Share

3. Siapa Dia?

“Apa yang kamu lakukan, Mas?”

Aneska mengelap bibir setelah Elvano mencuri ciuman darinya dengan kasar. Dia menatap jijik sang suami yang tergelak di depannya. Dia terus menatap sang suami yang menyunggingkan senyum mengejek sebelum berjalan sempoyongan sambil menaiki tangga. Gadis itu menghela napas berat sebelum memasuki kamar dan kembali mengelap kasar bibirnya. Bayangan Elvano yang menciumnya kembali berkelebat di kepala, ditambah dengan bau alkohol yang tercium membuat gadis itu merasakan mual.

Lelah mengeja sikap sang suami yang berubah, Aneska memilih segera merebah dan memejamkan mata hingga suara alarm terdengar tiga jam kemudian. Dia bergegas turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Dua porsi nasi goreng dengan telur mata sapi telah terhidang di meja bertepatan dengan Elvano yang terlihat menuruni tangga sambil mengaitkan kancing jas biru tuanya.

“Sarapan dulu, Mas.”

Aneska memasang senyum semanis mungkin untuk menyambut sang suami di meja makan. Namun, bukan senyum dengan binar mata bahagia yang didapat, melainkan dengkusan napas kesal yang ditunjukkan Elvano.

“Aku tak terbiasa makan nasi pagi-pagi.”

“Maaf, Mas. Aku tak tahu kalau kamu tak terbiasa makan nasi pagi-pagi. Ehm, mau aku buatkan roti pakai selai stroberi?”

Elvano kembali mendengkus kesal sambil menatap jam di pergelangan tangan kirinya. Dia mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi dan menatap enggan nasi goreng di depannya sebelum membuang pandangan.

Melihat sikap sang suami, Aneska bergegas ke dapur untuk mengambil setangkup roti dan mengoleskan selai stroberi. Namun, saat membawanya ke meja makan, sosok Elvano sudah tidak ada. Aneska membawa langkahnya tergesa ke depan, tetapi semuanya terlambat karena sang suami sudah lebih dulu melajukan mobilnya meninggalkan rumah.

“Apa salahnya menunggu lima menit saja, Mas?”

Aneska berbalik dan mengempaskan tubuhnya di meja makan. Dia menghela napas panjang saat menatap piring yang disodorkan kepada Elvano.

“Padahal aku sudah susah payah membuatnya, kenapa kamu tak menyentuhnya, Mas?”

Aneska kembali menghela napas panjang sebelum menarik piring dan melahap nasi goreng sambil bercucuran air mata. Perih kembali menyapa seonggok daging yang bernama hati.

“Enggak. Aku enggak boleh nangis di depan makanan karena tandanya aku tidak bersyukur.”

Aneska menghapus air mata dan memasang senyum sebelum melanjutkan makan hingga habis tak bersisa. Setelahnya, dia membereskan meja makan dan segera membersihkan rumah.

“Masih ada waktu untuk membuat makan siang. Kira-kira Mas Elvan mau makan apa?”

Aneska bergegas membuka lemari pendingin, tetapi kecewa merajai hati ketika melihat tak ada bahan makanan yang tersedia. Dia menghela napas panjang sebelum berlari ke kamar dan mengambil uang yang sempat diberikan Andi tempo hari. Lalu, bergegas keluar rumah menuju supermarket yang terletak di ujung kompleks perumahan.

Usai mendapatkan belanjaan, Aneska bergegas mengolahnya menjadi makanan. Tak butuh waktu lama, seporsi daging bulgogi dan capjay bakso telah matang dan menggugah selera. Aneska segera menata dalam kotak makan, memotong buah dan terakhir memasukkan sebotol kecil yogurt.

“Semoga Mas Elvan suka dengan masakan aku. Dia tidak sarapan, pasti sangat lapar sekarang.”

Aneska bergegas memesan taksi online dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir. Lalu, mendekap erat kotak makan sambil terus menyunggingkan senyuman. Empat puluh lima menit kemudian, gadis itu sampai di depan gedung The golden Grup. Dia menghela napas panjang sebelum melangkah masuk.

