MasukRatna menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan sesak yang menghimpit dadanya.
Tak ada lamaran, tak ada pesta, tak ada tawa ataupun doa restu yang mengiringi hari yang seharusnya menjadi momen paling sakral dalam hidup seorang wanita. Ia menikah di hadapan ayahnya yang terbaring lemah, dikelilingi tubuh para pelayan dan pengawal yang bersimbah darah. Bahkan tidak ada gaun indah yang membalutnya, hanya kain sederhana yang telah terkena noda darah orang-orang yang dikasihinya. Di tengah bau anyir yang menusuk dan lantai yang berlumur darah, prosesi singkat itu tetap terlaksana. Tanpa bunga, tanpa musik, hanya dinginnya udara dan tatapan tajam Panglima Rangga yang kini telah sah menjadi suaminya. Entah pernikahan ini akan diakui negara atau tidak. Raja dan rakyat Jayamarta bahkan belum mengetahui kabar pernikahan mereka. Namun Ratna tak peduli. Gelar barunya sebagai istri Panglima Rangga tak berarti apa-apa dibanding nyawa ayahnya. Apa pun akan ia lakukan asalkan ayahnya tetap hidup, meski kini sang ayah harus hidup dalam pengasingan ditempat yang sudah disediakan oleh Panglima Rangga, agar jejak keberadaannya tak tercium oleh Raja Dursala maupun mata-matanya. "Aku harus kuat… semua ini kulakukan demi ayahku!" batin Ratna, berusaha menerima takdirnya dengan lapang dada. Panglima Rangga mengapit dagu Ratna yang kini telah resmi menjadi istrinya. Dengan lembut ia mendongakkan wajahnya, menuntunnya untuk bertatapan langsung dengannya. Dia tak pernah menyangka, malam ini yang awalnya adalah misi untuk menghabisi Damar, justru membawanya pada takdir yang sama sekali tak ia duga. "Aku sudah berjanji akan menjamin keselamatan ayahmu, selama kau menurut padaku!" ucap Rangga dengan suara tegas. "Dengar baik-baik, istriku. Seorang kesatria bila telah berjanji, ia tak akan pernah sekalipun mengingkarinya, walau nyawanya harus menjadi taruhannya!" "Jadi, selama kau mampu membuatku puas, aku akan melindungi ayahmu dengan segenap nyawaku. Dan suatu saat, jika aku berkenan, aku akan membawamu bertemu dengannya lagi." Ratna menatap dalam mata Rangga, berusaha menyingkap kebohongan di balik tatapannya. Namun, dengan pengalaman yang minim, ia sulit membedakan mana yang benar dan mana yang hanya tipuan dari pria yang kini menjadi suaminya itu. Ratna menghirup napas dalam, kemudian menatap suaminya lekat. "Aku harap kau tidak berbohong padaku, Tuan Rangga. Aku akan menunggu saat kau mempertemukanku kembali dengan ayahku!" Suara Ratna bergetar, tapi matanya penuh tekad. "Jika kau berbohong dan suatu hal buruk terjadi pada ayahku, maka aku tidak akan ragu untuk pergi menyusulnya. Dan pada saat itu, kau tak punya hak lagi untuk mengikatku dalam pernikahan ini!" Panglima Rangga menyeringai tajam, menatap istrinya yang sedang mencoba bernegosiasi dengannya. "Aku pasti akan menepati janjiku! Jadi bersiaplah, Nona Ratna! Mari kita pulang ke tempat tinggal barumu, di kediaman Jala Wulung!" ucapnya sambil menggenggam tangan Ratna, lalu menariknya masuk ke dalam kereta kudanya. Para pengawal rahasia Rangga yang turut menjalankan tugas hanya mampu mengikuti sang tuan dari belakang dengan langkah pelan. Mereka serentak menundukkan kepala, tak berani menatap gadis yang kini dalam sekejap berubah menjadi nyonya mereka. Meski rasa ingin tahu membakar mata mereka untuk melihat sosok nyonya muda yang jelita, tak seorang pun berani mengangkat pandangannya. Kekaguman itu harus mereka telan dalam