Share

5. Aku Ingin Punya Mama

Dewandra masih terus memikirkan pertemuannya dengan Kikan tadi malam. Dan bagaimana wanita itu bersikeras jika mereka tidak saling kenal benar-benar mengganggu pikirannya. Terlebih lagi sekarang wanita itu bekerja di kelab malam, Dewandra merasa Kikan sungguh keterlaluan.

“Apa benar aku salah mengenali orang? Tapi aku sangat yakin jika wanita itu adalah Kikan! Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya meski sekian tahun telah berlalu. Ini tidak benar, aku harus mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.”

Dewandra atau yang lebih sering dipanggil Dewa itu segera meraih ponselnya untuk menghubungi sekretarisnya. Dewa perlu tahu yang sebenarnya terjadi, maka dari itu ia ingin sekretarisnya itu mencari tahu apa yang terjadi dengan Kikan si mantan istrinya itu.

Tidak perlu waktu lama hingga panggilan Dewa bersama sekretarisnya berhasil tersambung. Terdengar suara sang sekretaris yang masih sangat mengantuk di seberang telepon.

“Halo, Pak Dewa?” sapa Chiko dengan suara mengantuknya.

Dewa membetulkan posisinya duduk bersandar di sofa. Pria itu lantas memberi tahu tujuannya menghubungi Chiko sepagi ini karena ingin meminta pria itu menyelidiki seseorang untuknya.

“Aku ingin kamu mencari tahu tentang seseorang. Nanti kukirimkan detailnya melalui pesan.”

Di seberang telepon, Chiko yang saat ini masih berada di bawah selimutnya menjawab, “Baik, Pak. Saya akan mencari informasinya seperti yang Anda minta.”

“Saya ingin kamu menyerahkan laporannya dalam dua hari. Pastikan untuk mencari tahu sampai informasi mendalam sekalipun. Termasuk dengan siapa dia tinggal, apa yang dia kerjakan, siapa yang dia temui beberapa tahun terakhir. Kamu harus menyertakan semua hal itu dalam laporannya nanti.”

“Baik, Pak. Saya akan melakukan seperti yang diperintahkan dan menyerahkan laporannya dalam dua hari.”

“Oke, kalau begitu selamat berakhir pekan,” kata Dewa kemudian mengakhiri panggilan sepihak.

Sekarang sudah pukul delapan pagi dan seharusnya sekarang Dewa berada di kediaman ayahnya untuk menjemput Rosetta. Pria itu sudah berjanji untuk menjemput putrinya pagi-pagi sekali lalu mengajaknya berlari pagi. Namun yang dilakukan Dewa hanyalah duduk termenung di ruang tengah sembari memikirkan Kikan si mantan istrinya itu.

Kikan benar-benar telah sukses mengacaukan pikiran Dewa sejak pertemuan mereka tadi malam. Selain karena paras Kikan yang begitu cantik. Juga karena beberapa faktor lain yang membuat Dewa tidak bisa membuang Kikan dari dalam pikirannya.

Drrttt...

Sebuah panggilan masuk dari Rosetta membuat ponsel milik Dewa bergetar. Dengan cepat pria itu menjawab panggilan dari putrinya dan suara Rosetta yang mengomel langsung menyambut kedua telinganya.

“Papa! Kenapa belum jemput Tata? Dari tadi Tata tungguin, janjinya jemput pagi-pagi biar bisa lari pagi. Sekarang sudah kesiangan!”

Dewa refleks menjauhkan ponsel dari telinga saat putrinya sedikit berteriak di akhir kalimat. Sial! Gara-gara memikirkan Kikan, Dewa jadi melupakan janjinya untuk menjemput Rosetta pagi ini.

“Maafin Papa, Sayang. Papa tadi ada urusan mendesak, sekarang Papa jemput kamu ya.”

Dewa segera beranjak dari duduknya. Ia terpaksa membohongi putrinya dengan mengatakan ada urusan mendesak. Dewa tidak ingin Rosetta merasa kecewa jika tahu kalau sebenarnya ia lupa menjemput putri kecilnya itu.

“Nggak usah, sudah terlambat! Sekarang Tata udah di jalan sama Kakek.” Gadis kecil bermata indah itu menjawab dengan nada yang terdengar kesal.

Dewa langsung menghela napas pelan. Gawat gawat. Rosetta pasti merajuk karena ulahnya.

“Ya sudah, kalau gitu Papa tunggu di rumah ya. Jangan marah dong.” Dewa melembutkan suara. Memohon kepada putrinya untuk tidak marah lagi kepadanya.

