Share

6. Bertemu Teman Lama

Setelah kehilangan pekerjaannya karena sebuah kesalahpahaman. Sekarang Kikan telah resmi menjadi seorang pengangguran. Padahal pekerjaan itu sudah susah payah ia dapatkan.

Sekarang usianya hampir menginjak angka tiga puluh tahun. Seperti yang Kikan tahu, tidak banyak peluang yang dia miliki untuk mendapatkan pekerjaan impian. Syukur-syukur kalau dia segera mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat ini.

Kikan menghela napas berat. Salah satu tangannya terulur merogoh dompet di dalam tas untuk menghitung ada berapa lembar lagi rupiah yang tersisa. Apakah akan cukup untuknya bertahan hingga mendapatkan pekerjaan baru atau tidak?

“Astaga, uang ini mungkin hanya akan bertahan sampai akhir pekan saja.” Helaan napas Kikan semakin berat.

Saat kepalanya terasa begitu pening luar biasa, kedua netra Kikan tak sengaja menangkap sebuah amplop berwarna cokelat yang cukup tebal berada di dalam tasnya. Benar juga! Kikan belum mengembalikan uang yang Dewa titipkan kepada Adelia yang katanya sih untuk bayarannya. Entah bayaran apa yang pria itu maksud, Kikan tidak tahu.

“Haruskah aku menerima uang ini seperti yang disarankan Manda? Tapi, sama sekali nggak benar ‘kan kalau aku menerimanya secara cuma-cuma?”

Kikan merasa sedikit tergoda untuk mengintip berapa lembar jumlah uang yang ada di dalam sana. Namun sisi lain di dalam dirinya terus bersikeras untuk membiarkan hasrat yang bergejolak itu padam dengan sendirinya. Bagaimanapun Kikan tahu hal itu tidak pantas ia lakukan meskipun sekarang ia benar-benar dalam situasi terjepit.

Yah, namanya juga Kikan. Wanita itu sangat menjunjung tinggi sebuah harga diri. Meskipun beberapa waktu yang lalu ia sempat—uhm, mungkin lebih tepatnya adalah hampir—menjatuhkan harga dirinya itu untuk menjadi seorang penari striptis.

Bicara soal itu, Kikan sangat bersyukur mendapati fakta bahwa dirinya sudah selamat dari pekerjaan sebagai penari striptis. Maka tidak seharusnya ia terlibat lagi dalam sebuah momen yang mungkin akan benar-benar menjatuhkan harga dirinya, bukan?

Setelah cukup lama berdebat dengan dirinya sendiri, Kikan memutuskan untuk menghubungi Adelia. Kikan ingin mencari tahu bagaimana caranya ia bisa mengembalikan uang Dewa melalui temannya itu. Mungkin saja ‘kan Adelia tahu ke mana Kikan harus pergi atau menghubungi pria bernama Dewa itu.

“Halo, Del. Aku ingin mengembalikan uang yang dibayar pria bernama Dewa itu. Kamu tahu ke mana aku harus pergi untuk menemuinya?” tanya Kikan saat panggilan teleponnya berhasil tersambung bersama Adelia.

“Apa? Kamu yakin mau mengembalikan uang itu? Bukannya—”

“Aku memang sangat memerlukan uang itu, tapi menerima uang dari dia juga bukan hal yang benar. Aku sama sekali nggak melakukan apapun, jadi untuk apa dia membayarku?”

Seperti yang sudah Kikan duga bahwa Adelia akan berpikiran sama seperti yang dipikirkan oleh Manda. Maka dari itu ia buru-buru memotong ucapan Adelia dengan mengutarakan pemikirannya.

“Astaga, Kikan. Sudah bertahun-tahun berlalu dan kamu sama sekali nggak berubah. Aku bener-bener nggak ngerti sama kamu. Apa susahnya tinggal terima uangnya? Sudah kesulitan begini tapi masih aja memikirkan harga diri. Dan soal Dewa, aku juga nggak tahu apapun soal dia dan gimana cara menghubungi nya.”

Kedua mata Kikan langsung terpejam dengan begitu rapat dan helaan napas berat kembali berembus dari belah bibirnya yang sedikit terbuka. Ya Tuhan, kenapa sulit sekali?

“Ya sudah kalau kamu juga nggak tahu. Terima kasih untuk waktunya dan maaf mengganggu.”

“Okey, no problem. Nanti kalau kalian perlu pekerjaan, jangan ragu untuk menghubungiku lagi.”