diam, jika tak ingin nyawa mereka melayang. Sebab Rangga, sang tuan yang terkenal kejam, tak akan ragu menebas kepala siapa pun yang lancang menatap apa yang telah menjadi miliknya. Kecantikan Ratna mampu menembus dinding hati Rangga, pria yang selama ini menutup diri dari wanita. Baginya, perempuan hanyalah makhluk lemah yang mudah menangis. Namun pesona Ratna perlahan meruntuhkan anggapan itu. Ratna tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Panglima Rangga yang masih menggenggam tangannya ikut terhenti. "Ada apa?" tanyanya dingin, wajahnya tetap datar, seakan tidak mengenal belas kasihan. Perlahan Ratna menoleh, menatapnya dengan sorot mata sendu, sebelum akhirnya melepaskan genggaman itu dan berbalik hendak pergi. "Berhenti menatap ke belakang!" ucap Rangga dingin, suaranya bergaung bak titah seorang raja. "Astana itu bukan lagi tempatmu! Mulai saat ini dan seterusnya, kediamanmu hanya di Paviliun ku!" Ratna menundukkan wajahnya, sorot matanya dipenuhi kesedihan. Ia menarik napas panjang, dadanya terasa sesak saat bayangan kenangan di Astana itu berkelebat. Kebersamaan dengan keluarga, canda para pelayan, prajurit hingga tawa para kesatria kebanggaan ayahnya. Kini semua lenyap, tak seorang pun tersisa selain sang ayah. "Cepat masuk!" suara tegas Rangga memecah lamunannya, terdengar seperti perintah yang tak memberi ruang penolakan. Ratna mengusap air matanya dengan gerakan tergesa, seolah ingin menghapus kelemahan di hadapan pria itu. Ia menoleh sekali lagi, menatap kediaman ayahnya untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kereta kuda yang menantinya. Ratna meremas sisi gaunnya erat-erat, berusaha menahan amarah dan kesedihan yang nyaris meledak. Dadanya bergemuruh, terlebih saat menatap wajah suaminya, Panglima Rangga, yang tak menunjukkan secuil pun penyesalan atas apa yang telah terjadi. Panglima Rangga mencondongkan tubuhnya, tatapannya menusuk tajam ke arah Ratna. "Kau boleh membenciku, kau boleh marah sepuasmu!" suaranya berat, penuh tekanan. "Tapi ingat baik-baik, istriku… sebesar apa pun amarahmu, kau tak akan pernah bisa melawanku!" Ia menyeringai miring, senyumnya penuh ancaman. "Aku akan menjeratmu dalam kehidupanku. Dan aku pastikan, kau tidak akan pernah menemukan jalan untuk melepaskan diri dariku!" --- Matahari telah meninggi ketika kereta kuda berhenti di pelataran megah kediaman Panglima Rangga. Perjalanan panjang itu akhirnya membawa Ratna ke tempat yang kini harus ia sebut rumah. Panglima Rangga turun lebih dulu, langkahnya mantap. Tanpa banyak kata, ia mengulurkan tangan, menawarkan bantuan agar istrinya turun dengan anggun. Pernikahan mereka memang terjadi begitu mendadak, lahir dari rasa suka sepihak yang bersemayam di hati Rangga. Bahkan dirinya pun tak yakin, apakah itu bisa disebut cinta atau hanya keinginan untuk memiliki. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, sekeras dan setegas apa pun dirinya, ia tidak berniat membiarkan Ratna terluka. Di mata Rangga, Ratna laksana porselen berharga rapuh, indah, dan tak tergantikan. Ia tidak ingin goresan sedikit pun menodai kecantikan yang kini berada di hadapannya. Namun, kilatan tajam dalam sorot matanya menyiratkan satu hal, keindahan itu hanya akan tetap utuh selama Ratna menuruti kehendaknya. Panglima Rangga bukanlah pria yang suka dibantah. Ia muak pada pemberontakan. Dan titahnya bukan sesuatu yang boleh dipatahkan. Bila Ratna berani melanggar, maka senyum