Share

4. Sorry

Tepat pukul lima pagi bel apartemen Kikan berbunyi. Semalaman suntuk Kikan tidak bisa tidur sebab ia tidak bisa menghubungi Manda karena ponselnya tertinggal di kelab malam. Kikan segera berlari menuju pintu dan mendapati Manda berdiri di baliknya.

“Manda, syukurlah kamu ke mari,” ucap Kikan lalu membawa Manda masuk ke dalam.

Manda melangkah dengan kedua mata yang sangat mengantuk. Sekujur tubuhnya juga terasa sangat lelah. Namun wanita itu tersenyum dengan begitu lebar sebab di dalam tasnya terdapat banyak uang tunai. Tidak sia-sia semalaman ia habiskan untuk menari dan menemani para pria kaya itu duduk minum.

“Kikan, aku merasa sangat penasaran kenapa pria itu membawa kamu pergi. Tapi sekarang aku sangat mengantuk dan pengen tidur.” Manda melangkah menuju kamar Kikan. Kedua matanya sudah tidak bisa menahan rasa kantuk yang sedari tadi menyerang.

Kikan memapah Manda menuju kamarnya lalu merebahkan sahabat baiknya itu ke atas ranjang. “Sekarang kamu tidur dulu. Aku akan menceritakannya nanti saat kamu bangun,” ujarnya dengan suara lembut.

Tubuh Manda mendarat sempurna di atas ranjang Kikan yang hanya berukuran single size itu.

“Aku akan membantu kamu menghapus make up,” kata Kikan lantas meraih micellar water dan beberapa kapas untuk wajah.

Kikan menatap Manda yang sekarang sudah tertidur dengan pulas. Matanya menatap prihatin. Sementara tangannya mulai mengusapkan kapas yang sebelumnya dibasahi dengan micellar water ke seluruh permukaan wajah Manda.

“Maafin aku ya, Manda. Gara-gara aku kamu harus melalui hal seperti ini.”

Kikan tidak bisa menahan kekecewaannya terhadap dirinya sendiri. Meski Manda tidak suka jika Kikan menyalahkan dirinya seperti ini. Namun Kikan tidak bisa menutup mata jika ia telah menyeret sahabatnya sendiri ke dalam lubang penderitaan.

Dalam sekejap air mata Kikan sudah menggenang memenuhi pelupuk matanya. Dari sini Kikan dapat mencium aroma alkohol yang begitu kuat menguar dari tubuh Manda. Dan air mata itu seketika menetes saat kedua matanya melihat tanda merah di leher Manda.

Dengan kedua tangan yang bergetar Kikan memberanikan diri untuk menyingkap kerah baju Manda. Dalam hatinya mati-matian memanjatkan doa semoga apa yang dia pikirkan tidak terjadi. Namun kenyataan telah menghempas Kikan dalam hitungan detik, ia menemukan banyak tanda merah di sekitar dada sahabatnya.

Kikan mendadak emosional. Pikirannya tiba-tiba berserabut menjadi satu. Dengan cepat Kikan memungut kapas yang berserakan lalu melangkah keluar dari kamar.

“Ya Tuhan, Manda ....” Kikan jatuh merosot di depan pintu kamarnya. Menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan agar suara tangisnya tidak pecah keluar.

Kikan semakin menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada Manda. Hatinya terasa sangat nyeri dan juga sakit. Seolah ada bilah sembilu yang terus menusuk-nusuk di sana.

Cukup lama Kikan terduduk di depan pintu kamar sembari menangis menyalahkan diri. Hingga sebuah suara dari dalam kamar harus membuatnya berhenti menangis. Manda memanggilnya untuk meminta sahabatnya itu membawakan air minum.

“Kikan, bisa ambilkan minum nggak? Aku haus banget,” teriak Manda dengan suara yang melantur. Matanya masih tertutup rapat.

“Iya, tunggu sebentar. Aku akan membawakannya untuk kamu,” sahut Kikan segera beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air.

Kikan menyeka kedua pipinya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar untuk memberikan segelas air putih kepada Manda. Beruntung Manda tidak membuka matanya sehingga Kikan tidak perlu khawatir sahabatnya itu akan bertanya mengapa ia menangis.

“Apa kamu juga lapar? Mau kumasakin sesuatu nggak?”

Manda menggelengkan kepala sementara kedua matanya masih terpejam rapat. “Aku mau makan mie sama telor ceplok,” sahutnya.

Kedua kening Kikan sontak bertaut. Manda menggelengkan kepalanya tetapi mulutnya mengatakan ia ingin mie goreng dengan telur ceplok. Bukankah itu berlawanan?