Langkah Aneska ringan menuju ruangan sang suami. Senyum lebar menghiasi bibir karena membalas sapaan yang dilayangkan semua karyawan kepadanya. Namun, senyum itu lesap ketika mendengar suara sang sekretaris yang mengatakan kalau Elvano belum kembali sejak bertemu dengan klien.

“Boleh saya titip ini di dalam, Bu. Biar nanti kalau Pak Elvan datang, bisa langsung dimakan.”

Usai dipersilakan, Aneska masuk dan meletakkan kotak makan di meja. Dia tersenyum sambil menggeleng lemah melihat kertas bertebaran di meja. Tangannya terulur untuk merapikan kertas itu, tetapi tanpa sengaja menyenggol cangkir teh dan membasahi meja.

“Siapa yang menyuruhmu masuk?” tanya Elvano sambil melangkah tergesa mendekati meja dan menyambar kertas yang ada di tangan Aneska.

"Apa yang kamu lakukan? Ini semua berkas penting."

“Ma-maaf, Mas. Aku enggak sengaja, tadinya cuma mau merapikan. Tapi ....”

Aneska bergeming dan merasa bersalah melihat Elvano menggeram kesal sambil mengeringkan meja yang basah dengan tisu. Lalu, membuang kasar kertas yang terkena bekas teh ke tempat sampah sebelum menelepon seseorang.

“Bawakan lagi salinan kerja sama dengan PT. Sukses Bersama, sekarang!”

Elvano membanting gagang telepon sebelum menatap Aneska penuh kebencian. Dia menjambak rambut, kemudian mencekal lengan sang istri.

“Mau apa lagi kamu di sini? Keluarlah!” sungut Elvano sambil menarik istrinya. Namun, sebelum membuka pintu, suara Aneska terdengar.

“Maaf, Mas.”

“Sekarang keluarlah!”

Elvano mendengkus kesal sebelum membuka pintu, kemudian mendorong Aneska keluar ruangan sebelum membanting pintu tepat di depan wajah istrinya. Aneska bergeming sejenak di depan pintu dan terkejut mendengar teriakan sang suami yang sedang meluapkan kekesalannya.

Aneska tersenyum getir saat mendapati tatapan iba sekretaris suaminya. Dia bergegas melangkah meninggalkan kantor dan menaiki taksi yang akan membawanya kembali ke rumah. Sementara itu, Elvano mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi kebesaran dan memijat pelan pangkal hidungnya. Dia menoleh saat mendengar pintu dibuka, kemudian menadahkan tangannya.

“Lain kali jangan biarkan wanita itu masuk kalau aku tidak ada di ruangan, Mer!”

Elvano langsung mengibaskan tangan, bermaksud mengusir sang sekretaris usai membawakan berkas perjanjian yang dimaksud. Lalu, fokus mempelajari hingga suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Melihat nama yang tertera di layar, pria itu mengulas senyum sesaat sebelum menjawab panggilan.

“Iya. Apa? Aku ke sana sekarang juga.”

Elvano memasukkan ponsel ke saku jas dan bangkit. Namun, tatapannya terpaku kepada kotak makan yang teronggok di sudut meja. Tangannya meraih kotak itu dan langsung melemparnya ke tempat sampah. Lalu, melangkah meninggalkan ruangan dengan tergesa.

Sementara di rumah, Aneska melangkah lesu menuju kamar sebelum merebah. Dia menerawang langit-langit dan tersenyum getir melihat seekor cicak yang bersuara seolah-olah sedang menertawakan kehidupan barunya.

Aneska meraih bantal dan menutupkan ke wajah, tepat saat itulah ponselnya berdering. Dia melirik layar benda pipih yang berkedip sebelum menjawab panggilan setelah melihat nama sang ayah.

“Iya, Pa. Darah tinggi Papa kambuh? Iya, aku ke sana sekarang.”

Aneska bergegas menyambar tas selempang dan berlari keluar rumah. Usai taksi online yang dipesan datang, dia segera masuk dan duduk dengan gelisah sampai tiba di rumah sakit. Aneska mempercepat langkah menuju ruang UGD. Namun, langkahnya terhenti seketika kala melihat orang yang telah menikahinya sedang memapah seorang wanita muda. Mereka berserobok sesaat sebelum Aneska membekap mulut karena terkejut.

“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status