"Dia tidak keberatan aku mengajar anaknya?" tanya Sarah tidak percaya.
"Ya, tapi dia menitipkan pesan. Pekerjaanmu adalah mengajar musik bukan yang lain. Jadi jangan suka ikut campur urusan yang lain!" tegas Rachel. Sarah tersenyum lega lalu mengangguk dengan keras.
***
Sarah memeriksa penampilan dari pantulan bayangannya di kaca iklan yang ada di halte kereta bawah tanah.
"Lumayan," guman Sarah sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari. Dia sangat gugup tapi berusaha untuk tenang. Selama perjalanan menuju ke rumah Theo, Sarah tidak henti-hentinya meremas tangannya hingga memutih. Semakin dekat jantungnya berdegup makin kencang. Sarah menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan dan mengulangnya beberapa kali.
Akhirnya Sarah berdiri di depan pagar tinggi berwarna hitam, kedua sisinya terdapat tembok putih yang dihiasi tanaman merambat dengan bunga-bunga kecil berwarna warni. Namun, di sisi kiri ada kaca yang lebih mirip seperti jendela kecil. Sarah berusaha mengintip ke dalam pagar tapi dia sama sekali tidak menemukan celah.
"Oh ada bel," ujar Sarah lega ketika menemukan sebuah kotak kecil dengan tombol berwarna merah. Sarah menekannya dengan kuat.
"Ada perlu apa?" Tiba-tiba seseorang membuka kaca kecil di samping pagar. Sarah hampir melompat karena kaget.
"Saya mau menemui Pak Theo," jawab Sarah gugup.
"Anda siapa?"
"Saya guru musik anaknya,"
"Oh iya, saya sudah diberitahu. Silakan masuk Nona," ucap pria besar berkulit gelap dan berkumis tebal itu dengan ramah.
Pagar besar itupun terbuka sebelah. Sarah masuk perlahan dan menahan napas begitu melihat rumah yang ada di hadapannya.
'Ini rumah atau istana?' batin Sarah memandang rumah megah berwarna putih dengan sedikit aksen hitam di beberapa tempat.
"Silakan lewat sebelah sini Nona," ajak penjaga pagar tadi. Sarah segera mengikuti pria itu.
Mereka masuk melalui pintu kecil dari garasi yang di dalamnya terdapat 4 buah mobil mewah yang biasanya Sarah lihat dari kejauhan.
Begitu memasuki rumah Theo, Sarah malah semakin tercengang. Dia pikir rumah semegah dan semewah ini hanya ada di TV. Sarah bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang dikerjakan Theo sehingga bisa memiliki rumah semewah ini di usia yang begitu muda.
'Mungkin ayahnya juga konglomerat seperti ayah Rachel, karena itu mereka akrab,' ucap Sarah dalam hati.
Sarah dipersilakan untuk duduk sambil menunggu Theo dan putrinya datang. Seorang pelayan wanita keluar membawa nampan.
"Silakan di minum Nona," ucap pelayan itu sambil meletakkan secangkir teh, sebotol air mineral, sepiring cake coklat yang sudah di potong dan sebuah piring kecil cantik dengan garpu kecil di atasnya.
"Terima kasih," jawab Sarah yang sudah berliur memandang cake coklat yang tampak lezat itu. Cemilan yang disajikan oleh orang kaya memang berbeda, Sarah belum pernah mendapat suguhan seperti ini. Namun Sarah tidak berani mengambilnya. Dia harus menunggu Theo.
Sarah sudah menunggu selama 5 menit, tapi Theo dan putrinya belum juga muncul. Dia melirik jam tangannya, dia memang tiba 12 menit lebih cepat dari jam yang dijanjikan, jadi dia menunggu dengan sabar, sambil menatap sekelilingnya. Sebuah foto lama tergantung di dinding. Foto pernikahan Theo dan istrinya yang sangat cantik.
Sarah merasa pernah melihat wajah istri Theo itu, tapi tidak yakin di mana.
