Mobil hitam berlogo elegan itu berhenti mulus di depan halaman rumah mewah keluarga Hadisetyo. Pintu belakang dibuka oleh Rama, dan Dewa melangkah keluar dengan jas masih dikenakan setengah bahu dan dasi sedikit longgar—tanda bahwa pikirannya belum juga tenang.Langkahnya cepat, nyaris seperti terburu. Matanya menyapu halaman depan, lalu ke teras—tak ada tanda-tanda kehadiran Sherine di sana. Rasa cemas yang selama perjalanan tadi ia coba tahan mulai merayap kembali."Di rumah nggak ada siapa-siapa, Pak?" tanya Rama ragu dari belakang.Dewa menggeleng kecil. “Entahlah...”Tanpa menjawab lebih lanjut, ia melangkah ke dalam rumah. Baru saja menapakkan kaki di area ruang tengah, Bi Lilis muncul dari arah dapur sambil membawa seikat daun seledri."Bi Lilis," panggil Dewa cepat.Perempuan paruh baya itu sedikit tersentak, namun segera tersenyum sopan. "Eh, Pak Dewa. Sudah pulang, Nak.""Bu Sherine di mana?" tanyanya langsung."Oh, Nyonya besar sama Bu Sherine sedang masak di dapur, Pak."
Sherine turun dengan langkah tenang, menyembunyikan kecamuk hati yang sejak pagi tak kunjung reda. Saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia mendapati sosok anggun duduk dengan sikap santai namun elegan. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul Prancis, coat krem berpotongan ramping membalut tubuh semampainya, dan kalung mutiara melingkar manis di leher jenjangnya. Aura sosialita tak hanya tampak dari pakaian, tapi dari caranya duduk, tersenyum, dan bahkan sekadar memutar cangkir teh.Thamara Paramitha Soedono, ibunda Dewa. Sosok yang disegani di kalangan sosialita, pemilik butik high-end dan donatur tetap di berbagai acara amal besar.Sherine segera menghampirinya dan membungkuk sopan sebelum memeluknya."Mama, kok nggak bilang mau ke sini? Saya bisa siapkan masakan dulu atau sesuatu untuk Mama," ucap Sherine lembut, matanya tulus dan penuh hormat."Ahhh, sayang… Mama sengaja bikin kejutan buat kamu dan Dewa. Tapi kata Una, Dewa hari ini malah pergi bekerja," sahut Thamara sambil me
Di apartemennya yang mewah di New York, langit malam mulai berganti dengan warna tembaga matahari terbit. Veneza berdiri di depan jendela besar, mengenakan kimono sutra berwarna ivory, menatap langit dengan tatapan gelisah.Tangannya menggenggam ponsel, namun layar itu tetap gelap—Dewa tak kunjung membalas.“Sudah tiga hari… dan dia belum menjawab satupun pesanku,” gumamnya, suara pelan namun tajam. Ia mengusap wajahnya, frustasi.Ponsel itu dilemparkannya ke atas sofa. Pikiran cemburu mulai membakar hatinya, apalagi sejak berita pernikahan Dewa dan Sherine muncul di media.“Dia terlalu cantik…” lirih Veneza, saat melihat salah satu foto Sherine yang terpampang di layar tablet. Mengenakan kebaya pastel, senyumnya tenang… dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang.Ia tak bisa menahannya lagi. Dengan nada tegas, ia memanggil asistennya, “Marry, carikan penerbangan paling awal ke Jakarta. Aku akan ke sana hari ini juga.”Marry terkejut. “Miss, Anda yakin ingin pergi tanpa memberitahu M
Cahaya pagi menembus tirai kamar dengan lembut, membiaskan siluet dua tubuh yang terbungkus selimut putih. Sherine duduk membelakangi Dewa, punggungnya tegak tapi matanya sayu. Di sampingnya, Dewa baru saja membuka mata. Sorotnya kosong sejenak sebelum menyadari kenyataan di hadapannya.Tubuh Sherine.Hangatnya masih terasa di sisi ranjang.Dewa bangkit perlahan. Jemarinya, entah karena naluri atau penyesalan, menyentuh pelan punggung Sherine—hangat dan gemetar. Sherine tersentak, langsung menarik tubuhnya menjauh.“Pak Dewa!” serunya pelan, panik, tak siap menghadapi pagi ini.“Good morning...” ucap Dewa dengan suara serak, mencoba tenang meski jantungnya berdegup kencang.Sherine hanya diam. Napasnya tak stabil. Ia menarik selimut lebih tinggi, seolah ingin menyembunyikan luka yang lebih dalam dari sekadar tubuh yang tak tertutup.Dewa duduk di sisi tempat tidur, memandang wanita itu yang kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri—hancur, diam, tapi tegar.“Aku minta maaf... unt
Malam turun dengan sayap kelam, menyelimuti kamar itu dalam diam yang menggantung. Sherine duduk di sudut ranjang, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena perasaan yang tak mampu ia beri nama. Ketakutan menyelusup ke tulangnya, seperti kabut yang perlahan menyusupi hutan sunyi.Sherine menghentak lengannya. “Tolong, jangan paksa saya, Pak Dewa. Saya sudah cukup lelah dengan semua kelakuan Anda!”Namun dalam satu gerakan yang tidak diduga, Dewa menariknya mendekat. Tubuh Sherine saat ini hampir menempel dengan Dewa. Tatapan mata mereka bertubrukan—mata Sherine penuh luka dan takut, mata Dewa dipenuhi oleh amarah dan gairah yang membuncah, campuran yang berbahaya bagi hati siapa pun."Siapa yang bilang kamu tidak pantas jadi ibu dari anakku?" suara Dewa rendah, namun terdengar bagai gemuruh badai.Sherine menelan ludah. “Apa maksud Anda…”Dewa langsun menyambar bibir Sherine dan melumatnya dengan ganas, sehingga nafas keduanya beradu tak berturan.Satu persatu pakaian me
Suasana sepanjang perjalanan pulang benar-benar sunyi. Hanya suara mesin mobil dan hembusan AC yang menemani. Sherine duduk menatap jendela, rahangnya mengeras, matanya tak berkedip, menyimpan amarah dan luka yang belum sempat diredam. Sementara Dewa mencuri-curi pandang ke arahnya, jari-jarinya menggenggam erat setir. Ada penyesalan yang menggantung di dadanya. Tapi semua terlalu cepat terjadi, terlalu tajam untuk dijelaskan. Setibanya di rumah, Sherine turun lebih dulu, langkahnya cepat dan penuh amarah. Dewa turun kemudian, menyusul. Ia menutup pintu mobil pelan, tapi berat. Seolah beban emosinya ikut jatuh bersamaan. “Sherine, tunggu...” Suaranya terengah. Ia menarik napas, lalu mempercepat langkah. Sherine tidak menjawab. Ia membuka pintu rumah dengan kasar dan langsung berjalan menuju tangga. Dewa tak bisa tinggal diam. Ia mengejarnya dan meraih pergelangan tangan Sherine. Hangat. Bergetar. “Sherine, dengarkan dulu. Kamu salah paham.” Sherine menepis tangan Dewa dengan ka