Dewandra tidak pernah mengira bahwa ia akan bertemu dengan mantan istrinya di tempat seperti ini. Hampir enam tahun ia tidak melihat Kikan dan sekarang apa yang wanita itu lakukan di sini dengan pakaian super seksi?
Dewandra hampir berpikir jika sekarang ia sedang berhalusinasi. Namun ia segera menyadari jika wanita yang saat ini berdiri menatapnya memang sungguh Kikan, mantan istrinya sendiri.Dewandra segera beranjak dari duduknya untuk menghampiri Kikan yang mematung di tempatnya. Pria itu menatap tajam, memindai Kikan dari ujung kaki hingga kepala. Hingga sepersekian detik kemudian Dewandra memutuskan untuk melucuti jas miliknya lalu menyampirkannya ke bahu Kikan.Tentu saja sikap Dewandra saat ini mengundang perhatian teman-temannya. Tidak terkecuali Manda yang sudah menganga dengan mata membulat sempurna.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Dewandra terdengar tinggi. Ia tidak senang melihat keberadaan Kikan dengan pakaian super seksi di tempat ini.Kedua kening Kikan saling bertaut satu sama lain. Ada apa dengan pria aneh ini? Apa yang dia lakukan barusan?Belum sempat Kikan membuka mulutnya untuk melontarkan pertanyaan, Dewandra lebih dulu menyeretnya keluar dari ruangan itu. Kikan berusaha melepaskan genggaman tangan pria asing yang tiba-tiba menyeretnya keluar. Namun tidak semudah yang Kikan bayangkan sebab cengkeraman tangannya benar-benar kuat.“Apa sih yang kamu lakukan?” tanya Kikan saat Dewandra melepaskan cengkeraman tangannya.“Seharusnya aku yang bertanya begitu. Apa yang kamu lakukan di sini dengan pakaian seperti ini!” bentak Dewandra.Kikan tersentak saat Dewandra membentaknya seperti itu. “Loh! Kenapa kamu membentakku? Kita nggak saling kenal jadi kurasa bukan hal yang baik untuk kamu membentakku seperti tadi!” balasnya ikut membentak.Kali ini giliran Dewandra yang tersentak saat mendengar ucapan Kikan kepadanya. Apa wanita ini sedang bercanda atau bagaimana? Sebenci itukah Kikan kepadanya sampai harus berpura-pura tidak mengenalnya?“Mau ke mana lagi kamu?” Dewandra menangkap tangan Kikan saat wanita itu mengembalikan jas yang dia sampirkan dan siap membuka langkah untuk pergi dari sana.“Bukan urusan Anda, Pak! Saya mau ke mana itu terserah saya,” jawab Kikan dingin.Kikan berniat kembali ke ruangan sebab ia yakin Manda pasti menunggunya dengan kebingungan. Sebenarnya ia sendiri pun bingung. Mengapa pria aneh ini tiba-tiba menyeretnya keluar kemudian membentaknya seolah mereka saling kenal?“Aku tahu kamu pasti ingin kembali ke ruangan itu. Tidak akan ku biarkan, sekarang kamu ikut aku pergi dari tempat ini.” Dewandra kembali menangkap tangan Kikan lalu menyeretnya keluar dari kelab malam.Sepanjang langkahnya Kikan terus berontak. Berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman pria aneh yang sangat menjengkelkan ini.Dewandra tidak menggubris reaksi Kikan yang terus berontak. Pria bertubuh jangkung itu hanya terus menyeret Kikan hingga keluar dari tempat gemerlap itu. Memasukkannya ke dalam mobil lalu mengemudikan mobilnya menjauh dari kelab malam.“Katakan di mana alamat rumah kamu. Aku akan mengantar kamu pulang.” Dewandra menatap Kikan yang memasang wajah marah di passenger seat.Selain merasa marah, sebenarnya Kikan juga merasa sedikit takut. Sekarang ia duduk di dalam mobil ini bersama pria asing yang sok akrab dengannya. Terlebih lagi pakaian Kikan yang terlalu seksi, bahkan paha mulusnya terekspos dengan sempurna. Kikan terus berpikir bagaimana jika pria di sampingnya ini akan berbuat tindakan tak senonoh kepadanya.“Siapa bilang kamu boleh mengantarku pulang? Jangan menghalangi penghasilan orang lain, ya! Cepat antar aku kembali ke kelab karena aku harus bekerja,” ucap Kikan, suaranya lebih seperti memerintah daripada meminta.Kedua mata Dewandra membelalak sempurna. Bagaimana bisa ibu dari anaknya berakhir seperti ini setelah perceraian mereka? Apa kehidupan Kikan sangat sulit hingga harus bekerja di tempat seperti kelab malam?