"Nona Sarah." Tiba-tiba Theo muncul entah dari sebelah mana. Sarah sedang memandangi cake coklat yang terus menggodanya itu ketika Theo memanggil namanya.
"Tuan Theo," jawab Sarah lalu segera berdiri. Rumah dan mobil mewah Theo membuat sikap Sarah menjadi sangat sopan. Dia tidak boleh macam-macam dengan orang sekaya ini.
"Maaf kalau anda menunggu agak lama. Tapi putri saya sangat ketat dengan waktu. Dia hanya akan keluar pada jam yang sudah di tetapkan."
"Tidak apa-apa." Sarah tersenyum sopan sambil menganggukkan kepala dengan anggun.
"Oh iya, namanya Grace. Tolong jangan menyingkat namanya atau memanggilnya dengan panggilan lain. Dia tidak suka," jelas Theo yang diikuti anggukan kepala Sarah yang semakin anggun.
"Selain itu, saya belum membeli piano untuk kamarnya, jadi anda tidak keberatan kan kalau belajar disini dulu untuk sementara? Dan tidak apa-apa kan kalau saya juga akan duduk di sini selama anda mengajar? Kebetulan saya juga sedang menunggu seseorang." Sarah kembali mengangguk, lehernya mulai merasa pegal, karena gerakan aneh yang dia buat agar tampak anggun.
"Miss Sarah." Seorang anak perempuan berusia 8 tahun dengan rambut diikat ekor kuda dan tubuh agak berisi berlari sambil berjinjit ke arah Sarah.
Sarah segera berdiri dan kini ingat di mana pernah melihat wajah wanita tadi, Grace sangat mirip dengan ibunya.
"Grace!" seru Sarah bersemangat.
Anak perempuan itu melompat-lompat sambil bertepuk tangan mengelilingi Sarah tanpa menyentuhnya. Sarah hanya tersenyum sambil ikut bertepuk tangan sesekali.
"Anda kenal Grace?" tanya Theo bingung.
"Saya juga tidak menyangka, kalau putri anda adalah Grace. Dia adalah salah satu murid saya di Sekolah Pioneer," jawab Sarah tersenyum. Dia sangat dekat dengan Grace, dan lega karena ternyata Grace lah yang akan dia ajari.
"Anda guru musik Grace yang menyarankan agar dia mendalami musik?" tanya Theo tidak percaya.
Dia sengaja mencari guru musik privat, karena guru kelasnya mendapat laporan dari guru musik bahwa Grace memiliki bakat dan ketertarikan yang kuat terhadap musik. Karena itu, sebaiknya dia di beri pelajaran musik tambahan di luar sekolah.
Theo sudah meminta izin agar guru musik di sekolahnya yang memberi kelas tambahan. Tapi ternyata sekolah memiliki kebijakan, tidak mengizinkan gurunya memberi kelas tambahan untuk murid Pioneer di luar sekolah.
"Saya sangat senang dan tenang. Ternyata Grace sudah mengenal anda, dan sepertinya dia sangat senang bertemu dengan anda. Tapi apakah ini tidak masalah?" lanjut Theo sambil menghembuskan napas perlahan.
"Bernyanyi? Bernyanyi?" ucap Grace sambil menarik ujung lengan baju Sarah dengan pelan, sebelum Sarah sempat menjawab pertanyaan Theo.
"Baiklah, ayo bernyanyi," jawab Sarah sambil berjalan menuju ke Grand Piano hitam yang sangat berkilat.
"Berdiri tegap. Berdiri tegap." Grace berdiri di samping Sarah, mengikuti kebiasaan kelas musik nya di sekolah dan mengulangi kata-kata yang selalu Sarah ucapkan di sekolah.
"Bagus Grace," puji Sarah.
"Pemanasan. Pemanasan."
Sarah tersenyum lalu mulai memainkan piano dengan nada-nada yang sudah dikenali oleh Grace.
