Bab 5
"Serena, kembalilah padaku, lupakan tentang perceraian." Aldi menatap, menghiba membuat Serena menunduk, tidak berani menatap mata Aldi yang kini teduh.Serena menatap ke luar, "Aldi, aku sudah di lamar," aku Serena jujur. Sejujurnya dia pun mulai bingung. Aldi tidak bersalah sepenuhnya, namun ia pun telah pergi terlalu jauh dan dalam waktu yang lama, tapi kepergiannya juga punya alasan, "aku nggak mungkin menyakitinya."Serena berada dikebimbangan yang nyata, kebaikan Billy tidak bisa di nilai sebelah mata karena menginginkan dirinya. Billy tulus dan menganggap Ranu seperti putranya sendiri. Saat anak itu sakit Billy selalu siap memdampingi Serena, bukan hanya waktu melainkan biaya yang tidak sedikit, rela Billy gelontorkan untuknya.Tring tringTring tringPonsel di saku Aldi berbunyi, pria itu segera merogoh sakunya lalu mengangkat panggilan."Bos, Keluarga Sutomo meminta hotel Karisma pada Tuan Adolf," ucap Benu di telpon."Tidak bisa, kita sudah sepakat. Lagi pula aku sudah menyiapkan uangnya," kata Aldi setelah terkejut mendengarnya."Sekarang Pak Sutomo dan Tuan Adolf ada di restauran hotel," lapor Benu yang baru dapat kabar dari staf di hotel.Aldi tampak memijat keningnya, dia tahu Sutomo orangnya sulit di tebak, bisa jadi dia menaikkan harga untuk mendapatkan hotel itu."Kita ketemu di hotel, aku akan segera ke sana," ucap Aldi lalu menutup telponnya tanpa menunggu Benu bicara.Dia harus pergi, tapi dia juga takut Serena lari darinya, meskipun dia sudah tahu di mana Serena tinggal."Seren, aku harus pergi sekarang. Ku mohon tinggallah di sini. Kita belum selesai bicara!" Aldi meraih kedua pundak Serena berharap istri kecilnta itu menurut."Aldi aku serius mengenai calon suami." Seren yang masih kekanakan tidak bisa membiarkan ini berlarut."Aku akan bicara pada laki-laki itu," putus Aldi, "Kau milikku Seren, akan selamanya milikku!" tegasnya lagi dengan keyakinan penuh.Serena terdiam sampai sesuatu menyentuh keningnya tiba-tiba.CupKecupan di kening membuat darah Serena berdesir, Aldi pergi meninggalkannya di kamar yang masih asing itu.Aldi menuruni tangga lalu berjalan ke arah dapur, "Mbok, layani istriku dengan baik, jangan biarkan dia pergi sebelum aku pulang!""Nggeh, Pak!" jawab Mbok Darmi patuh.Bukannya Aldi tak ingin menyelesaikan masalah mereka, namun hotel yang sudah akan ia beli ini pun harus diselamatkan dari Sutomo mantan ayah mertuanya.Sejak bercerai dari Lydia hubungan mereka menjadi kurang baik, Sutomo seolah menganggap keluarga Himawan saingan terlebih pada Aldi kebenciannya sangatlah besar. Padahal perceraian mereka atas persetujuan Lydia.Aldi tiba di hotel dan Benu menunggunya di lobi. Mereka langsung berjalan menuju restauran tempat Adolf dan Sutomo bertemu."Aku berani bayar di atas kesepakatan kalian berdua." Terdengar suara Sutomo sedang melobi Tuan Afolf.Pria bule yang berasal dari Australia itu masih diam menunggu Sutomo melanjutkan bicaranya. Tanpa mereka sadari Aldi sudah dekat di sana, namun dia ingin mendengar lebih jauh."Aku dengar, anda akan meninggalkan Indonesia dan membesarkan usaha di negara anda. Aku datang berbaik hati menambah harga yang anda tawarkan pada Aldi.""Aku sudah berjanji tidak menjualnya pada orang lain." Tuan Adolf masih memegang janjinya."Bayangkan berapa uang yang kutambah dari harga sebenarnya?" Sutomo menganggap Adolf akan luluh dengan uangnya."Ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang perjanjian dan aku sudah sepakat menjualnya pada Aldi." Tuan Adolf nyatanya tidak tertarik dengan penawaran Sutomo.Sutomo memalingkan wajahnya, Kesempatannya ingin unggul dari Aldi sepertinya belum akan tercapai apa lagi menghancurkan pemilik hotel terbanyak itu."Baiklah, kuharap kau merubah keputusanmu dan aku masih menunggunya." Sutomo berdiri, ia meletakkan satu kartu namanya di atas meja."Om Sutomo!" panggil Aldi saat pria yang berambut putih itu melewati kursinya. Sutomo berhenti dan menoleh."Sampai kapan Om terus mengacaukan rencanaku?" Suara Aldi terdengar dingin.Sutomo menatapnya tajam lalu mengangkat tangannya ke atas, "Sampai kau tak bernilai seperti debu," ucapnya dengan memperagakan debu yang dihebuskan dari telapak tangan."Aku rasa masalah pribadi tidak pantas dikaitkan dengan bisnis." Aldi tidak tersinggung, justru ia merasa senang melihat Sutomo yang kesal."Kau sudah menyakiti Lydia, itu artinya kau adalah musuh terbesarku." Wajah Sutomo penuh dendam."Aku dan Lydia sama-sama tidak keberatan bercerai, seharusnya Om paham itu. Lagi pula di antara kami tidak ada anak, kenapa Om menyiksa diri dengan dendam?"Sutomo tidak menjawab, dia memilih pergi meninggalkan mantan menantunya itu dengan perasaan marah.Aldi berpikir hal perceraiannya dulu hanya masalah sederhana saja, tapi tidak bagi keluarga Sutomo, mereka merasa tercoreng namanya dan tidak terima karena Lydia putrinya menjadi janda.^^^^^^Serena akhirnya turun ke bawah setelah sempat bimbang antara mau pergi atau tidak. Di bawah Mbok Darmi datang menghampirinya."Ibu butuh sesuatu?" tanyanya dengan sopan.Serena menatap wanita paruh baya itu, "Saya mau pergi, katakan pada Bapak, temui saya di rumah paman saja!" Serena berpesan. Menurutnya lebih baik pergi saja. Berdua dengan Aldi takut membuat hatinya luluh."Punten, Bu! Kata bapak, Ibu tidak boleh pergi." Mbok Darmi menyampaikan amanah Aldi.Serena tidak bisa ada di sini, dia merasa seperti menghianati Billy. Serena menghela nafasnya sesaat, "Saya harus pergi, Bi," putus Serena. Ia melangkah menuju pintu utama.Mbok Darmi mengikutinya sambil berkata, "Bu, tolong tunggu sebentar lagi, saya hubungi bapak terlebih dahulu." Mbok Darmi berusaha menahan Serena."Nggak usah, Bi. Nanti saja beritahu dia," kata Serena setelah menghentikan langkahnya. Mereka sudah berada di pintu.Mbok Darmi tidak tahu harus bagaimana mencegah wanita berkulit putih, bermata bulat itu. Dia tersenyum canggung, namun tiba-tiba suara gerimis terdengar lalu perlahan menderas.Sementara Serena menghela nafas, lain dengan Mbok Darmi. Wanita itu bersyukur dalam hati hingga senyumnya tak canggung lagi.Keduanya masih berdiri di dekat pintu menghadap ke arah halaman sampai sebuah mobil minicooper berhenti.Seorang wanita muda keluar dan berlari kecil menuju pintu, ia berhenti menatap Serena sebentar lalu Mbok Darmi."Bapak tidak ada di rumah," ucap Mbok Darmi pada wanita yang mengibas-ibaskan tangannya di baju yang sedikit basah."Aku tahu, Mas Aldi ada rapat penting," balasnya, "aku mau istirahat, bangunkan aku saat Mas Aldi pulang!"Wanita itu melewati Serena tanpa bertanya, gayanya terlihat angkuh. Dia meninggalkan pintu utama dan masuk ke salah satu pintu di lantai bawah.Serena tampak mengingati, wajah wanita itu seperti familiar. Serena ingin bertanya, namum urung. Untuk apa dia tahu, toh itu tidak penting baginya."Selalu seperti itu, datang sesuka hatinya," ucap Mbok Darmi hingga membuat Serena menoleh. Wanita yang semula kesal itu lantas tersenyum, "hampir setiap malam menginap di sini, padahal bapak nggak suka.""Memangnya dia siapanya bapak, Mbok?" Akhirnya Serena terpancing untuk tahu."Loh, ibu ndak tau, to?" Serena menggeleng, "Dia adik iparnya, ibu. Adiknya bapak," jelas Mbok Darmi sedikit heran.Serena baru ingat tujuh tahun yang lalu wajah wanita tadi sering muncul di hotel."Ibu nggak jadi pergi kan?" Mbok Darmi berharap iya."Mungkin setelah hujan