Tepat pukul lima pagi bel apartemen Kikan berbunyi. Semalaman suntuk Kikan tidak bisa tidur sebab ia tidak bisa menghubungi Manda karena ponselnya tertinggal di kelab malam. Kikan segera berlari menuju pintu dan mendapati Manda berdiri di baliknya.
“Manda, syukurlah kamu ke mari,” ucap Kikan lalu membawa Manda masuk ke dalam.Manda melangkah dengan kedua mata yang sangat mengantuk. Sekujur tubuhnya juga terasa sangat lelah. Namun wanita itu tersenyum dengan begitu lebar sebab di dalam tasnya terdapat banyak uang tunai. Tidak sia-sia semalaman ia habiskan untuk menari dan menemani para pria kaya itu duduk minum.“Kikan, aku merasa sangat penasaran kenapa pria itu membawa kamu pergi. Tapi sekarang aku sangat mengantuk dan pengen tidur.” Manda melangkah menuju kamar Kikan. Kedua matanya sudah tidak bisa menahan rasa kantuk yang sedari tadi menyerang.Kikan memapah Manda menuju kamarnya lalu merebahkan sahabat baiknya itu ke atas ranjang. “Sekarang kamu tidur dulu. Aku akan menceritakannya nanti saat kamu bangun,” ujarnya dengan suara lembut.Tubuh Manda mendarat sempurna di atas ranjang Kikan yang hanya berukuran single size itu.“Aku akan membantu kamu menghapus make up,” kata Kikan lantas meraih micellar water dan beberapa kapas untuk wajah.Kikan menatap Manda yang sekarang sudah tertidur dengan pulas. Matanya menatap prihatin. Sementara tangannya mulai mengusapkan kapas yang sebelumnya dibasahi dengan micellar water ke seluruh permukaan wajah Manda.“Maafin aku ya, Manda. Gara-gara aku kamu harus melalui hal seperti ini.”Kikan tidak bisa menahan kekecewaannya terhadap dirinya sendiri. Meski Manda tidak suka jika Kikan menyalahkan dirinya seperti ini. Namun Kikan tidak bisa menutup mata jika ia telah menyeret sahabatnya sendiri ke dalam lubang penderitaan.Dalam sekejap air mata Kikan sudah menggenang memenuhi pelupuk matanya. Dari sini Kikan dapat mencium aroma alkohol yang begitu kuat menguar dari tubuh Manda. Dan air mata itu seketika menetes saat kedua matanya melihat tanda merah di leher Manda.Dengan kedua tangan yang bergetar Kikan memberanikan diri untuk menyingkap kerah baju Manda. Dalam hatinya mati-matian memanjatkan doa semoga apa yang dia pikirkan tidak terjadi. Namun kenyataan telah menghempas Kikan dalam hitungan detik, ia menemukan banyak tanda merah di sekitar dada sahabatnya.Kikan mendadak emosional. Pikirannya tiba-tiba berserabut menjadi satu. Dengan cepat Kikan memungut kapas yang berserakan lalu melangkah keluar dari kamar.“Ya Tuhan, Manda ....” Kikan jatuh merosot di depan pintu kamarnya. Menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan agar suara tangisnya tidak pecah keluar.Kikan semakin menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada Manda. Hatinya terasa sangat nyeri dan juga sakit. Seolah ada bilah sembilu yang terus menusuk-nusuk di sana.Cukup lama Kikan terduduk di depan pintu kamar sembari menangis menyalahkan diri. Hingga sebuah suara dari dalam kamar harus membuatnya berhenti menangis. Manda memanggilnya untuk meminta sahabatnya itu membawakan air minum.“Kikan, bisa ambilkan minum nggak? Aku haus banget,” teriak Manda dengan suara yang melantur. Matanya masih tertutup rapat.“Iya, tunggu sebentar. Aku akan membawakannya untuk kamu,” sahut Kikan segera beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air.Kikan menyeka kedua pipinya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar untuk memberikan segelas air putih kepada Manda. Beruntung Manda tidak membuka matanya sehingga Kikan tidak perlu khawatir sahabatnya itu akan bertanya mengapa ia menangis.“Apa kamu juga lapar? Mau kumasakin sesuatu nggak?”Manda menggelengkan kepala sementara kedua matanya masih terpejam rapat. “Aku mau makan mie sama telor ceplok,” sahutnya.Kedua kening Kikan sontak bertaut. Manda menggelengkan kepalanya tetapi mulutnya mengatakan ia ingin mie goreng dengan telur ceplok. Bukankah itu berlawanan?