MasukCinta tak selalu datang dengan ketukan keras. Kadang ia hadir dalam diam, saat kau mencoba mengabaikannya. Dan itulah yang sedang di alami oleh sepasang suami istri yang telah berkomitmen untuk tidak saling jatuh cinta.
Sherine melangkah keluar dari ruang VIP dengan dagu terangkat, namun hatinya terasa rapuh seperti kaca retak yang sewaktu-waktu bisa hancur hanya karena satu getaran. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer dingin restoran, menciptakan gema yang seirama dengan denyut di dadanya yang mulai tak menentu. Ia tak ingin menunggu Dewa menyelesaikan telepon itu. Ia tak ingin mendengar suara wanita lain yang mungkin masih menguasai ruang terdalam hati suaminya. Dan ia... tak ingin terlihat cemburu. Namun nyatanya, dadanya nyeri. Dewa masih di dalam, berdiri bersandar di dinding ruangan VIP dengan ponsel menempel di telinga. Suara Veneza di seberang terasa seperti badai kecil yang berusaha menenggelamkan apa yang selama ini ia coba jaga tetap tenang. "Ada apa, Ven?" Suara Dewa terdengar heran, tapi tetap tenang. "Aku sudah melihat berita pernikahanmu di media tadi!" Nada wanita itu tinggi, panik, marah—dan terluka. "Iya, lalu?" Dewa menjawab dengan sabar, menatap kaca besar di sisi ruangan yang memantulkan bayangannya sendiri—seorang pria yang tengah berdiri di antara dua dunia: satu yang dipegang karena janji, dan satu lagi yang tak sengaja membuatnya mulai bergetar. "Kau bilang dia orang biasa... karyawanmu. Tapi setelah aku cari tahu, dia influencer, dari keluarga terpandang... dan dia sangat cantik!" suara Veneza bergetar di seberang, nyaris seperti tangis yang tertahan. "Ven... tenang dulu." "Apa ini semua hanya akal-akalmu? Kau bilang dia terlilit hutang! 400 juta! Sekarang aku tak tahu apa yang harus kupercaya!" Dewa memejamkan mata. Ia tahu ini akan terjadi. Ia tahu cepat atau lambat semuanya akan menyakiti semua pihak. "Ven... dengar aku bicara sebentar." Keheningan. "Dia memang karyawanku. Dan ya, dia memang punya hutang itu. Aku menikahinya sesuai rencana kita, Ven. Gak lebih. Gak kurang." "Lalu kenapa dia? Dari jutaan perempuan, kenapa harus dia?" tangis itu akhirnya pecah, tertahan namun nyata. "Karena hanya dia yang bersedia, Ven. Hanya dia yang cukup berani." "Berani? Atau cukup cantik untuk membuatmu goyah?" suara itu nyaris seperti bisikan tajam di seberang sana. Dewa terdiam sejenak. Tak bisa membantah, tapi juga tak bisa menyetujui. Sebab... memang ada yang berubah dalam dirinya. "Aku gak goyah, Ven. Aku masih mencintaimu. Selalu. Jadi tolong... jangan seperti ini. Kau jadi berubah. Jangan insecure..." "Aku tidak insecure!" potong Veneza, keras. "Kalau begitu... percaya padaku. Aku mohon." Butuh beberapa detik sebelum suara itu mereda. "Baiklah..." katanya pelan. "Aku cuma takut kehilanganmu, Dewa." "Aku gak ke mana-mana. Aku akan telepon kamu nanti. Aku sedang di luar sekarang. Aku sangat mencintaimu" "Baik. Aku... aku juga sangat mencintaimu." Panggilan berakhir. Dewa menurunkan ponsel perlahan dan menyelipkannya ke dalam saku. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah berat. Namun apa yang dilihatnya di luar justru seperti pukulan baru. Di tengah cahaya lampu yang memantul dari dinding kaca restoran, Sherine berdiri di antara dua orang wanita yang mengenalnya. Mereka tertawa, meminta foto bersama, dan Sherine menanggapinya dengan anggun dan ramah. