LOGINPancuran air masih mengalir deras ketika Isabella menekan tangan ke dinding kamar mandi, tubuhnya berguncang oleh isak tangis yang tertahan.
Di balik suara air, tercium sisa aroma kayu sandalwood dan seks yang masih menempel di kulitnya—bau Leonardo. Tangannya menggosok kulit dengan kasar, mencoba menghilangkan jejak lelaki itu, tapi yang terhapus hanya lapisan permukaan. Kenangan tentang bagaimana tubuhnya merespons setiap sentuhan Leonardo tetap membara di bawah sadarnya.
"Bajingan," Isabella mendesis, meninju dinding marmer hingga buku-buku jarinya memar.
“Aku benci diriku sendiri! Aku benci diriku sendiri!” tangisnya pecah di antara guyuran air shower yang membasahi tubuhnya.
Di luar, suara benda pecah berdentang dari ruang kerja lantai bawah. Suara Matteo yang mengamuk.
Dentuman keras mengguncang rumah. Suara kristal pecah berhamburan dari ruang kerja lantai bawah, diikuti teriakan Matteo yang melengking penuh amarah. Isabella membeku, air dingin mengalir di punggungnya yang merinding. Suara itu—suara yang sama yang dulu membuatnya jatuh cinta, suara hangat yang selalu memanggilnya "principessa"—kini berubah menjadi cemoohan menyakitkan yang menghancurkan sisa-sisa harga dirinya.
Dengan nafas tersengal dan pandangan berkunang-kunang oleh amarah, Matteo menghantamkan pintu mobil Mercedes hitamnya. Rasa cemburu yang membara bercampur dengan getir kekalahan menggerogoti dadanya.
Tangannya yang gemetar memutar kunci kontak dengan kasar. Mesin V8 meraung keras ketika ia menginjak gas dalam-dalam, ban berdecit di aspal sebelum mobil melesat seperti anak panah di kegelapan malam.
Kecepatan terus ia tingkatkan - 80 km/jam... 100... 120 - melebihi semua batas yang wajar. Jalanan yang sepi menjadi samar dalam pandangannya yang kabur oleh air mata. Setiap tikungan ia sergap dengan brutal, hampir kehilangan kendali beberapa kali.
Dalam kabin yang pengap, bayangan Isabella dan Leonardo terus menghantuinya. Tangannya mencengkeram kemudi sampai buku-buku jari memutih. "Bangsat!" teriaknya, menghantam kemudi dengan telapak tangan yang gemetar.
Tidak sampai sepuluh menit - rekor waktu yang mustahil untuk jarak yang biasanya ditempuh 30 menit - Mercedes hitamnya berhenti mendadak di depan rumah Leonardo, ban mengeluarkan suara jeritan panjang di jalanan. Matteo melompat keluar, wajahnya merah padam, dengan langkah-langkah besar menuju pintu rumah yang ia kenal terlalu baik.
Dengan satu tendangan keras, pintu kayu mahoni itu terbanting terbuka. "LEONARDO!" raungnya, suaranya pecah antara amarah dan kepedihan. Di rumah mewah itu, hanya gema yang menjawabnya pertama kali, sebelum akhirnya langkah kaki terburu-buru terdengar dari lantai atas.
Matteo mendatangi rumah Leo setelah adu mulut dengan Isabella, dia merasa menyesal telah menuduh dan memarahi Isabella. Bagaimanapun juga wanita itu Matteo sangat mencintai Isabella. Itu alasan dia dulu menentang orang tuanya untuk menolak perjodohan dengan salah satu anak bangsawan dagang di Venice demi menikahi Isabella, seorang mahasiswi lulusan terbaik dari Instituto Marangoni, yang merupakan salah satu sekolah fashion tertua dan bergengsi di Florence.
Dalam kasus ini yang patut disalahkan adalah Leonardo, karena dia sudah melenceng dari perjanjian awal mereka. ‘Menyumbangkan Benih’ bukan bercinta dalam arti yang sesungguhnya.
Matteo mendapati Saudara angkatnya di ruang kerja yang sedang duduk santai sambil menikmati Whiskey di tangannya.
“Kenapa teriak-teriak, Matt?” Tanya Leonardo dengan nada suara yang rendah.
“Karena aku ingin membunuh dan memukuli bajingan seperti kamu, Leo!” gertaknya yang kemudian diikuti dengan Matteo menghancurkan segelas whiskey di dinding ruang kerjanya ketika Leonardo masuk dengan santai, seolah sudah menunggu untuk dihadang.
"Kau pikir Isabella pelacur?!" Matteo menyerang, meninju Leonardo yang dengan gesit menghindar.
“Hey…kenapa kau marah-marah begini, Matt? Seharusnya Kau berterima kasih padaku. Kau ini benar-benar tak tahu terima kasih!” tuduh Leonardo kesal.
“Terima kasih, katamu? Apa aku harus berterima kasih padamu yang sudah menikmati tubuh istriku dengan seenaknya? Kau pikir Isabella pelacur?”