reda," jawab Serena tak bersemangat.Mbok Darmi pun mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Serena menurut saja, wanita paruh baya itu juga menghidangkan teh juga camilan agar Serena betah.Alam sepertinya sedang berpihak pada Aldi dan Tuhan mengabulkan doa Mbok Darmi. Aldi pulang saat hari telah berganti malam, tepat pukul delapan malam."Di mana istriku, Mbok?" Hal pertama yang Aldi tanya, seolah takut Serena nekat pergi. Tidak, Aldi tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi."Ibu ada di sofa, dia sempat mau pergi, tapi tiba-tiba hujan deras, jadi ketiduran di sofa. Mbok nggak tega membangunkannya," jawab Mbok Darmi.Wajah Aldi berubah lega setelah mendengarnya."Pak, di kamar bawah ada Non Anes," lapor Mbok Darmi.Aldi menghela nafasnya, "Ya sudah, Mbok tidur saja sebelum dia bangun, sebelum banyak perintah!" titah Aldi.Mbok Darmi tersenyum mendengarnya, "Oh iya, Pak. Di meja sudah ada makanan dan masih hangat, mungkin Ibu mau makan saat Bangun nanti.""Terimakasih, Mbok, sudah menjaga istriku!"Mbok Darmi mengangguk dan berlalu ke bagian belakang, di mana kamarnya berada.Aldi berjalan pelan, tak ingin membangunkan Serena, dia berjongkok tepat di hadapan wajah cantik yang terlelap itu. Senyum Aldi terkembang, perlahan jarinya menyelipkan sedikit rambut Serena ke belakang telinga."Sayang, aku akan buat kamu tidak bisa jauh dariku!"Kepulangan Himawan dipercepat guna memberikan keleluasaan pada Aldi dan Serena di Bali. Ia sengaja membawa Ranu cucunya agar tidak mengganggu.Himawan ingim cucu yang banyak sebelum ajal memanggilnya. Hari ini dia ingin mengecheck keadaan salah satu hotel yang kebetulan dipimpin oleh menantunya, tapi melihat Billy dan mendengar pengakuan ibunya membuat Himawan terkejut."Ayah, maaf tidak mengabari sebelumnya." Aneska muncul dari balik pohon. Sungguh ia sangat takut jika Himawan akan membongkar siapa dirinya saat ini."Ini kebetulan sekali," seru Dewi senang, "kata Aneska Pak Himawan sedang liburan ternyata sudah pulang." Dewi tersenyum sangat ramah tapi berbeda dengan Billy yang tampak datar lalu Aneska yang wajahnya tampak tidak nyaman. "Ya, saya juga ingin mendengar cerita tentang mereka berdua." Himawan menyambut ucapan Dewi. Ia pun mengajak mereka ke rumahnya, termasuk Aneska juga. Sampai di sana Dewi takjub melihat rumah Himawan yang besar. Impiannya punya besan kaya sudah t
Entah sudah berapa lama Aneska berdiam diri di dalam toilet, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ibu Billy ingin bertamu ke rumah mereka.Rumah Himawan tepatnya.Aneska tak mungkin membawanya. Dia jadi terjebak oleh rencana Jane sahabatnya."Bil, coba kamu panggil," ucap Dewi yang merasa ini tidak wajar."Biarin aja, Bu. Mungkin lagi ngeden," jawab Billy santai. Dia memang tidak peduli pada wanita itu.Ck"Lama!" Dewi berdecak. Ia mulai merasakan kecurigaan dari sikap Aneska. Aneska memasang senyum palsu begitu keluar dari toilet. Dia pun mengajak keduanya turun untuk makan di bawah, "Tante dan Billy menginap saja di sini, aku sudah pesankan kamar.""Loh, kamu tidak ada rencana membawa kami ke rumah orang tuamu?" Dewi mengeryit heran. Aneska memalingkan wajah, menggigit bibir bawahnya. Membawanya ke rumah Susi bukanlah pilihan yang tepat. Bisa-bisa ibunya itu akan bikin ulah dan malu. "Ayah sedang liburan, Tan. Mungkin lusa baru pulang." Aneska beralasan meskipun benar adanya