"Do, re, mi, re, do." Grace mulai bernyanyi dengan santai. Sarah terus memainkan piano dan menaikkan nada dasarnya hingga di batas tertinggi suara Grace.
Theo kagum, ini pertama kalinya dia mendengar Grace bernyanyi. Meskipun baru pemanasan, tapi nada Grace sangat tepat dan suaranya sangat cemerlang.
"My Grandfather's clock! My Grandfather's clock!" seru Grace dengan mata yang tidak fokus begitu mereka selesai pemanasan.
Sarah segera memainkan intro lagu yang diminta Grace. Tangannya yang tadinya mengepak-ngepak berhenti begitu Sarah memainkan pianonya. Theo sangat takjub, tidak menyangka musik bisa berpengaruh begitu besar terhadap putrinya.
Lalu ketika Grace mulai bernyanyi, Theo tidak bisa menahan air matanya. Hati pria dingin dan keras itu melunak begitu mendengar suara putrinya yang indah, seindah suara almarhum ibunya. Theo merindukan Grace, istrinya.
"Maaf Tuan, tamu anda sudah tiba," ucap pelayan setelah Grace selesai bernyanyi. Theo segera mengusap pipinya.
"Suruh dia masuk," perintah Theo, lalu berjalan mendekati Grace dan Sarah.
"Bagus sekali Grace," puji Theo. Grace kembali mengepak-ngepakkan tangannya, sambil memandang kantong baju ayahnya.
"Sekarang papa mau kenalkan Grace ke teman ayah. Dia sekretaris baru ayah. Ayo," ajak Theo sambil menarik ujung lengan baju Grace karena dia tidak suka disentuh dan menyentuh orang lain.
"Miss Sarah ikut. Miss Sarah ikut," ucap Grace bergeming. Sarah segera berdiri.
"Ayo, Miss temani." Grace segera memegang ujung lengan baju Sarah. Mereka berjalan menuju ke tempat Theo duduk tadi. Pelayan yang tadi melaporkan masuk, diikuti seorang wanita muda di belakangnya.
"Halo," ucap wanita itu dengan suara manja. Sarah membeku. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perempuan itu sama kagetnya dengan Sarah.
"Kakak Sarah? Sedang apa kau disini?"
"Nadine." Dengan suara sedikit bergetar Sarah memanggil nama adik tirinya. "Kalian saling kenal?" tanya Theo heran. "Ya, dia anak ayah tiriku," jelas Nadine sambil tersenyum palsu. "Dunia ini memang sempit. Ternyata kau keluarga guru musik putriku." komentar Theo tidak percaya. Dalam sehari dia sudah mendapatkan dua kejutan. "Nona Sarah, Nadine adalah sekretaris baru saya. Ada beberapa pekerjaan yang harus segera kami selesaikan. Tapi saya juga ingin melihat kelas musik pertama Grace, karena itu saya memintanya membawa pekerjaan kesini," jelas Theo canggung. Sarah mengangguk. "Nadine, ini putriku Grace." "Halo Grace," sapa Nadine mencoba meraih tangan Grace. "Berhenti!" perintah Sarah cepat. Nadine langsung menghentikan gerakannya dan menatap Sarah dengan tajam. "Dia tidak suka disentuh." Nadine mengalihkan pandangannya ke arah Theo yang mengangguk tanda setuju dengan perkataan Sarah. "Nona Sarah bisa lanjutkan lagi pelajarannya. Nadine dan saya akan ke ruang kerja," ucap The