“Sejak kapan kamu bekerja di tempat seperti itu?” tanya Dewandra terus melajukan mobilnya, pria itu sama sekali tak memiliki keinginan untuk memutar balik mobilnya kembali ke kelab malam.Tidak ada jawaban dari Kikan. Wanita itu diam seribu bahasa dengan raut wajahnya yang masih terlihat tak bersahabat.“Oke, kalau kamu tidak mau menjawab. Sekarang aku tanya lagi, di mana rumah kamu?” Dewandra kembali menujukan pandangan ke samping kirinya. Sekarang mobilnya sudah berada cukup jauh dari kelab malam dan Dewandra tidak tahu ke mana ia harus mengantar Kikan.Kikan masih membungkam mulutnya sebab rasa jengkel atas tindakan lancang dari Dewandra kepadanya. Andai saja ia tidak berpakaian seksi seperti sekarang, Kikan pastikan untuk minta diturunkan di tepi jalan lalu kembali ke kelab malam mendatangi Manda. Namun Kikan tidak bisa melakukan itu sebab terlalu berisiko baginya untuk berada di luar dengan pakaian seksi seperti ini.“Kalau kamu tidak memberi tahuku alamat rumahmu, maka aku tidak punya pilihan selain membawamu ke rumahku.”Tentu saja ucapan Dewandra tadi membuat Kikan langsung membulatkan mata. Pria ini tidak waras, ya? Kenapa dia harus membawa Kikan ke rumahnya? Apa dia pikir Kikan ini wanita murahan yang bisa dibawa ke rumah sesuka hatinya?“Kamu pikir saya ini apa? Saya bukan wanita murahan yang bisa kamu bawa pulang ke rumah sesuka hati kamu ya! Dasar bajingan.” Kikan tidak tahan untuk tidak mengumpat. Ia merasa pria ini baru saja melukai harga dirinya.“Loh, sekarang kamu bicara soal murahan? Kamu saja melakukan pekerjaan yang membuat orang-orang berpikir kamu adalah wanita yang seperti itu. Apanya yang salah? Lagi pula aku tidak pernah mengatakan kamu murahan, kamu sendiri yang mengatakannya.” Dewandra berargumen.Kikan melipat kedua tangannya. Sementara tatapannya mengarah tajam pada sosok Dewandra yang entah mengapa kian menjengkelkan di matanya.“Kamu memang nggak mengatakannya. Tapi sikap kamu jelas kalau kamu berpikir demikian! Kamu tiba-tiba menyeret saya keluar dari ruangan lalu memarahi saya seolah kita saling kenal. Terus kamu menyeret saya lagi keluar dari kelab dan memasukkan saya ke dalam mobilmu. Apa itu namanya kalau kamu nggak berpikir saya ini wanita murahan? Kamu bertindak sembarangan dan sesukanya!”Kepala Dewandra mendadak terasa pening. Haruskah mereka berdebat seperti ini lagi saat kembali bertemu setelah sekian tahun?“Aku hanya mengkhawatirkan kamu.” Suara Dewandra melemah. Ia tidak akan mendebat Kikan lagi, Dewandra lelah.Kikan memutar matanya dengan malas. “Kamu nggak perlu mengkhawatirkan saya. Kita adalah orang asing, untuk apa kamu khawatir?”Apa pria zaman sekarang semuanya seperti ini? Ini bukan pertama kalinya Kikan bertemu pria semacam ini. Kikan tahu persis jika sekarang pria yang duduk di sampingnya ini sedang menebarkan umpan. Namun maaf-maaf saja, Kikan tidak akan memakan umpannya itu untuk berakhir masuk ke dalam perangkapnya.Dewandra menarik napas sedalam mungkin. Lalu mengembuskannya dengan perlahan melalui belah bibirnya yang sedikit terbuka. “Aku tahu kita sekarang adalah orang asing. Tapi bagaimanapun aku tetap mengkhawatirkan kamu.”Kikan merasa semakin jengkel dengan sikap Dewandra. Ia tidak mengerti mengapa harus bertemu dengan orang seperti ini? Kikan merasa dirinya sangat sial malam ini.“Dasar orang aneh. Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku nggak mengenalnya, kenapa dia harus mempersulitku seperti ini?” Kikan bergumam pelan. Namun ucapannya tidak begitu pelan sampai kedua telinga Dewandra masih bisa menangkapnya.