“Ya sudah, aku masakin mie goreng dengan telor ceplok buat kamu.” Kikan gegas beranjak dari posisinya. Melangkah keluar dari kamar untuk menuju dapur lagi.

Setibanya di dapur yang tak seberapa luas itu, Kikan membuka kabinet atasnya untuk mengambil sebungkus mie goreng dan mengambil satu butir telur serta satu ikat sayur sawi di dalam kulkas. Dengan cekatan kedua tangannya memasak mie goreng dan telur itu. Hingga tak berselang lama kemudian mie goreng dengan telur ceplok berhasil ia hidangkan di atas piring.

Kikan membawa mie goreng dengan telur ceplok ke dalam kamarnya untuk diberikan kepada Manda. Sahabatnya itu masih tertidur pulas. Manda bahkan tidur dalam keadaan mulut menganga.

“Kamu pasti lelah banget,” gumam Kikan kemudian memutuskan untuk membangunkan Manda. “Manda, bangun. Mie gorengnya udah jadi nih.”

Manda memaksa kedua matanya untuk terbuka saat aroma lezat dari mie goreng menyeruak masuk ke hidungnya. “Ah, perutku laper banget. Tapi mataku terlalu mengantuk sekarang,” cicitnya dengan mata yang sebentar terbuka, sebentar tertutup.

Kikan tersenyum simpul melihat ulah sahabatnya itu. “Ya sudah, sini aku suapin,” ujarnya lantas meminta Manda untuk segera membuka mulutnya.

Dengan kedua mata yang terpejam rapat, Manda membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Kikan. Persetan dengan kata jorok sebab Manda makan mie goreng itu dalam keadaan belum menggosok giginya. Biarlah, Manda terlalu mengantuk tetapi perutnya juga sangat lapar.

Suapan demi suapan Kikan berikan kepada Manda. Hingga mie goreng beserta telur ceplok itu telah habis berpindah ke dalam perut Manda, Kikan tersenyum semringah melihatnya.

“Oh iya, Kikan. Kudengar pria yang menyeret kamu keluar tadi malam itu namanya Dewa. Apa kamu mengenalnya?” Manda tiba-tiba membuka matanya. “Ada apa dengan matamu? Kamu menangis?” lanjutnya menanyai saat mendapati mata sembap Kikan.

Kikan lantas menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Manda. “Aku nggak kenal sama dia. Kurasa dia salah mengenaliku sebagai orang lain,” sahutnya tanpa menjawab pertanyaan kedua dari Manda.

“Oh ya? Kamu yakin kalian nggak saling kenal? Dia membayar semua bagian kamu secara penuh loh, Kikan. Atau jangan-jangan kamu melakukan pekerjaan kamu saat dia membawamu tadi malam? Kamu menari di depan dia—”

“Aku nggak menari di depan dia, Manda! Aku langsung diantar pulang saat dia menyeretku keluar dari kelab itu.” Kikan memotong ucapan sahabatnya dengan cepat. Ia tidak mau Manda berpikiran macam-macam.

Manda menggaruk kepalanya. Kemudian meraih tas miliknya untuk mengambil amplop berisi bayaran Kikan dari pria bernama Dewa itu. “Nih, Adelia menitipkan ini. Katanya itu bayaran kamu dari Dewa.”

Kikan tidak langsung menerima amplop berisi sejumlah uang tunai yang Manda berikan. Rasanya salah saja jika ia menerima padahal ia tidak melakukan apa-apa. Terlebih lagi Kikan melihat amplop tersebut lebih tebal dari amplop milik Manda.

“Aku nggak bisa menerimanya. Aku harus dibayar kalau aku melakukan sesuatu. Tapi masalahnya aku nggak melakukan apa-apa, jadi untuk apa dia membayar?”

Kedua mata Manda langsung membulat sempurna. Manda sangat yakin jika uang di dalam amplop itu dua kali lipat lebih banyak dari yang ia terima. Itu artinya mereka bisa membayar iuran selama beberapa bulan ke depan tanpa harus bekerja keras lagi.

“Ayolah, Kikan. Kalau kamu kembalikan uangnya, ‘kan sayang. Kita bisa membayar iuran selama beberapa bulan dengan uang itu. Pikirkan lagi ya,” ucap Manda dengan suara memelas. Ia tidak bisa membiarkan Kikan mengembalikan segepok uang tunai itu kepada Dewa.

Meski yang dikatakan Manda ada benarnya. Namun tetap saja Kikan tidak bisa menerima uang tersebut. Kikan merasa jika menerima uang itu adalah hal yang salah.

“Aku akan tetap mengembalikannya, Manda. Aku nggak mau menerima uang dari orang asing, apalagi—”

“Orang asing? Tapi kata Adelia, Dewa bilang dia mengenal kamu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status