"Iya, ibunya meninggal ketika melahirkan dia. Karena itu Theo menamai putrinya Grace, sama dengan nama istrinya." Sarah menelan ludah sambil terus menatap Rachel. Membicarakan Grace selalu membuatnya merasa pilu."Lalu, apakah dia menikah lagi?" tanya Rachel ragu."Tidak, laki-laki itu sepertinya masih sangat mencintai almarhum istrinya sampai terus bertahan sendirian. Aku yakin dia mencari perempuan yang sama seperti istrinya. Aku sudah katakan, sampai mati pun pasti tidak akan bertemu dengan wanita seperti Grace!" ucap Rachel terdengar seperti mengejek, tapi sebenarnya merasa kasihan.Sarah yang masih terkejut mendengar penjelasan Rachel tiba-tiba seperti mendapat hadiah yang sangat dia inginkan.'Dia single. Dia bukan suami seseorang.' Sarah terus berguman di dalam hatinya dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Suasana hati Sarah tiba-tiba menjadi sangat baik. Ternyata cintanya tidak salah, dia boleh memiliki rasa itu. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Sarah."Bagaimana
"Baik kalau begitu. Maaf kami berdebat di sini," ucap Sarah cepat. Lagi-lagi dia kehilangan kendali dan bersikap seenaknya. Sarah menyesal sekali lagi memberikan kesan buruk di hadapan Theo."Kau lihat Theo. Kalau bukan karena kemampuan musik dan mengajarnya yang luar biasa, sudah lama dia kuusir dari sekolah musikku," adu Rachel sambil mendengus. Theo tersenyum paksa.Sementara Sarah hanya diam, dia tidak mau bereaksi karena khawatir akan kembali bersikap buruk di hadapan Theo. Padahal hal seperti ini selalu terjadi di antara mereka, namun bagi orang yang tidak mengenal mereka Sarah pasti tampak kurang ajar.Sarah dan Rachel meninggalkan rumah Theo dengan keadaan kesal. Mereka bahkan masih terus berdebat di dalam perjalanan menuju ke Cantilena. Meski begitu mereka tidak pernah menyimpan dendam, setibanya di Cantilena mereka sudah menyelesaikan permasalahannya dan melupakan perdebatan mereka.Sedangkan Theo masih merasa terpukul dengan sikap Sarah. Theo merasa Sarah adalah wanita deng
"Tuan Theo, maaf saya masuk tanpa izin. Tadi Grace mengajak saya masuk untuk memperlihatkan hasil karyanya," jelas Sarah dengan gugup. Sementara Grace masih terus berbicara tanpa mempedulikan ayahnya dan Sarah.Theo tidak menjawab Sarah dan hanya berdiri menunggu Grace selesai berbicara. Sarah tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya mengikuti Theo berdiri diam sambil mendengarkan Grace."Bagus sekali Grace," puji Theo setelah Grace selesai menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan tata surya.Grace tidak memberi reaksi apapun, dia langsung pergi kembali ke kamarnya. Tinggallah Sarah dan Theo di dalam ruang kerja Theo."Sepertinya tugas Nona Sarah di rumah ini sudah selesai. Mari saya antarkan sampai ke pintu," ujar Theo sopan namun dingin."Maaf boleh saya menanyakan sesuatu tuan?" tahan Sarah pada saat Theo baru akan melangkah keluar dari ruang kerjanya."Ada apa?" Theo berbalik menghadap Sarah. Dia bisa mengirup aroma lembut vanila dari rambut Sarah."Apakah tuan berencana membe
"Oh mengenai hal itu, aku sedang menimbang waktunya. Tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat ini, karena ada urusan yang harus aku selesaikan dulu," jawab Theo berusaha menghindar."Baik Pak, tapi tolong jangan terlalu lama Pak. Saya khawatir Sarah akan terus meneror kami karena rumah itu," ujar Nadine sambil terisak ketakutan."Nadine, boleh saya tahu. Teror apa yang dia lakukan, sampai kalian ketakutan kepadanya?" selidik Theo yang sudah mulai meragukan Nadine."Dia selalu memaki kami dengan kasar, bahkan dia pernah mendorong saya sampai saya dibawa ke rumah sakit karena tangan saya patah Pak. Selain itu, ini cukup memalukan. Tapi dia selalu merebut setiap pria yang sedang dekat dengan saya." Suara Nadine terdengar sedikit bergetar, seperti sedang menahan tangis."Bagaimana caranya dia bisa merebut pria yang dekat denganmu?" Theo tidak mengerti lelaki mana yang bisa berpindah hati dari Nadine yang lembut dan sangat penuh perhatian kepada Sarah yang kasar dan tidak peduli.'Meskipu