"Tentu saja bukan," Leonardo menyeka pecahan kaca dari bahunya. "Dia wanita yang patut dirayakan—dan itu yang kulakukan." Senyumnya lebar, sengaja memamerkan bekas gigitan Isabella di lehernya.
Matteo menghempaskan dokumen ke meja. "Kita sepakat kau hanya memberikan sperma, bukan bercinta seperti binatang!"
"Aku lelaki normal, Matt," Leonardo duduk di kursi kulit, kaki disilangkan. "Sangat bodoh kalau aku tidak menikmati tubuhnya."
Terlihat kobaran emosi dari sorot mata Matteo mendengar jawaban Leonardo.
“Dia sangat indah, Matt! Kamu gila membiarkan lelaki lain menikmati tubuh istrimu yang sangat indah itu! Sepertinya aku mulai kecanduhan terus menginginkannya!”
“BIADAB!!”
“BUG”
Umpatan beserta pukulan mendarat di wajah tampan Leonardo, lumayan sakit karena Matteo melakukannya segenap tenaga. Tapi, Leonardo hanya menggosoknya pelan.
“Cari wanita di luar sana, beli jalang untuk memuaskanmu, jangan sentuh istriku!”
“Nggak, Matt! Kamu tahu aku tidak sembarangan tidur dengan wanita. Aku ini termasuk lelaki yang melankonlis, hanya bisa tidur dengan wanita yang aku cintai”
"Jangan pernah dekati Isabella lagi!" Matteo meninju meja.
Leonardo tak menjawab langsung dia tersenyum, senyum yang tak dapat Matteo artikan. Tangan kanannya menepuk bahu kanan Matteo pelan.
"Ayahmu yang memintaku 'memberi contoh' padamu," bisik Leonardo.
“Tapi bukan meniduri istriku, bangsat!” Matteo masih berbicara penuh emosi.
"Kau berpikir ingin menjadikan aku alat, Matt. Kamu lupa, Matt. Di kartu keluarga aku ini Kakakmu walau kita tidak sedarah, dan pengalamanku lebih banyak darimu. Jadi kamu sekarang harus hati-hati!!"
“Kamu……” Matteo mau melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Leonardo tapi urung.
“Ayahmu belum tahu tentang hal ini, bukan? Jadi rahasiamu aman di tanganku, asal aku masih bisa bertemu Isabella!”
Matteo pucat.
“Tidak! Aku gak biarin kamu ketemu dia lagi!”
"Bagaimana kalau dia belum hamil?" tanya Leonardo dingin.
"Berarti benihmu sampah!"
Leonardo tertawa. "Lalu? Mau cari donor lain? Riskan rahasia keluarga terbongkar?" Dia berdiri, menatap Matteo dari atas. "Kau butuh aku, Matt. Dan Isabella... dia butuh seseorang yang membuatnya menjerit."
"Besok malam aku akan datang lagi, naik ke ranjangmu," kata Leonardo berbisik. "Dan kau akan biarkan kami berkreasi semau kami—untuk kepentingan keluarga."
Tangan Matteo mengepal kuat. Egonya benar-benar dipermainkan oleh Leonardo.
Keesokan harinya, mereka mengadakan pertemuan darurat dengan Luca dan Antonio.Isabella dan Leonardo sudah memiliki kesepakatan bahwa mereka akan saling mendukung apapun nanti hasilnya."Giovanni Rossi?" Luca mencemooh. "Dia akan mengubah 'Radici e Ali' menjadi mall mewah! Kalian berdua benar akan menolaknya.""Tapi kita tetap butuh dana," ingat Antonio yang kini sudah mulai bekerja di divisi keuangan perusahaan Leonardo. "Renovasi gedung di Milan saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit."Isabella tiba-tiba tersenyum. "Aku punya ide. Bagaimana kalau kita tidak mencari satu investor besar, tapi banyak investor kecil?"Bicara soal uang sebenarnya Isabella dan Leonardo tidak kekurangan uang. Mereka bisa membiayai proyek itu sendirian bahkan tanpa campur tangan investasi dari manapun. Hanya saja, dia memiliki pemikiran lain."Seperti crowdfunding?" tanya Leonardo."Lebih dari itu," jelas Isabella. "Kita buat program 'Komunitas Pemilik Impian'. Kita undang seniman lokal, pengrajin, bahka
Ternyata hidup slow living bukanlah gaya Leonardo dan juga Isabella. Mereka masih saja terpikir dengan impian-impian tertundanya.Sudah memiliki LaBelle tapi dia memiliki impian yang lain yang ingin diwujudkan. Jika, orang mengatakan ini adalah ambisi maka Isabella mengatakan ini bukan ambisi ini hanya impian.Impian dan ambisi adalah dua hal yang berbeda,Ambisi akan membuat orang cenderung melakukan segala cara untuk mewujudkannya sedangkan impian adalah sesuatu yang ingin diwujudkan jika memang mampu.Impian dia setelah Labelle adalag Radici e Ali.Pertemuan pertama perencanaan “Radici e Ali” diadakan di perpustakaan villa. Luca dan Antonio hadir sebagai penasihat, sementara Francesco bertindak sebagai penasehat hukum.“Aku rasa ini ide gila yang brilliant!” sahut Luca antusias. “Tapi lokasinya? Menurutku harus di Florence. Jantungnya Renaissance.”“Tidak,” bantah Isabella halus. “Harus di Milan. Ibukota fashion. Di sinilah semua mata tertuju.”“Tapi suasana Tuscan lebih cocok deng