“Ya sudah, aku masakin mie goreng dengan telor ceplok buat kamu.” Kikan gegas beranjak dari posisinya. Melangkah keluar dari kamar untuk menuju dapur lagi.Setibanya di dapur yang tak seberapa luas itu, Kikan membuka kabinet atasnya untuk mengambil sebungkus mie goreng dan mengambil satu butir telur serta satu ikat sayur sawi di dalam kulkas. Dengan cekatan kedua tangannya memasak mie goreng dan telur itu. Hingga tak berselang lama kemudian mie goreng dengan telur ceplok berhasil ia hidangkan di atas piring.Kikan membawa mie goreng dengan telur ceplok ke dalam kamarnya untuk diberikan kepada Manda. Sahabatnya itu masih tertidur pulas. Manda bahkan tidur dalam keadaan mulut menganga.“Kamu pasti lelah banget,” gumam Kikan kemudian memutuskan untuk membangunkan Manda. “Manda, bangun. Mie gorengnya udah jadi nih.”Manda memaksa kedua matanya untuk terbuka saat aroma lezat dari mie goreng menyeruak masuk ke hidungnya. “Ah, perutku laper banget. Tapi mataku terlalu mengantuk sekarang,” cicitnya dengan mata yang sebentar terbuka, sebentar tertutup.Kikan tersenyum simpul melihat ulah sahabatnya itu. “Ya sudah, sini aku suapin,” ujarnya lantas meminta Manda untuk segera membuka mulutnya.Dengan kedua mata yang terpejam rapat, Manda membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Kikan. Persetan dengan kata jorok sebab Manda makan mie goreng itu dalam keadaan belum menggosok giginya. Biarlah, Manda terlalu mengantuk tetapi perutnya juga sangat lapar.Suapan demi suapan Kikan berikan kepada Manda. Hingga mie goreng beserta telur ceplok itu telah habis berpindah ke dalam perut Manda, Kikan tersenyum semringah melihatnya.“Oh iya, Kikan. Kudengar pria yang menyeret kamu keluar tadi malam itu namanya Dewa. Apa kamu mengenalnya?” Manda tiba-tiba membuka matanya. “Ada apa dengan matamu? Kamu menangis?” lanjutnya menanyai saat mendapati mata sembap Kikan.Kikan lantas menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Manda. “Aku nggak kenal sama dia. Kurasa dia salah mengenaliku sebagai orang lain,” sahutnya tanpa menjawab pertanyaan kedua dari Manda.“Oh ya? Kamu yakin kalian nggak saling kenal? Dia membayar semua bagian kamu secara penuh loh, Kikan. Atau jangan-jangan kamu melakukan pekerjaan kamu saat dia membawamu tadi malam? Kamu menari di depan dia—”“Aku nggak menari di depan dia, Manda! Aku langsung diantar pulang saat dia menyeretku keluar dari kelab itu.” Kikan memotong ucapan sahabatnya dengan cepat. Ia tidak mau Manda berpikiran macam-macam.Manda menggaruk kepalanya. Kemudian meraih tas miliknya untuk mengambil amplop berisi bayaran Kikan dari pria bernama Dewa itu. “Nih, Adelia menitipkan ini. Katanya itu bayaran kamu dari Dewa.”Kikan tidak langsung menerima amplop berisi sejumlah uang tunai yang Manda berikan. Rasanya salah saja jika ia menerima padahal ia tidak melakukan apa-apa. Terlebih lagi Kikan melihat amplop tersebut lebih tebal dari amplop milik Manda.“Aku nggak bisa menerimanya. Aku harus dibayar kalau aku melakukan sesuatu. Tapi masalahnya aku nggak melakukan apa-apa, jadi untuk apa dia membayar?”Kedua mata Manda langsung membulat sempurna. Manda sangat yakin jika uang di dalam amplop itu dua kali lipat lebih banyak dari yang ia terima. Itu artinya mereka bisa membayar iuran selama beberapa bulan ke depan tanpa harus bekerja keras lagi.“Ayolah, Kikan. Kalau kamu kembalikan uangnya, ‘kan sayang. Kita bisa membayar iuran selama beberapa bulan dengan uang itu. Pikirkan lagi ya,” ucap Manda dengan suara memelas. Ia tidak bisa membiarkan Kikan mengembalikan segepok uang tunai itu kepada Dewa.Meski yang dikatakan Manda ada benarnya. Namun tetap saja Kikan tidak bisa menerima uang tersebut. Kikan merasa jika menerima uang itu adalah hal yang salah.“Aku akan tetap mengembalikannya, Manda. Aku nggak mau menerima uang dari orang asing, apalagi—”“Orang asing? Tapi kata Adelia, Dewa bilang dia mengenal kamu.”Dewandra masih terus memikirkan pertemuannya dengan Kikan tadi malam. Dan bagaimana wanita itu bersikeras jika mereka tidak saling kenal benar-benar mengganggu pikirannya. Terlebih lagi sekarang wanita itu bekerja di kelab malam, Dewandra merasa Kikan sungguh keterlaluan.