Share

2. Terpaksa Menikah

Aneska menatap lekat manik mata biru milik Elvano setelah mendengar ucapan yang terlontar dari bibirnya. Dia mengerjap pelan dan mencerna setiap kalimat yang terdengar rungunya. Melihat gadis itu masih bungkam, Elvano kembali mengulang ucapannya.

“Menikahlah denganku, maka semua utang Andi akan aku anggap lunas!”

Aneska menunduk dalam. Dia menganyam jemari sambil berulang kali menghela napas berat. Jujur, dia bingung harus mengambil keputusan bagaimana. Dia bergeming cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menatap Elvano.

“Apakah tidak ada solusi lainnya, Pak? Jujur, saya masih belum ingin menikah.”

“Apakah Andi tidak mengatakan apa pun kepadamu?” Melihat Aneska mengernyit heran, Elvano menggeleng lemah sambil tersenyum mengejek. “Andi sudah menyanggupi kalau tidak bisa mengembalikan uang perusahaan, maka kamu yang akan menjadi jaminannya.”

“Maksudnya, Pak? Saya dijual Papa demi menutupi utang itu?”

Melihat Elvano mengangguk, lemas sudah sekujur tubuh Aneska. Dia tidak menyangka bahwa sang ayah tega menjualnya. Ribuan kata yang sudah dipelajari sejak kecil, lesap begitu menyadari kenyataan yang tersaji di depan mata. Gadis itu perlahan menunduk dalam sambil meremas kuat ujung bajunya.

Sakit masih merajai hati Aneska. Namun, dia juga tak mampu melihat pria yang menjadi cinta pertamanya harus mendekam di penjara. Tidur beralaskan lantai dingin dan keras serta berbagi ruangan yang pengap dengan beberapa orang tahanan. Kenyataan itu sungguh menguras emosi Aneska. Dengan mengesampingkan ego, Aneska kembali menatap Elvano.

“Saya akan terima tawaran Bapak untuk menikah. Jadi, tolong bebaskan papa saya.”

“Keputusan yang tepat. Aku akan tepati janji untuk membebaskan Andi. Sekarang siapkan diri kamu karena seminggu lagi pernikahan itu akan terjadi.”

Bagai dihantam palu godam mendengar ucapan Elvano. Secepat itukah pernikahan karena keterpaksaan akan berlangsung. Namun, tak ada lagi yang patut disesali karena keputusan sudah diambil. Tak mengapa dia berkorban untuk kebebasan sang ayah.

Meskipun bersedia menikah, Aneska dihinggapi beribu tanya yang bercokol dalam tempurung kepalanya.

"Bolehkah saya bertanya, Pak? Kenapa Bapak mau menikahi saya? Padahal kita baru saja bertemu."

Elvano mengembuskan napas kasar mendengar pertanyaan Aneska. Sekejap mata, perjanjian tentang hak waris dan peralihan saham perusahaan yang terjadi antara dirinya dengan sang ayah kembali menyeruak dalam kepala. Jika pria itu tidak menikah dalam kurun waktu tiga bulan, maka seluruh aset dan saham perusahaan akan dialihkan kepada orang lain. Otomatis Elvano akan menderita, dan dia sangat benci akan hal itu.

"Aku butuh istri agar tetap menjadi ahli waris dari keluarga Abraham Smith."

Aneska terkejut mendengar penuturan Elvano. Ada gemuruh dalam dada gadis itu, tetapi tak sanggup untuk mengatakan sesuatu. Dia hanya mampu menunduk dalam dengan tangan terkepal di paha.

"Kalau kamu sudah paham dengan penjelasanku, silakan keluar dan persiapkan dirimu mulai dari sekarang."

Aneska menghela napas berat. Kepalanya mendadak berdenyut hebat karena merasakan beban yang teramat berat. Sekejap mata, bayangan Andi berkelebat di kepala.

“Anes harus bagaimana, Pa? Anes bingung sekarang.”

Tak ingin menambah beban makin berat, Aneska membawa langkah beratnya menuju rumah. Sedih yang sempat hinggap perlahan lesap begitu melihat Andi sudah duduk di teras. Perasaan lega sekaligus bahagia membawa langkahnya untuk segera menghambur memeluk sang cinta pertamanya.

***

Suasana riuh terdengar dari salah satu gedung tempat di mana resepsi pernikahan antara Aneska dan Elvano digelar secara mewah. Aneska menyematkan senyum penuh kepalsuan, sedangkan Elvano menunjukkan raut tak suka yang sangat kentara. Sesekali gadis itu melirik sang suami, tetapi langsung mengalihkan tatapan kepada para tamu. Usai keriuhan itu, Aneska langsung diboyong Elvano ke rumahnya.

Pada ruang tamu, kedua pasangan pengantin baru itu saling duduk berhadapan. Aneska memilih menunduk dalam sambil meremas kuat jemarinya, sedangkan Elvano menatap tajam gadis di depannya.

“Aku mau bicara denganmu.”

Aneska mengangkat wajah dan menatap lekat wajah pria yang baru saja menghalalkannya beberapa jam lalu. Wajah tampan itu terlihat dingin dengan sorot mata yang tengah memindai dirinya. Namun, tak ada keinginan Aneska untuk membuka mulut, sehingga hanya diam yang bisa dilakukannya.