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai ditiup lembut oleh angin, matanya bersinar, dan senyumnya... tulus. Ia terlihat seperti pusat gravitasi, menarik semua orang di sekitarnya untuk merasa nyaman dan bahagia. Dewa berdiri membeku, memandangi Sherine dari kejauhan. Tak ada satu pun orang yang bisa menebak apa yang dipikirkan pria itu. Namun satu kalimat menggema dalam hatinya. "Aku tidak boleh mencintainya..." Tapi mengapa hatinya seperti menolak kalimat itu? Kenapa langkahnya terasa berat ketika hendak mendekat? Dan kenapa... melihat Sherine tertawa dengan pria lain terasa seperti duri kecil yang menusuk di dadanya? Sherine menoleh ke arahnya. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik. Ia tersenyum sopan, lalu kembali berpaling. Dewa menunduk. Senyum itu bukan miliknya. Dan entah kenapa... ia ingin memilikinyaSherine pun sama terkejutnya. Kakinya mendadak lemas, jari-jarinya yang digenggam Dewa sedikit bergetar. Tatapannya beradu dengan Jeeh, dan dalam sekejap seluruh masa lalu yang ia kubur rapi menyeruak ke permukaan.Ada luka. Ada penyesalan. Ada cinta yang belum benar-benar mati.Bibir Jeeh terbuka, seolah ingin mengucap nama yang selama ini ia rindukan. Tapi lidahnya kelu, suaranya tak mampu keluar. Ia hanya bisa menatap… menatap wanita yang dulu ia pikir akan ia perjuangkan seumur hidupnya, kini menjadi milik orang lain—lebih parahnya, milik sepupunya sendiri.Di matanya ada air yang berkilat, tapi ia menahan mati-matian agar tidak jatuh.“Sherine…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Sherine mengalihkan pandangannya dengan cepat, menunduk, berusaha menghindari tatapan itu. Ia tahu jika ia terus menatap, seluruh benteng pertahanannya akan runtuh.Sementara Dewa tersenyum lebar, tak menyadari badai emosional yang tengah mengguncang dua hati di hadapannya. Ia masih menggenggam tangan
Keheningan itu seolah membungkus mereka dalam ruang yang tak ingin diganggu siapa pun. Dewa masih menatap dalam wajah Sherine, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun tanpa meneguk pesona istrinya. Bibirnya baru saja menyentuh kening Sherine lagi ketika tiba-tiba getar dan dering ponsel di nakas memecah suasana.Sherine spontan menegang, menatap Dewa dengan tatapan penuh tanya. Dewa menghela napas kesal, meraih ponselnya, dan di layar jelas terpampang: Mama.Keromantisan yang baru saja mereka rajut runtuh seketika. Dewa menutup mata, sementara Sherine menarik selimutnya lebih rapat, hatinya mendadak dingin lagi. “Kenapa harus sekarang…” gumam Dewa pelan, menekan tombol hijau.Suara Thamara terdengar cerah dari seberang, “Nak, cepat turun. Jeeh sudah datang, dia menunggumu di bawah.”Dewa terdiam, menatap Sherine yang kini membelakanginya. Dewa menatap layar ponselnya dengan wajah campur aduk. Bahagia, kaget, tapi juga ada rasa tak siap. “Anak itu datang ke sini? Sekarang?” suaran
Pagi itu, mentari sudah tinggi, menebarkan sinar keemasan ke seluruh sudut rumah besar itu. Namun, belum juga tampak Dewa dan Sherine turun ke bawah. Thamara, yang sudah rapi dengan dress rumahnya yang terlihat tetap elegan. Saat ia sedang sibuk menata bunga di meja, suara riang seorang pria yang tak asing baginya terdengar dari arah pintu.“Tanteee!!”Thamara menoleh, sontak ia langsung memanggil keponakan kesayangannya itu. “Jeeh!” seru Thamara, terkejut sekaligus girang.Mereka segera berpelukan erat. Jeeh, keponakannya yang tampan bahkan semua mengakui bahwa ketampanan Jeeh melebihi sepupunya Dewa. “Kamu ini, pas nikahan Dewa malah nggak hadir. Tante kecewa banget,” ucap Thamara sambil menepuk pelan bahunya.Jeeh cengar-cengir, “Maaf, Tante. Waktu itu kerjaan lagi gila banget, susah ambil cuti. Tapi sekarang aku langsung ke sini, kan? Mama sama Papa bilang Dewa udah tinggal di sini sama istrinya.”“Iya, begitu lah. Tante seneng kamu bisa mampir. Duduk dulu, biar Tante minta Bi Li