dinginnya akan berganti menjadi neraka yang tak seorang pun ingin merasakannya. Ratna menarik napas dalam, sebelum akhirnya menyambut uluran tangan suaminya dan melangkah turun dari kereta kuda. "Hati-hati, istriku!" ucap Rangga. Genggamannya terasa hangat, seolah menawarkan perlindungan. Namun semakin lama Ratna merasakannya, semakin jelas pula bahwa di balik kehangatan itu tersembunyi kekuatan yang tak bisa ditolak. Ratna tidak tahu, apakah itu bentuk kasih sayang atau ancaman halus yang sedang menunggu saatnya untuk menjeratnya lebih dalam. Rangga menatapnya sekilas, senyumnya tipis dan sulit ditebak. "Selamat datang di tempat tinggal barumu, Ratna. Ingatlah, setiap dinding di paviliun ini akan menjadi saksi, bahwa kau adalah milikku sepenuhnya!" __Raja Dursala menatap Rangga dengan wajah yang berkerut kesal, seolah merasakan ancaman yang tersirat di balik sikap tenang sang panglima. "Tentu saja, Rangga! Aku tak akan melanggar perjanjian yang terjadi diantara kita. Jika kau sudah menikahi putri Damar Langkarsana, aku tak akan mengganggumu. Hanya saja… aku sedikit kecewa, kau menikah begitu tergesa hingga tak sempat mengundangku!"Raja Dursala menyipitkan mata, lalu menambahkan dengan nada penuh peringatan. "Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk memperhatikan istrimu dengan lebih jeli. Bukan maksudku menghina, tapi kau tahu dia adalah putri dari bangsawan pengkhianat. Aku percaya kau bukan orang yang mudah dikalahkan, tapi bersikap waspada… tak ada salahnya, bukan?"Panglima Rangga mengangguk, senyum tipis namun dingin terukir di bibirnya."Tentu saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Anda!"Raja Dursala menahan senyumnya, namun hatinya bergolak oleh rasa ingin tahu. Seperti apa wajah gadis itu hingga mampu menjinakkan pa
Panglima Rangga menegakkan tubuhnya semakin tegap, seakan ingin menancapkan setiap kata yang keluar dari bibirnya ke dalam hati Raja Dursala."Benar, Yang Mulia. Hamba telah menikah... dengan putri Damar Langkarsana. Tepat semalam, setelah hamba menuntaskan para pengkhianat yang selama ini mengusik kerajaan."Keheningan langsung menyelimuti singgasana. Raja Dursala terperanjat, matanya membelalak tak percaya. Jemarinya yang tadi menggenggam sandaran kursi perlahan melemah."Putri… Damar Langkarsana?!" suaranya menggelegar, menggetarkan udara seakan petir baru saja menyambar di tengah ruangan.Raja Dursala sontak bangkit dari kursinya, wajahnya memerah, campuran antara murka dan keterkejutan. Selama ini ia tahu benar, Panglima Rangga tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada wanita manapun. Bagaimana mungkin kini dalam semalam, ia mendadak menikah dan bahkan tanpa sepengetahuan dirinya?Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku menikah dengan putri dari Damar Langkarsana, pengkhianat ya
Di tempat lain, jauh dari lamunan Ratna, Panglima Rangga kini tengah berhadapan dengan Raja Dursala di singgasana megah Kerajaan Jayamarta."Kemana saja kau, Rangga? Tidak biasanya kau datang terlambat. Aku bahkan harus menunggu lama hanya untuk bertemu denganmu," suara Raja Dursala terdengar berat, penuh tekanan."Padahal aku sudah mengirimkan pesan sejak semalam. Atau... apakah orang suruhanku terlambat menyampaikannya ke paviliunmu?" tanya sang raja, matanya meneliti tajam seolah hendak membongkar alasan di balik keterlambatan panglima kepercayaannya itu. Panglima Rangga menunduk hormat, ekspresinya datar tanpa riak emosi."Maafkan saya, Yang Mulia! Keterlambatan ini sepenuhnya kesalahan saya, bukan orang suruhan Anda. Mereka datang tepat waktu ke kediaman saya. Namun, ada urusan yang harus saya selesaikan sebelum menuju ke sini!"Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang terdengar tenang namun penuh kepatuhan."Sekali lagi, ampunilah saya, Yang Mulia! Jika hukuman p
