmasi Antonio aman, mereka akan menyerahkan semua bukti ke polisi."Mobil berhenti beberapa ratus meter dari gudang. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki, menyusup melalui semak-semak yang lebat. Gudang tua itu tampak angker, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela pecah.Luca memberi isyarat, dan t

  • Terjerat Obsesi Kakak Ipar   Pengakuan

    "Aku adalah Marco," jawab suara itu, kali ini terdengar lebih manusiawi. "Aku bekerja untuk Lombardi selama sepuluh tahun, sampai ibumu menyelamatkan nyawa anakku."Leonardo terduduk, mencoba mencerna informasi itu. "Ibu... menyelamatkan anakmu?"Sekali lagi, Leonardo mencoba mengingat-ingat kalau di masa lalu Ivy pernah bercerita tentang Marco, Lombardi atau siapapun tapi sekeras apapun dia berusaha mengingat, ingatan itu tak kunjung datang."Ya," suara Marco bergetar. "Anakku butuh operasi jantung. Lombardi menolak membiayainya, tapi ibumu... dia membayar semuanya tanpa bertanya. Bahkan mengunjungi kami di rumah sakit."Yang Leonardo tahu, Ivy dulu semasa hidup memang menjadi donatur tetap sebuah rumah sakit jantung bahkan dia meminta Isabelle melanjutkannya. Tapi menolong seorang anak? Hm…Leonardo tidak tahu.Isabella mendekat, matanya penuh pertanyaan. Leonardo mengaktifkan speakerphone."Kalau kau bersimpati pada kami, mengapa kau masih bekerja untuk Lombardi?" tanya Isabella."K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status