Kesadaran langsung menghantam Dewa. Tangannya bergetar, matanya membelalak ngeri pada apa yang baru saja ia lakukan. “Sherine… sayang… maafkan aku,” suaranya parau, penuh penyesalan. Ia meraih wajah istrinya, namun Sherine menepis kasar, semakin tersedu.Dewa jatuh terduduk di sisi ranjang, kedua tangannya menutup wajahnya sendiri. “Apa yang sudah kulakukan… Tuhan…” gumamnya, suaranya bergetar. Hatinya sesak, seakan seribu duri menusuk sekaligus.Ia menoleh lagi, memandang Sherine yang kini meringkuk di ujung ranjang, memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha melindungi dari pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Rasa bersalah merambat di dada Dewa, lebih menyakitkan daripada tamparan manapun.Dewa meraih tangan Sherine perlahan, takut ditolak lagi. Jemarinya bergetar saat menyentuh kulit halus istrinya. “Maafkan aku, Sherine… aku kehilangan kendali. Aku tidak seharusnya menyakitimu… aku…” suaranya tercekat, hampir tak terdengar.Namun Sherine tetap menangis, tubuhnya bergetar m
Sherine menatap layar ponselnya yang masih penuh dengan pesan Johan, Luna, dan Yummi. Air matanya belum kering, tapi gengsi menahannya untuk terlihat lemah. Ia menarik napas panjang, lalu mengetik perlahan.Sherine:“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Itu cuma urusan kantor, mungkin kebetulan.”Pesan terkirim.Beberapa detik kemudian Johan membalas:“Sher… kamu gak harus pura-pura kuat di depan kita. Kalau mau cerita, kami siap dengerin.”Luna menimpali cepat:“Iya, Sher. Gak usah sok tabah. Aku aja yang cuma temen ikut sakit lihat gosip itu. Apalagi kalian baru satu bulan menikah”Yummi menambahkan:“Kamu berhak marah, kamu berhak cemburu. Jangan pendam sendiri.”Sherine menutup ponselnya erat-erat, air matanya kembali tumpah. Pikiranya terus berputar diantara:Berhak marah? Berhak cemburu? Aku hanya istri yang di bayar untuk menunggu, aku hanya istri kontraknya?Di luar, malam semakin larut. Tapi hati Sherine tak kunjung tenang, seakan tersiksa oleh bayangan suaminya yang mungkin
Rama menutup pintu ruangan rapat pelan. Wajahnya tegang, ia menunduk sebelum akhirnya membuka suara. “Pak… ada hal yang harus saya sampaikan,” ucapnya hati-hati.Dewa mendongak dari balik meja kerjanya. “Apa?” suaranya berat, penuh tekanan.“Gosip tentang Bapak… dan Mbak Veneza. Seluruh kantor sudah tahu beliau datang dan masuk ke ruangan Bapak. Mereka bilang… Bapak masih menjalin hubungan dengannya.”Suara kursi berdecit saat Dewa berdiri dengan kasar. “Sialan!” bentaknya sambil menghantam meja dengan telapak tangan. “Padahal aku sudah menjelaskan padanya, kenapa dia harus muncul seenaknya di sini!”Rama menunduk semakin dalam, tak berani menatap. “Saya khawatir gosip ini bisa keluar, Pak. Semua orang di kantor sudah mengetahui tentang gosip ini. Mereka turut prihatin pada Bu Sherine”Nama istrinya disebut, dada Dewa makin sesak. Ia meraih ponselnya, menekan nama Veneza dengan jari bergetar karena amarah.Di apartemennya, Veneza terduduk dengan mata sembab. Marry berusaha menenangka