"Grace?" Sarah tidak percaya dia akan bertemu Grace dan Theo di makam orangtuanya. "Ayo lihat mama. Ayo," ajak Grace sambil menarik ujung baju Sarah dengan keras. Sarah menatap Theo dengan canggung. Dia yakin Theo merasakan kecanggungan yang sama, karena Theo hanya mengganggukkan kepala tanpa menatapnya, ketika Sarah menyapanya. "Ayo, ayo," desak Grace membuat Sarah tidak dapat menolak. Dia dan Grace berjalan di belakang Theo yang membawa dua buket bunga besar. Ternyata makam almarhum istri Theo tidak terlalu jauh dari makam kedua orang tua Sarah. Dalam hatinya Sarah kembali tertawa. Di antara banyaknya makam di kota ini takdir malah mempertemukan mereka di sini. "Ini mama. Dia sudah meninggal. Tapi dia hidup di surga. Nanti kalau Grace mati, kami bertemu di surga," jelas Grace kepada Sarah, seakan-akan Sarah tidak mengetahui kenyataan itu. "Iya Grace," jawab Sarah sambil membaca tulisan yang terukir di atas nisan. "Grace letakkan bunganya." Theo menyerahkan salah satu buket k
Theo memandang Sarah tanpa berkedip. Gairah yang tidak pada tempatnya mengaliri pembuluh darahnya. Baru kali ini ada perempuan yang membela dan menyebut Grace anaknya tanpa keraguan sedikitpun. Dia bahkan tidak peduli ayah anak itu sudah menyakiti hatinya. Mendadak, Theo merasa yakin Sarah tulus menyayangi Grace."Ada apa tadi?" tanya Theo berpura-pura tidak mendengar semua pertengkaran tadi, setelah Sarah kembali duduk di kursinya."Tidak ada apa-apa, hanya segerombolan anak muda yang perlu diberi pelajaran sopan santun," jawab Sarah yang merasa lega karena Theo tidak mendengar perkataannya tadi.Dia takut Theo akan salah sangka bila mengetahui Sarah menyebut Grace sebagai anaknya."Croissant datang. Croissant garing tapi lembut. Baru dibakar dan dikeluarkan dari oven sehingga masih hangat dan lezat. Croissant tampak seperti bulan sabit. Bulan yang hanya terkena sedikit cahaya sehingga tidak tampak seluruh bagiannya." Sarah tersenyum mendengar penjelasan Grace. Beberapa hari yang la
"Tapi-" Sarah tidak sanggup meneruskan kata-katanya begitu tatapan mata Theo menunjukkan bahwa dia tidak menerima penolakkan. Sarah masuk ke dalam mobil dengan jantung yang berdegup sangat cepat karena telapak tangan Theo yang menyentuh kulitnya."Miss Sarah dan Papa sudah masuk ke mobil. Sekarang kita pulang!" seru Grace senang, karena akhirnya dia bisa pulang dan menonton acara kesukaannya.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Theo, mobil itu senyap. Supir Theo tidak berani menyalakan musik tanpa perintah Theo. Suhu dingin dari mesin pendingin mobil menusuk hingga ke hati Sarah. Dia tidak tahu suasana apa ini, tapi dia merasa takut, bahagia dan waswas secara bersamaan.Grace langsung membuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumah, begitu mereka tiba di halaman kediaman Theo. Sarah yang tidak tahu harus berbuat apa, tetap diam di dalam mobil. 'Tadi kan dia sudah berjanji akan mengantarkan aku pulang,' batin Sarah yang melihat Theo dan supirnya juga ikut keluar dari mobil. "Apa ini