Suasana malam itu seakan membeku, hanya suara napas berat Rangga yang terdengar di antara mereka. Tatapan matanya menyala penuh keyakinan, menembus jiwa Ratna yang masih dibungkus rasa ragu."Soal statusmu yang seorang putri dari Damar Langkarsana, biarlah tetap menjadi rahasia. Lagi pula, apa yang akan dilakukan Raja atau rakyat kerjaan ini jika mereka tahu?""Mereka takkan berani menatapmu, apalagi mencelamu jika mereka masih ingin bernafas! Kau adalah istriku! Istri dari Panglima Rangga Raksa Jala Wulung! Di Kerajaan ini maupun di Kerajaan lain, tidak ada yang berani mengusikku atau menyentuh apapun yang menjadi milikku!"Panglima Rangga meraih bahu Ratna, mendekatkan wajahnya, suaranya semakin berat namun penuh kepastian."Kau istriku, yang berarti kau adalah milikku! Jika ada yang berani menyentuh atau menyakitimu, itu berarti mereka harus siap berurusan denganku!"Ratna terdiam. Ia menatap Rangga dengan perasaan yang tak menentu. Hatinya diliputi kebingungan sekaligus keterkejut
Panglima Rangga melangkah masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap, membuat udara di ruangan itu kembali menegang. Ratna yang duduk di tepi ranjang sontak merasakan jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bayangan menakutkan tentang perintah untuk melayaninya kembali terlintas dalam pikirannya.Namun yang terjadi justru di luar dugaan. Panglima Rangga menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara dalam dan penuh wibawa,"Kau bisa beristirahat selama aku tidak ada! Aku harus pergi ke istana menemui Raja Dursala. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan atau inginkan, mintalah pada para pelayan! Selama permintaan itu bukan melarikan diri dariku, kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau!"Ratna hanya bisa menunduk, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap.Panglima Rangga mendekat selangkah, sorot matanya menusuk, lalu menambahkan, "Sama seperti ayahmu yang tidak mengizinkanmu melihat dunia luar, aku pun memberlakukan aturan yang sama padamu! Kau belum resmi k
Ratna beringsut mundur, jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Namun langkahnya terhenti saat punggungnya menyentuh dinding dingin. Panglima Rangga mendekat perlahan, tatapannya menusuk, membuat Ratna merasa seperti seekor rusa yang terperangkap."Mau pergi ke mana kau, Ratna? Sudah kubilang, kau tidak akan bisa lepas dari jeratanku!" ujar Rangga dengan senyum miring, kedua tangannya menekan kuat di sisi Ratna, membuatnya terkurung.Ratna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "A-apa yang ingin ka-kau lakukan, hah?" tanyanya dengan terbata, matanya bergetar menahan takut. Panglima Rangga terkekeh pelan, tatapannya menusuk layaknya serigala yang baru saja menjebak mangsanya."Menurutmu, apa yang ingin kulakukan, istriku?" suaranya merendah, penuh ancaman samar. "Bukankah kau sudah mendengar sendiri ucapanku sebelum kita melangkah masuk ke kamar ini? Setelah ini, kau pasti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi di antara kita hari ini!"Rangga meraih pergela