“Apa kamu sangat membenciku sampai harus berpura-pura tidak kenal seperti ini?”Lagi? Berapa kali lagi Kikan harus mengatakannya bahwa ia tidak mengenal pria ini, sih!“Saya bukannya membenci kamu, tapi kita memang nggak saling kenal satu sama lain. Ini adalah pertama kalinya saya bertemu kamu. Paham nggak sih?”Dewandra benar-benar tidak mengerti. Ah tidak. Yang benar adalah Dewandra merasa sangat bingung sekarang. Apa dia salah mengenali orang atau bagaimana? Tapi Dewandra seribu persen yakin jika wanita yang duduk di sampingnya saat ini adalah Kikan, mantan istrinya.Keheningan seketika membalut saat Dewandra tenggelam dalam pikirannya. Dan Kikan mulai gelisah mendapati pria di sampingnya itu tiba-tiba terdiam. Kikan tidak bisa berhenti untuk berpikiran buruk terhadap pria di sampingnya ini. Bisa saja ia terdiam sekarang karena sedang memikirkan sesuatu yang vulgar.“Apartemen Sky, antar aku ke sana.” Kikan membuka suara tanpa menatap lawan bicaranya.Kedua mata Dewandra setengah mendelik. “Apartemen Sky?” ujarnya mengulangi dan Kikan langsung mengangguk mengiyakan.Dewandra segera mengubah rute tujuannya menuju Apartemen Sky. Jalanan malam ini sangat sunyi. Membuat Dewandra bisa dengan leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan berapa pun.Tak perlu waktu lama hingga kendaraan berjenis SUV itu tiba di tempat tujuan. Saat roda mobilnya berhenti bergerak dan Kikan bersiap untuk turun, buru-buru Dewandra kembali melontarkan pertanyaan.“Jadi, kamu benar-benar tidak mengingatku?”Kikan berdiri di dapur, masih mengenakan piyamanya, sibuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang memenuhi ruangan. Ia tersenyum puas melihat meja yang kini sudah tertata rapi—segelas kopi untuk Dewandra, segelas susu untuk Rosetta, dan piring berisi omelet serta roti panggang.Langkah kaki terdengar mendekat, dan tak lama kemudian, sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.“Rajin sekali,” bisik Dewandra di dekat telinganya, suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Kikan tersenyum kecil, meski pipinya merona. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau menyiapkan sarapan buat suami sendiri?” godanya.Dewandra tertawa pelan, mengecup pipi Kikan sekilas sebelum akhirnya melepaskan pelukan dan mengambil secangkir kopi.Kikan melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum. “Ayo sarapan sebelum Rosetta bangun,” ajaknya.Mereka duduk berdua menikmati sarapan dalam suasana tenang dan intim. Sekali-sekali, Dewandra mencuri pandang ke arah Kik
Setelah resepsi yang penuh kebahagiaan dan tawa, Dewandra membawa Kikan ke rumah mereka—rumah yang kini benar-benar menjadi milik mereka berdua, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.Begitu memasuki kamar, Kikan terdiam. Kamar itu telah dihias dengan sangat indah—kelopak mawar putih tersebar di atas ranjang, lilin-lilin kecil menyala lembut di sudut ruangan, menciptakan suasana yang begitu hangat dan romantis.Dewandra berdiri di belakangnya, memerhatikan ekspresi Kikan yang terlihat gugup, namun matanya bersinar lembut.“Kamu suka?” tanyanya pelan.Kikan berbalik, menatap pria yang kini sah menjadi suaminya kembali. Ia mengangguk. “Sangat indah,” sahutnya tersenyum.Dewandra tersenyum tipis, lalu mendekat. “Aku ingin malam ini menjadi malam yang spesial untuk kita.”Kikan menahan napas ketika Dewandra mengangkat tangannya, kemudian menyentuh pipinya dengan kelembutan yang begitu menenangkan. “Aku masih tidak percaya kalau akhirnya kita sampai di titik ini,” bisiknya.Dewandr