“Kita sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini. Kita sama-sama punya kepentingan, sehingga pernikahan ini terjadi. Jadi, mari kita buat kesepakatan."

Kalimat yang dilontarkan Elvano sontak membuat Aneska terkejut. “Kesepakatan apa, Mas?”

Elvano menghela napas panjang. Jujur, dia muak dengan pernikahan karena keterpaksaan itu. Namun, demi mencapai tujuannya, mau tidak mau, dia harus mengalah.

“Aku mau kita tidak saling mencampuri urusan masing-masing, tapi bersikap layaknya pasangan pengantin baru di depan semua orang. Pernikahan kita memang hanya karena terpaksa, tapi aku tak akan menelantarkanmu. Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu.”

Aneska hanya mengangguk, menyetujui semua ucapan yang terlontar dari mulut suaminya. Melihat sikap gadis itu, Elvano kembali melajutkan ucapannya.

“Aku juga minta untuk saat ini kita tidak tidur sekamar dulu.”

Lagi, Aneska hanya mampu mengangguk menyetujui apa pun yang diucapkan Elvano. Dia sendiri juga bingung harus bersikap bagaimana, sehingga mengiakan semua ucapan sang suami.

“Boleh aku bicara juga, Mas?” Melihat Elvano hanya bungkam sambil menyandarkan punggung dan bersedekap, Aneska melanjutkan ucapannya. “Aku akan terima semua keputusanmu dengan ikhlas, Mas."

Aneska menjeda ucapan untuk menetralisir gelebah dalam dada. Dia menghela napas panjang dan menatap pria yang duduk di depannya sebelum melanjutkan ucapan.

"Tapi, izinkan aku mengurus semua keperluanmu sebagai bakti seorang istri kepada suaminya."

“Lakukan apa pun yang kamu mau. Asal jangan mengusik hidupku.”

Elvano segera bangkit dari duduk dan berjalan menaiki tangga sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Di belakangnya ada Aneska yang mengikuti sambil menyeret koper. Ketika berhenti di depan pintu kamar berwarna putih, Elvano berhenti dan menatap istrinya.

“Ini kamarmu.”

Elvano segera berlalu ke kamar yang terletak tepat di samping kamar Aneska. Dia melenggang masuk dan meninggalkan istrinya tanpa kata. Gadis itu menghela napas panjang sebelum melangkah masuk dan bergeming di depan pintu.

“Ya Tuhan, kuatkan aku menghadapi pernikahan ini. Aku tahu ini sudah menjadi ketetapan yang harus aku jalani dengan ikhlas."

Aneska langsung menyusut sudut matanya yang berair. Lalu, melenggang masuk kamar dan mulai menyusun baju-bajunya di lemari sebelum mengempaskan tubuh di depan meja rias. Perlahan, dia menghapus riasan dan tersenyum getir menatap pantulan dirinya di cermin.

“Enggak. Aku enggak boleh tunjukkan kesedihan ini ke semua orang. Aku harus kuat dan membuat semua orang percaya kalau aku bisa bahagia.”

Dengan senyum tersumir, Aneska bangkit dari duduk dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mungkin guyuran air dingin bisa menenangkan jiwanya yang sempat terkoyak karena ucapan Elvano. Sepuluh menit berlalu, Aneska menyudahi acara mandi dan segera berpakaian.

Aneska keluar kamar bersamaan dengan Elvano. Mereka saling tatap sesaat sebelum Aneska memutus pandangan dengan menunduk. Lalu, kembali mendongak begitu mendengar langkah sang suami.

“Mas mau ke mana?”

“Ketemu teman.”

Tepat saat itulah ponsel yang dipegang Elvano berdering. Pria itu bergegas menjawab panggilan sambil terus melangkah.

“Iya. Sebentar lagi aku ke sana.”

Aneska menghela napas panjang sambil menatap kepergian sang suami hingga menghilang di balik pintu utama. Dia kembali meneruskan langkah ke dapur untuk mengambil air minum dan membawanya ke kamar. Gadis itu meregangkan otot sejenak sebelum meneguk air, kemudian merebah dan memejamkan mata.

Tepat jam dua dini hari, Aneska terjaga setelah mendengar suara pintu digedor. Dia bergegas bangkit dan menuruni tangga menuju pintu utama untuk membukanya. Melihat Elvano pulang dalam keadaan kacau dan bau alkohol yang menguar dari tubuhnya, Aneska mengernyit.

“Mas dari mana? Kok, baru pulang jam segini? Mas mabuk, ya?”

Elvano menggeram kesal dengan tangan terkepal mendengar rentetan pertanyaan yang dilontarkan Aneska. Dia menjambak rambut sebelum berbalik, lantas menatap Aneska penuh kebencian. Pria itu mengikis jarak, sedangkan Aneska mundur perlahan saat melihat mata sang suami memerah.

Elvano langsung mencengkeram erat dagu Aneska dan menatapnya nyalang. Lalu, satu tindakan yang dilakukan Elvano berhasil membuat Aneska kembali terkesiap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status