“Apa benar aku salah mengenali orang? Tapi aku sangat yakin jika wanita itu adalah Kikan! Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya meski sekian tahun telah berlalu. Ini tidak benar, aku harus mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.”Dewandra atau yang lebih sering dipanggil Dewa itu segera meraih ponselnya untuk menghubungi sekretarisnya. Dewa perlu tahu yang sebenarnya terjadi, maka dari itu ia ingin sekretarisnya itu mencari tahu apa yang terjadi dengan Kikan si mantan istrinya itu.Tidak perlu waktu lama hingga panggilan Dewa bersama sekretarisnya berhasil tersambung. Terdengar suara sang sekretaris yang masih sangat mengantuk di seberang telepon.“Halo, Pak Dewa?” sapa Chiko dengan suara mengantuknya.Dewa membetu
Setelah kehilangan pekerjaannya karena sebuah kesalahpahaman. Sekarang Kikan telah resmi menjadi seorang pengangguran. Padahal pekerjaan itu sudah susah payah ia dapatkan. Sekarang usianya hampir menginjak angka tiga puluh tahun. Seperti yang Kikan tahu, tidak banyak peluang yang dia miliki untuk mendapatkan pekerjaan impian. Syukur-syukur kalau dia segera mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat ini. Kikan menghela napas berat. Salah satu tangannya terulur merogoh dompet di dalam tas untuk menghitung ada berapa lembar lagi rupiah yang tersisa. Apakah akan cukup untuknya bertahan hingga mendapatkan pekerjaan baru atau tidak? “Astaga, uang ini mungkin hanya akan bertahan sampai akhir pekan saja.” Helaan napas Kikan semakin berat. Saat kepalanya terasa begitu pening luar biasa, kedua netra Kikan tak sengaja menangkap sebuah amplop berwarna cokelat yang cukup tebal berada di dalam tasnya. Benar juga! Kikan belum mengembalikan uang yang Dewa titipkan kepada Adelia yang katanya sih untuk
Kikan tidak tahu harus bereaksi seperti apa usai mendengar semua cerita dari Terry. Ternyata hubungan mereka tidak ‘biasa saja’ seperti yang Kikan pikir. Bagi Terry, Kikan adalah penyelamatnya. Sama seperti Kikan yang menganggap Manda adalah penyelamat hidupnya. Pantas saja wanita itu terlihat sangat gembira dan bahkan bersyukur saat mereka bertemu kembali. “Aku mungkin nggak akan bisa hidup sampai sekarang kalau saja waktu itu kamu nggak menyelamatkan aku. Cuman kamu satu-satunya yang menganggapku sebagai manusia dan mau berteman sama aku.” Kehidupan semasa Sekolah Menengas Atas adalah kehidupan yang paling berat untuk Terry. Memiliki ibu yang merupakan seorang wanita penghibur dan pemuas nafsu para lelaki merupakan suatu hal yang sangat membebani Terry. Tidak ada yang mau berteman dengannya dan bahkan mereka memperlakukan Terry seolah ia bukan manusia. Tapi hal yang berbeda Kikan lakukan. Wanita itu justru menerima Terry tanpa menghakimi sama sekali. Sejak saat itulah Kikan adala
Seperti yang sudah Kikan janjikan kepada Terry bahwa ia akan datang tepat waktu hari ini. Dengan semangat yang begitu menggebu, Kikan berdiri di samping Terry yang sedari tadi menjelaskan dengan begitu rinci hal-hal apa saja yang harus wanita itu lakukan semasa bekerja di cafe ini. “Di sini sistem kerjanya terbagi menjadi dua shift. Kemudian pukul sembilan malam cafe sudah benar-benar harus tutup, jadi kita nggak akan menerima orderan lagi setengah jam sebelum itu apapun alasannya.” Kikan mengangguk paham. Semua hal yang Terry jelaskan dan ajarkan kepadanya secara kilat dapat Kikan pahami dengan begitu mudah. “Sepertinya kamu sudah paham. Kalau gitu, mau sarapan bareng nggak? Kamu pasti belum sarapan ‘kan?” Terry berani bertaruh jika Kikan tidak sempat sarapan sebelum datang ke mari. Dan sebenarnya asumsi Terry sama sekali tidak salah. Kikan memang belum sarapan untuk mengisi perutnya yang bahkan terasa sangat lapar sekarang. Bagaimana wanita itu tidak kelaparan jika sejak tadi ma
