Suara gemerincing sendok di dalam cangkir porselen menjadi irama lembut yang mengiringi langkah kaki Dewa saat menghampiri Sherine yang masih berbincang dengan dua penggemarnya. Sorot mata para pengunjung restoran seakan tak bisa lepas dari pasangan itu. Klik kamera ponsel terdengar beberapa kali, mengabadikan momen langka yang bahkan terasa seperti potongan dari film romantis."Couple goals!" bisik salah satu wanita muda di pojokan."Dia suaminya? Astaga, mereka secocok itu…""Kayak adegan drama Korea. Serasi banget."Sherine tersenyum sopan, meski dadanya sedikit berdebar tak tentu arah. Saat Dewa tiba di sisinya, ia melirik pria itu sekilas. Sorot mata Dewa tenang seperti biasa, namun ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dari cara dia menatapnya. Seolah sedang menahan sesuatu."Mari, Sherine. Kita pulang," ucap Dewa sambil sedikit memiringkan tubuhnya, memberi ruang agar Sherine melangkah lebih dulu.Sesampainya di mobil, suasana menjadi hening. Sherine menatap ke luar jendela, sen
Cinta tak selalu datang dengan ketukan keras. Kadang ia hadir dalam diam, saat kau mencoba mengabaikannya. Dan itulah yang sedang di alami oleh sepasang suami istri yang telah berkomitmen untuk tidak saling jatuh cinta. Sherine melangkah keluar dari ruang VIP dengan dagu terangkat, namun hatinya terasa rapuh seperti kaca retak yang sewaktu-waktu bisa hancur hanya karena satu getaran. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer dingin restoran, menciptakan gema yang seirama dengan denyut di dadanya yang mulai tak menentu. Ia tak ingin menunggu Dewa menyelesaikan telepon itu. Ia tak ingin mendengar suara wanita lain yang mungkin masih menguasai ruang terdalam hati suaminya. Dan ia... tak ingin terlihat cemburu. Namun nyatanya, dadanya nyeri. Dewa masih di dalam, berdiri bersandar di dinding ruangan VIP dengan ponsel menempel di telinga. Suara Veneza di seberang terasa seperti badai kecil yang berusaha menenggelamkan apa yang selama ini ia coba jaga tetap tenang. "Ada apa, Ven?" Suara
"Tidak apa-apa, Jeeh. Kapan kamu akan pulang ke Indonesia?"Suara Dewa terdengar santai tapi hangat di ujung telepon.Dari seberang lautan, suara pria muda menjawab dengan nada rendah dan berkarisma, "Minggu depan aku akan pulang."Dewa tertawa pelan. “Baiklah, anak bodoh. Mampir ke rumahku, oke?”“Baik.”“Aku pikir kau menikah dengan Veneza,” lanjut Jeeh tanpa ragu.“Tidak. Sudah, lupakan.”“Baiklah…”“Kalau begitu, sampai jumpa.”“Sampai jumpa.”Jutaan mil jauhnya di pusat kota London, seorang pria tengah bersandar santai di balik kursi hitam kulit ergonomis. Ruangannya luas, dengan dinding kaca setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk. Interior ruang kerjanya modern, bernuansa charcoal dan krem, lengkap dengan rak buku, meja marmer gelap, dan tanaman hijau tropis di sudut ruangan.Itulah Jeehangir Sagara Aurangzeb Hadisetyo.Pria berdarah India-Inggris dari ibunya dan Indonesia dari ayahnya. Tinggi, tegap, dengan rahang tegas, mata tajam warna cokelat pek
Pagi belum sepenuhnya hangat, tapi dapur rumah besar itu sudah ramai oleh suara sayup-sayup.Bi Lilis, Una, dan Adji duduk di meja makan kecil di ujung dapur sambil menyeruput teh manis. Tapi bukan teh yang mereka nikmati, melainkan obrolan penuh tanda tanya yang menggantung sejak malam pertama sang majikan membawa istrinya ke rumah ini."Mas Dewa itu... sungguh beda ya. Masa pengantin baru tidurnya pisah kamar?” bisik Una sambil memotong buah.Bi Lilis mengangguk cepat. “Iya, padahal Mbak Sherine itu cantiknya... aduhai. Luar dalam.”Adji menyahut, “Saya aja yang cuma supir, kagum lihat Bu Sherine. Tapi kok bisa Mas Dewa gak tergoda?”“Kalau saya punya wajah secantik itu, pasti suami saya tidak akan keluar rumah 7 hari 7 malam” ujar Bi Lilis.“Mantanya Mas Dewa dulu, Mbak Veneza yang katanya super model itu. Perasaan gak secantik Mbak Sherine ya” timpal Una.“Jangan-jangan...” Tapi bisikan mereka terpotong suara langkah kaki.Sherine muncul dari arah tangga, mengenakan blouse putih
Langit malam menggantung kelabu, dan suara detak jam dinding terdengar makin nyaring di antara sunyi kamar. Dewa membuka mata perlahan.Cahaya remang dari lampu tidur membiaskan siluet Sherine yang tertidur di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Dewa.Tanpa suara, Dewa bangkit. Kakinya menjejak lantai dengan hati-hati. Ia mengambil ponsel dari meja nakas, lalu melangkah ke balkon, membuka pintu kaca pelan agar tak menimbulkan suara.“Halo, Ven?” suaranya rendah, terdengar sedikit lelah.“Dewa! Dari mana saja kamu? Nomormu gak aktif dari tadi sore.”Nada suara wanita itu terdengar menuntut, namun terselip kecemasan di baliknya.Dewa menarik napas panjang. Kepalanya menunduk, tangan kirinya menggenggam pagar balkon yang dingin.“Maafkan aku… kamu tahu kan, hari ini... hari pernikahanku.”Ada hening beberapa detik.Lalu suara Veneza terdengar lebih tajam. “Dan kamu juga tahu bahwa itu hanya formalitas dua tahun. Itu janji kamu padaku. Kau ingat, kan, kenapa kau menikahi wanita itu?”D
Teriakan Sherine bergema begitu nyaring, membuat Dewa langsung tersentak dari lamunannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pintu kamar mandi dan membuka pintunya dengan cemas.“Sherine?!” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh mungil itu langsung melesak ke dalam pelukannya. Tangannya melingkar di pinggangnya, wajahnya terbenam di dada bidang Dewa yang masih berdetak kencang sejak awal malam. Tubuhnya bergetar. Nafasnya tak teratur. Matanya ketakutan.Dewa mematung. Ia benar-benar tak siap untuk ini. Tubuh Sherine yang hanya terbalut handuk putih pendek nyaris tak menutupi pahanya membuat debar di dadanya melonjak tak beraturan.Wewangian dari kulit basah Sherine menyeruak, menciptakan badai kecil dalam pikirannya yang biasanya tenang.“Tenang… Sherine, ada apa?” gumam Dewa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.“A… ada kecoa…” jawab Sherine tergagap, masih menempel di tubuhnya.Dewa sempat menahan napas. “Kecoa?”“Coba saya lihat,” ucapnya, sambil perlaha