Kikan segera menjauhkan ponsel dari telinganya sebelum salah satu jarinya menekan tombol berwarna merah untuk mengakhiri panggilan bersama Adelia.

“Apanya yang ‘jangan ragu’? Sampai mati pun aku nggak akan menghubungi kamu untuk minta pekerjaan,” gerutu Kikan dengan suara malasnya. Disusul dengan bibirnya yang mengerucut ke depan dan kedua mata yang memutar ke atas.

Sepersekian detik kemudian Kikan kembali terdiam. Mengingat fakta bahwa sekarang ia memang dalam keadaan yang sangat sulit membuatnya merasa ngeri. Hidup dikejar hutang dan tidak punya pekerjaan. Astaga, andai saja semua itu hanya mimpi buruk.

Entah dosa apa yang pernah Kikan lakukan di masa lalu sehingga ia bisa mengalami hal seburuk ini. Sebenarnya Kikan merasa tidak ada satupun hal yang berjalan sesuai dengan rencananya. Salah satunya adalah soal dirinya yang kehilangan sebagian ingatan, Kikan yakin hal itu sama sekali tidak termasuk dalam rencananya.

“Kikan!”

Wanita itu terkesiap saat seseorang tiba-tiba menyerukan namanya. Saat matanya memandang jauh ke depan, Kikan mendapati seorang wanita yang seumuran dengannya berjalan ke arahnya.

“Ya ampun, ternyata aku nggak salah. Kamu benar-benar Kikan!”

Kedua mata Kikan langsung mengerjap beberapa kali saat wanita yang memanggilnya tadi berhasil berdiri tepat di depannya. Jujur saja, Kikan tidak bisa mengingat wanita yang tersenyum kepadanya sekarang ini.

Hey, kamu nggak mungkin lupa ‘kan sama aku?” Wanita itu bersuara lagi. Lengkungan senyum di bibirnya kian melebar dari sebelumnya.

Kikan bergumam pelan sebelum akhirnya beranjak ikut berdiri. “Maaf, kamu siapa?” tanyanya sedikit sungkan.

Lengkungan senyum yang tersemat di bibir wanita itu perlahan mulai luntur. “Jadi, benar yang mereka katakan. Bahwa kamu kehilangan sebagian ingatan pasca kecelakaan itu,” ujarnya tanpa menjawab pertanyaan yang telah Kikan lontarkan untuknya.

Kikan berusaha mendorong salivanya dari batang tenggorokan. Mendengar bagaimana wanita itu berbicara barusan, Kikan berasumsi jika mereka memang saling kenal.

Ah, bagaimana ini? Kikan merasa sedikit bersalah sekarang. Tapi, hey, bukan salah Kikan karena kehilangan sebagian ingatannya lalu melupakan teman-temannya ‘kan? Tidak ada yang bisa disalahkan di sini atas apa yang terjadi.

Wanita bersurai panjang itu lantas mengulurkan tangan. Meraih kedua tangan Kikan yang masih berdiri memasang wajah kebingungan.

“Aku Terry. Kita pernah satu sekolah dulu saat SMA.”

Terry. Kikan masih mematung sementara otaknya terus ia paksa mencari nama itu. Namun sama seperti yang sudah-sudah, alih-alih menemukannya Kikan malah sakit kepala.

“Uhm, ya, Terry. Maaf karena aku nggak bisa mengingat kamu. Ingatanku benar-benar ... yah kamu tahu,” kata Kikan enggan menjelaskan lebih jauh lagi.

“Jangan minta maaf! Setidaknya aku bisa bersyukur karena sekarang kita bertemu lagi.” Senyum yang sebelumnya sempat luntur kini kembali tersemat di bibir Terry. Matanya bahkan sampai berbinar, Terry benar-benar merasa senang telah bertemu Kikan hari ini.

“Jadi, apa sebelumnya kita sangat akrab atau bagaimana?” Kikan tidak tahan hanya berdiam saja saat kedua netranya menangkap raut wajah senang Terry saat bertemu dengannya.

Terry mengangguk tanpa ragu. Namun sedetik kemudian dia melunturkan sedikit senyumnya. Mengundang sebuah kerutan halus di dahi Kikan saat menangkap hal tak konsisten itu.

Sedetik yang lalu Terry tersenyum lebar bahkan matanya sampai berbinar. Wanita itu juga menganggukkan kepala dengan begitu yakin. Namun sedetik kemudian ia mengangkat tangannya dengan senyuman yang perlahan mulai luntur. Jadi, sebenarnya ada apa dengan wanita ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status