Lonceng yang terpasang di pintu cafe berbunyi saat seseorang mendorong pintu itu hingga terbuka. Detik berikutnya muncul sosok pria yang begitu tinggi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya dan berjalan masuk hingga ke dalam. Kikan merasa seolah waktu berjalan dengan sangat lambat saat kedua matanya menangkap sosok yang begitu tinggi dan rupawan itu. Pria itu, di mana Kikan pernah melihatnya? Benarkah dia manusia dan bukan malaikat maut yang ingin mencabut nyawa nya? “Kikan?” seru pria itu. Kening Kikan sedikit berkerut. Rasa-rasanya suara ini pernah ia dengar sebelumnya di suatu tempat. Tapi di mana? “Akhirnya kita bertemu di tempat yang pantas. Senang melihatmu berada di sini daripada kelab malam.” Ah benar juga! Kelab malam! Kikan seketika bisa mengingat pertemuan mereka saat pria itu menyinggung soal kelab malam. Dia ‘kan pria yang sama yang tiba-tiba menyeretnya keluar dari ruangan lalu memarahinya seolah mereka saling kenal. Yup! Pria jangkung nan rupawan yang berdiri di
Kikan menarik napas sedalam mungkin sementara kedua matanya terpejam dengan rapat. Di telinganya masih terngiang suara Dewandra yang melontarkan pertanyaan yang mampu membuat wanita itu jengkel setengah mati. Sebisa mungkin Kikan mengendalikan emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. “Apa dia sudah nggak waras? Kenapa dia terus bersikap dan melontarkan pertanyaan yang membuatku nggak nyaman?” Kikan mendengus sebal bersamaan dengan kedua matanya yang dibuka perlahan. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kepanasan. Kikan tidak mengerti, kenapa setiap kali bertemu dengan Dewandra ia selalu dibuat kesal? Apa salah Kikan sebenarnya? “Bukankah pertanyaannya semacam itu termasuk lancang? Nggak seharusnya dia bertanya soal itu kepada orang asing, ‘kan?” Kikan semakin dibuat bingung. “Apanya yang lancang?” Kikan terkesiap dan langsung memutar tubuhnya ke belakang saat suara seseorang memasuki indra pendengarannya. Kikan tidak berpikir akan ada orang lain di sini selain dirinya. “Arman ...,”
Di ruangannya, Dewandra yang baru saja selesai dari sebuah rapat penting menghempaskan diri di kursi kerjanya. Kedua matanya tak sengaja menangkap sebuah map yang nampak asing. Kemudian ia tiba-tiba teringat dengan laporan yang Chiko bicarakan tadi pagi, lantas pria itupun segera meraih map tersebut lalu membukanya. Dengan cermat Dewandra membaca satu per satu baris kalimat yang tertuang di sana. Tatapannya nampak begitu serius. Bahkan bisa dikatakan bahwa sekarang pria itu merasa tegang sekaligus terkejut dalam waktu bersamaan. “Pantas saja dia bersikeras tidak mengenalku. Rupanya dia kehilangan ingatannya.” Pria itu bergumam pelan saat netranya menangkap baris kalimat yang melaporkan tentang insiden kecelakaan yang dialami Kikan. Selama ini Dewandra selalu meyakini bahwa ia membenci Kikan. Tapi hal berlawanan ia rasakan saat mereka kembali bertemu. Dan sekarang saat ia mengetahui apa yang terjadi dengan wanita itu beberapa tahun terakhir ini membuatnya tiba-tiba merasa kasihan sek
Hampir lima belas menit berlalu sejak Dewandra meminta izin untuk menjawab panggilan telepon yang katanya sangat mendesak itu. Di posisinya duduk sekarang, kedua mata Kikan menangkap sosok Dewandra yang tengah berbincang dengan seseorang melalui telepon berdiri tidak jauh dari meja mereka. Pria itu terlihat begitu serius, entah apa yang dia bicarakan sampai-sampai wajahnya begitu kaku. Sejujurnya Kikan merasa sangat gelisah sekarang. Selain karena merasa tidak nyaman duduk santai di tempat seperti ini, wanita itu juga merasa khawatir tidak akan bisa kembali tepat waktu karena sebentar lagi jam istirahatnya akan berakhir. Kikan sendiri bisa sampai berada di restoran mewah ini karena kegigihannya ingin mengembalikan segepok uang tunai yang Dewandra titipkan kepada Adelia malam itu. Kikan sudah mengambil keputusan untuk tidak menerimanya karena menurutnya tidak ada alasan sama sekali untuk ia menerima uang itu. Kruk! Kikan tidak bisa menahan rasa laparnya setelah aroma masakan yang be