Setelah malam yang penuh kehangatan itu, hubungan antara Kikan dan Dewandra semakin erat. Kikan masih sering terbangun dengan perasaan tidak percaya bahwa ia benar-benar telah menerima lamaran pria itu lagi. Ada kegugupan, ada ketakutan, tetapi yang paling mendominasi adalah perasaan bahagia yang perlahan-lahan memenuhi hatinya.Di rumah, Rosetta menjadi orang yang paling gembira mendengar kabar itu.“Jadi Tante Kikan bakal jadi Mama beneran lagi?” seru Rosetta dengan mata berbinar.Kikan tertawa sambil mengusap kepala gadis kecil itu. “Mama dari dulu tetap mamamu, Tata.”“Tapi kali ini aku bisa bilang ke semua orang! Mama dan Papa bakal menikah lagi! Aku bakal punya keluarga lengkap!” Rosetta melompat-lompat kegirangan, membuat Dewandra dan Kikan tak bisa menahan tawa.“Kita harus buat pesta, Pa!” lanjut Rosetta dengan penuh semangat.Dewandra mengangkat alis. “Pesta?”“Iya! Aku mau jadi flower girl!”Kikan dan Dewandra saling berpandangan sebelum akhirnya tersenyum.“Baiklah,” kata D
Waktu berlalu dengan cepat sejak Rosetta mengetahui kebenaran tentang Kikan. Hubungan mereka semakin erat, dan tanpa Kikan sadari, hari-harinya kini selalu diwarnai dengan canda tawa bocah kecil itu. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang perlahan mulai berubah dalam dirinya terhadap Dewandra.Pria itu tidak lagi mendesaknya untuk segera memberi jawaban tentang rujuk, tapi Kikan tahu Dewandra masih menyimpan harapan. Dan kini, setelah berminggu-minggu, ia mengajak Kikan makan malam di luar. Bukan sekadar makan malam biasa, tapi sesuatu yang dirancang dengan sangat sempurna.Kikan berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya dengan ragu. Gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya terlihat begitu anggun, sederhana namun tetap elegan. Ia bahkan merasa sedikit gugup, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Saat ia membuka pintu apartemen, Dewandra sudah menunggunya di depan sana. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna hitam, tampak lebih berkarisma dari biasa
Beberapa hari kemudianBeberapa hari kemudianBeberapa hari kemudian, Kikan dan Dewandra akhirnya sepakat. Sudah terlalu lama mereka menyembunyikan kebenaran ini, dan Rosetta berhak tahu siapa ibunya sebenarnya.Siang itu, mereka duduk di ruang tamu menunggu Rosetta yang masih asyik bermain dengan bonekanya di lantai. Kikan menggigit bibirnya dengan gugup, sementara Dewandra meremas tangannya sendiri, mencoba menyusun kata-kata yang tepat.“Apa menurutmu dia akan marah?” bisik Kikan pelan.Dewandra menoleh padanya, lalu tersenyum kecil. “Aku rasa tidak. Tapi dia mungkin akan terkejut.”Kikan menghela napas, lalu menatap Rosetta yang masih belum sadar akan percakapan serius yang menunggunya.“Tata,” panggil Dewandra lembut.Bocah itu menoleh cepat. “Iya, Papa?”“Kemari sebentar, Sayang. Papa dan Tante Kikan punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan,” ujar Dewandra sambil menepuk sofa di sampingnya.Rosetta berdiri dan berjalan mendekat. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?” tanya
Akhir pekan pun tiba. Sejak pagi, Rosetta sudah bersemangat berlarian ke sana kemari di dalam rumah untuk memastikan semua yang dibutuhkan telah siap. Ia mengenakan gaun berwarna kuning dengan topi kecil yang menghiasi kepalanya.“Tante Kikan, Papa, ayo cepat! Tata sudah nggak sabar!” seru Rosetta, lalu menarik tangan Kikan dan Dewandra bersamaan.Kikan terkekeh melihat antusiasme bocah itu, sementara Dewandra hanya menggelengkan kepala pelan. “Iya, iya, kita berangkat sekarang,” ucapnya sebelum meraih keranjang piknik yang sudah dipersiapkan.Mereka pergi ke taman besar di pinggiran kota. Cuaca sangat cerah, angin berembus sepoi-sepoi, dan suara anak-anak lain yang bermain terdengar di kejauhan. Kikan menggelar tikar piknik di bawah pohon rindang, sementara Dewandra membantu Rosetta melepas sepatunya agar bisa berlari di atas rumput.“Tata mau main dulu!” Rosetta berseru sebelum berlari ke taman bermain.“Jangan jauh-jauh, ya!” Pesan Dewandra yang hanya dibalas anggukan cepat oleh put