Udara di Tuscan di musim semi mulai hangat, namun mendekati bulan April mulai menghangat Leandro dan Givendra main kejar-kejaran di taman dengan bebas tanpa baju hangat, kulit mereka sampai kemerahan."babies...." teriak Isabella mencakup keduanya. Kadang sangat kesusahan memanggil nama mereka satu persatu.Boca dua tahun itu berlomba mendekati Mamanya yang sudah menunggu di ambang pintu."Mama...apakah ulang tahunku nanti aku dapat kado dari Mama dan Papa?" tanya Givendra sambil membenahi rambut coklatnya yang menutupi separuh wajahnya.Isabella menggandeng tangan keduanya, "tentu, jika kalian menurut dan tidak buat keributan di pernikahan Paman Tony dan Bibi Clara nanti."Setelah peristiwa itu, Isabella sengaja menjodohkan Clara asistennya dengan Tony, setelah dua bulan mereka dekat mereka memutuskan untuk bertunangan kemudian menikah. Semua berjalan dengan sangat cepat."Kita akan pergi ke Milan?" Leandro bertanya lagi."Iya...kalian sudah menanyakan ini lebih dari tiga kali sama M
Dengan refleks yang mengandalkan naluri, Antonio yang baru saja terbebas dari ikatannya mendorong Leonardo dengan sekuat tenaga. DOR! Peluru yang seharusnya menembus dada Leonardo, kini bersarang di pundak Antonio."ANTONIO!" teriak Leonardo, menangkap tubuh sepupunya yang terhuyung.Fokus Leonardo langsung terpecah beberapa detik, semua ini persis janji mereka semasa kecil akan saling menjaga. Luca langsung menembak kaki Lombardi, menjatuhkan pria itu dengan cepat. Polisi segera mengamankan Lombardi yang kini menjerit kesakitan."Leo..." desis Antonio, wajahnya memerah menahan nyeri. "Aku... tebus... kesalahanku..."Ucapan itu tidak lantas membuat Leonardo tenang, akan tetapi membuatnya merasa bersalah. Dalam hubungan saudara perselisihan kerap terjadi asal bisa diselesaikan dengan kepala dingin kenapa harus dengan kekerasan."Jangan bicara," potong Leonardo, menekan luka di pundak Antonio untuk menghentikan pendarahan. "Kau akan baik-baik saja."Isabella bergegas mencari pertolonga
Mobil van hitam melaju cepat menuju pinggiran Milan. Di dalamnya, Leonardo duduk di antara Luca dan anggota tim keamanan lainnya. Senyap yang tegang menyelimuti mereka, hanya terdengar suara mesin dan napas yang tertahan."Kita hampir sampai," bisik Luca, matanya tak lepas dari tablet yang menunjukkan denah gudang. "Menurut informasi Marco, Antonio dikurung di lantai dua."Leonardo mengangguk, tangannya mengepal erat. "Aku harap Antonio baik-baik saja."“Sebenarnya kamu tidak usah ikut dalam operasi ini, Leo! Kami bisa atasi” ucap Luca.“Ini Antonio, dia satu-satunya keluargaku yang masih ada Luca”"Tim kedua sudah bersiap di markas Lombardi," tambah Luca. "Begitu kita dapat konfirmasi Antonio aman, mereka akan menyerahkan semua bukti ke polisi."Mobil berhenti beberapa ratus meter dari gudang. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki, menyusup melalui semak-semak yang lebat. Gudang tua itu tampak angker, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela pecah.Luca memberi isyarat, dan t
"Aku adalah Marco," jawab suara itu, kali ini terdengar lebih manusiawi. "Aku bekerja untuk Lombardi selama sepuluh tahun, sampai ibumu menyelamatkan nyawa anakku."Leonardo terduduk, mencoba mencerna informasi itu. "Ibu... menyelamatkan anakmu?"Sekali lagi, Leonardo mencoba mengingat-ingat kalau di masa lalu Ivy pernah bercerita tentang Marco, Lombardi atau siapapun tapi sekeras apapun dia berusaha mengingat, ingatan itu tak kunjung datang."Ya," suara Marco bergetar. "Anakku butuh operasi jantung. Lombardi menolak membiayainya, tapi ibumu... dia membayar semuanya tanpa bertanya. Bahkan mengunjungi kami di rumah sakit."Yang Leonardo tahu, Ivy dulu semasa hidup memang menjadi donatur tetap sebuah rumah sakit jantung bahkan dia meminta Isabelle melanjutkannya. Tapi menolong seorang anak? Hm…Leonardo tidak tahu.Isabella mendekat, matanya penuh pertanyaan. Leonardo mengaktifkan speakerphone."Kalau kau bersimpati pada kami, mengapa kau masih bekerja untuk Lombardi?" tanya Isabella."K