Aldi merencanakan liburan untuk mereka. Ada Himawan dan juga Ranu. Meninggalkan sejenak kesibukan di dunia kerja.Pagi ini pesawat yang membawa mereka telah tiba di Bali. Aldi membawa mereka ke sebuah rumah yang bagian belakangnya menghadap ke pantai."Kamu nyewa rumah, Mas. Kan cuma tiga hari saja?" Serena merasa ini terlalu berlebihan mengingat mereka hanya enam orang saja.Belum lagi Aldi menjawab, Serena sudah terpukau oleh gambar besar yang ruangannya baru saja ia masuki, "I-ini rumah Mas Aldi?"Pria itu menjawab dengan pelukan di pinggang sang istri. Dagunya jatuh tepat di bahu Serena, "Ini milikmu sayang. Hadiah pernikahan tujuh tahun yang lalu. Mas baru sempat menunjukkannya setelah selesai di renovasi.Serena terharu, ternyata suaminya sudah menyiapkannya rumah sejak dulu, pantas saja ada foto menikah mereka di atas tempat tidur king size."Sayang, ini bukan sekedar liburan untuk kita. Mas Aldi ingin kita memiliki anak lagi, kamu mau kan?" Kini mereka berhadapan saling m
"Jangan melamun, seharusnya kamu manfaatin ini dengan baik. Kalau aku jadi kamu inilah kesempatan buat balas sakit hati kakak iparmu itu." Jane terus membisikkan semangat untuk Aneska.Jane diam saat melihat sosok Dewi datang mendekati merekam"Anes, sudah saatnya kita pergi dan kamu, siapa namamu?" Dewi begitu ramah memperlakukan Aneska berbeda dengan Jane."Siap, saya Jane," jawab Jane cepat."Kamu tidak perlu ikut," ucap Dewi sedikit ketus."Saya juga tidak mau ke sana, tugas saya hanya memastikan kalau adik saya sudah di nikahi. Itu saja." Jane tidak begitu menyukai Dewi yang cepat berubah pikiran. Terlihat mata duitan. Dia membayangkan kalau Dewi tau Anes sudah didepak dari keluarga Himawan pastilah dia akan membenci Aneska. Setelahnya ia pun pamit pada Aneska, tak lupa mengucapkan selamat dengan tawa."Sudah, ayo pulang!" Billy mengajak keduanya. Ia terlalu lelah dan pusing dengan apa yang sudah terjadi.Di rumah Aneska di antar ke kamar, sedangkan Billy menyusul ibunya k
Susi masuk ke dalam, ia meminta handphone dengan menengadahkan tangannya, "Berikan cepat!" perintahnya.Dodi menyembunyikan di balik tubuh kurusnya, "Nggak mau, ini privasiku, Bu," tolaknya."Privasi-privasi? Emangnya kamu siapa pakai privasian segala. Makanmu saja masih ibu yang tanggung sok segala privasi." Susi mengomel sambil melotot, "cepat sini!""Nggak, nanti ibu ambil semua." Dodi tetap bersikeras memegangnya. Susi geram dan akhirnya maju lalu merebutnya dengan paksa."Bu!" protes Dodi saat benda pipih yang menyimpan rahasia m bankingnya sudah beralih ke tangan ibunya."Udah diem!" Susi menggulirnya dan menemukan pesan m banking senilai sepuluh juta rupiah, "Apa yang kamu jual ha? Ini uang dari mana?" Susi marah dan menatap kakak dari Aneska itu."Sembarangan ibu tuduh aku menjual, yang ada ibu tuh yang sudah jual sofa sama lemari. Terpaksa duduk di lantai kita," gerutu Dodi tak terima."Ibu jual juga biar kita bisa makan, kau pikir sekarang mau dapat duit dari mana, Ane
"Bu, jangan menangis, bisa saja ini akal-akalan mereka. Kita pulang saja sekarang!" Sudah satu jam sejak Dewi bangun dari pingsannya.Billy menenangkannya, tapi ibunya menolak untuk pulang, "Jangan mudah tertipu dengan orang yang tidak kita kenal," katanya lagi agar ibunya segera menurut."Kamu nggak kenal dia? Apa kamu mau lepas dari tanggung jawab? Nih, nih, lihat wajahnya baik-baik, kalian pernah ketemu kan di forum bisnis?" Jane mengangkat dagu Aneska agar wajah itu terlihat jelas oleh Billy.Billy terkejut, sekarang dia melihatnya dengan jelas, tadi saat di tempat tidur dia hanya melihatnya dari samping."Kau!" ucapnya pelan. Billy meneguk ludahnya. Bertanggung jawab dengan perempuan jahat yang pernah mencelakai Serena, mustahil baginya.Billy tak akan lupa dengan perbuatannya yang turut andil dalam perpisahan Serena dulu.Dewi berdiri, ia mendatangi gadis yang sudah tidur dengan anak kesayangannya, ia menatap Aneska dari ujung kaki hingga kepala.Kulitnya bersih, sepertinya