Terdengar gumaman panjang di seberang telepon. Rosetta yang saat ini duduk di samping kakeknya melirik dengan seringai nakal. Gadis kecil itu sepakat untuk mengerjai ayahnya bersama sang kakek.

“Oke, Tata maafin Papa. Tapi dengan satu syarat ....”

“Hmmm, syarat ya? Coba Papa dengar dulu apa syaratnya?” Dewa tahu persis pikiran putrinya jika sudah menyebutkan kata ‘syarat’ seperti ini. Rosetta pasti akan menyebutkan syarat yang tidak masuk akal atau sesuatu yang mungkin sulit untuk Dewa penuhi.

“Syaratnya adalah ... Tata nggak akan kasih tahu di telepon! Nanti kalau Tata sudah sampai rumah, Tata kasih tahu apa syaratnya,” sahut gadis kecil itu sembari cekikikan.

Dewa bergumam pelan. “Ya sudah,” balasnya dengan suara lembut.

Tidak lama setelah itu, samar-samar Dewa mendengar suara putrinya memasuki indra pendengaran. Bukan berasal dari telepon. Tetapi suara Rosetta menggema dari arah ruang tamu.

Dengan cepat Dewa menjauhkan ponselnya dan menatap ke arah di mana suara putrinya berasal. Dan benar saja, tepat detik berikutnya anak kecil bernama Rosetta itu tiba-tiba muncul berlari ke arahnya. Dewa pun refleks melepar ponselnya ke atas sofa agar bisa merentangkan kedua tangan untuk menyambut putrinya dengan sebuah pelukan.

“Papa pikir kalian masih di jalan ke mari. Ternyata ....” Dewa memeluk gemas putrinya lalu menghujani pipinya dengan sebuah kecupan.

Senyuman Rosetta mengembang sempurna. Pelukannya pada sang ayah tak kalah erat. Nyatanya menginap selama dua hari satu malam di rumah kakeknya membuat Rosetta sangat merindukan papanya itu.

Di tengah keduanya yang sedang asyik berpelukan, kedatangan Pak Handi—ayah Dewa—membuat Dewa mengurai pelukan. Jarang-jarang ayahnya itu mau datang ke mari. Dewa pun langsung menyapa ayahnya lalu mempersilakan pria tua itu untuk duduk di sofa.

Pak Handi mengangguk setuju bersamaan dengan tungkainya yang melangkah menuju sofa. Lalu memposisikan dirinya tepat di samping cucu kesayangannya—Rosetta.

“Ayah ingin minum apa?” tanya Dewa saat menatap ayahnya.

Pak Handi menggelengkan kepala. “Tidak perlu repot-repot. Ayah di sini hanya sebentar,” sahutnya lalu menoleh ke samping menatap cucunya. Lihat saja senyumnya yang lebar itu, Pak Handi benar-benar menyayangi Rosetta.

Karena ayahnya mengatakan tidak ingin minum, maka Dewa pun memutuskan untuk bergabung dengan kedua orang itu duduk di sofa. Namun Dewa tidak duduk di sofa yang sama, pria itu duduk di sofa satunya. Kedua matanya senantiasa menatap sang ayah yang sedang mengajak putrinya bicara. Dewa tersenyum simpul, merasa senang melihat reaksi antara Rosetta bersama Pak Handi yang terlihat saling menyayangi satu sama lain.

“Kalau begitu, Kakek pulang dulu ya. Kakek ada urusan yang harus segera diselesaikan. Nanti minggu depan kita main bersama lagi, oke?” Pak Handi mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala cucu perempuannya. Senyumannya kian melebar hingga membuat kedua matanya sedikit menyipit.

Rosetta mengangguk dengan penuh semangat. Bocah perempuan itu tersenyum lebar menatap kakeknya yang berpamitan.

“Baik, Kek!” seru Rosetta.

Pak Handi segera beranjak dari duduknya. “Tidak perlu mengantar,” ucapnya saat melihat Dewa bersiap beranjak untuk mengantarnya ke depan.

Apa boleh buat? Dewa pun kembali memposisikan diri di atas sofa sebab sang ayah melarang dirinya untuk mengantarkan sampai ke depan.

“Papa!” panggil Rosetta, terlihat bersemangat.

“Ada apa, Sayang?” sahut Dewa dengan seulas senyuman.

“Tata mau kasih tahu syarat yang kita bahas di telepon,” ujarnya. Dan seketika perasaan Dewa langsung berubah tidak nyaman mendengarnya.

“Oke, jadi apa syaratnya? Kamu menginginkan apa? Mainan? Buku baru? Atau—”

Belum sempat Dewa menyelesaikan kalimatnya, Rosetta memotongnya dengan tidak sabar.

“Tata ingin punya Mama!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status