Share

Kerinduan

Author: Arsyla Adiba
last update Last Updated: 2025-03-14 01:08:19

Setelah selesai makan, Alexa mulai membersihkan dapur. Liam, yang awalnya diminta untuk tidak ikut membantu, tetap bersikeras ikut membereskan. "Kak Liam, nggak perlu repot-repot. Saya bisa sendiri kok," ucap Alexa, berusaha mencegah.

Namun Liam hanya tersenyum. "Alexa, aku nggak bisa diam saja melihat kamu kerja sendirian. Anggap saja ini bagian dari rasa terima kasihku atas makan malam yang enak tadi."

Alexa menyerah dan membiarkan Liam membantunya. Bersama, mereka mencuci piring, mengelap meja, dan merapikan peralatan makan yang sudah selesai digunakan. Suasana dapur terasa tenang, hanya diiringi suara piring dan sendok yang beradu lembut.

Saat selesai, Alexa membuka pembicaraan untuk mengisi keheningan. "Katanya Kakak mau kerja bareng Gavin, ya?" tanyanya sambil melipat kain lap dan meletakkannya di sudut meja.

Liam mengangguk sambil menyeka tangannya dengan handuk. "Iya. Gavin bilang dia butuh bantuan untuk beberapa proyek besar di perusahaan. Aku pikir, ini juga kesempatan bagus untuk memulai sesuatu yang baru setelah... ya, semua yang terjadi," jawabnya, nada suaranya sedikit menurun saat menyebutkan masa lalunya.

Alexa menoleh, menatap Liam dengan pandangan simpati. "Pasti berat untuk Kakak. Tapi, setidaknya sekarang Kakak punya keluarga yang mendukung."

Liam tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan kesedihan yang masih tersisa. "Iya, aku bersyukur ada Gavin dan kamu. Rasanya... aku nggak sendirian di sini."

Alexa membalas senyumnya. "Gavin sering bilang Kakak sangat berbakat dalam bisnis. Saya yakin kalian berdua bakal jadi tim yang hebat."

Liam tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana. "Kamu terlalu baik, Alexa. Tapi sejujurnya, aku justru kagum sama kamu. Gavin sering cerita kalau kamu adalah pendukung terbesarnya. Dia bilang kamu yang selalu membuatnya kuat."

Alexa terdiam, merasa tersentuh sekaligus sedih mendengar pujian itu. "Semoga saja begitu," gumamnya pelan.

Ia kemudian bertanya dengan nada hati-hati, "Tapi Kak, kenapa nggak pulang ke rumah orang tua di Jogja saja? Di sana kan ada keluarga yang juga bisa menemani."

Liam menarik napas panjang sebelum menjawab. "Aku sempat kepikiran itu, Alexa. Tapi... suasana di sana terlalu ramai untukku sekarang. Orang tua pasti akan banyak bertanya soal perceraian, dan aku belum siap membicarakannya."

Alexa mengangguk, mencoba memahami. "Kadang, berada di tempat ramai malah bikin tambah nggak nyaman, apalagi kalau lagi butuh waktu sendiri."

Liam tersenyum kecil, terlihat lebih tenang. "Itu sebabnya aku menerima tawaran Gavin untuk tinggal di sini. Selain bisa lebih fokus bekerja, mungkin ini juga kesempatan untuk memulai kembali."

Alexa menatap Liam dengan pengertian. "Semoga Kakak betah di sini. Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke saya, ya."

"Terima kasih, Alexa. Kamu memang orang yang membuat orang lain merasa nyaman," balas Liam, membuat Alexa sedikit tersipu.

Alexa mengelap tangannya yang masih basah dan tersenyum. "Kalau begitu, saya mau ke kamar dulu, Kak. Kalau butuh sesuatu, panggil saja, ya."

Liam mengangguk sambil membalas senyumnya. "Terima kasih, Alexa. Aku rasa semuanya sudah cukup. Kamu istirahat saja. Malam sudah larut."

Alexa mengangguk sopan sebelum melangkah keluar dari dapur menuju kamarnya, meninggalkan Liam yang termenung sejenak di dapur.

.....

Pukul 11 malam, suara mesin mobil yang mendekat membangunkan Alexa dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyadari apa yang terjadi. Suara itu begitu akrab, suara mobil Gavin.

Dengan sedikit lelah, Alexa bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar. Ia mengintip ke jendela ruang tamu, memastikan bahwa yang baru saja datang adalah suaminya. Benar saja, Gavin keluar dari mobil dengan langkah cepat sambil membawa tas kerjanya.

Alexa membuka pintu sebelum Gavin sempat mengetuk. "Kamu baru pulang?" tanyanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan rasa kesalnya.

"Meeting tadi baru selesai," jawab Gavin singkat sambil melewati Alexa tanpa memandangnya. Ia berjalan ke ruang tamu, meletakkan tasnya di sofa dengan gerakan tergesa.

Alexa menarik napas dalam, menahan diri untuk tidak mengomentari sikap Gavin. "Kak Liam sudah datang, dia di kamar tamu," katanya, mencoba memulai percakapan.

Gavin hanya mengangguk tanpa menoleh. "Oke," jawabnya datar sambil melepas jas dan dasinya.

Alexa melangkah ke dapur, mengambilkan segelas air untuk Gavin. Ketika ia kembali, Gavin sudah duduk di sofa sambil memeriksa ponselnya. Alexa menyerahkan gelas itu. "Ini minumnya," ucapnya singkat.

"Taruh saja di meja," balas Gavin, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Alexa diam sejenak, lalu meletakkan gelas itu di meja seperti yang diminta. Dalam hati, ia merasa jengkel dengan sikap Gavin yang seolah-olah tidak peduli. Namun, seperti biasanya, ia memilih untuk menahan diri.

"Besok usahakan pulang lebih awal, Gav," kata Alexa akhirnya, meskipun ia tahu kemungkinan besar Gavin tidak akan menepatinya.

"Kalau sempat," jawab Gavin tanpa melihat ke arahnya.

Alexa hanya mengangguk kecil, merasa percuma untuk berbicara lebih jauh. Ia melangkah kembali ke kamar dengan langkah pelan, meninggalkan Gavin yang masih sibuk dengan ponselnya. Di dalam kamar, Alexa duduk di tepi ranjang, merasakan kelelahan fisik dan emosional yang semakin menumpuk.

Tak lama kemudian, Gavin masuk ke kamar, membuka dasinya dan meletakkannya di kursi. Tanpa mengatakan apa-apa, ia langsung menuju kamar mandi. Alexa hanya bisa memandanginya sekilas sebelum berbaring kembali.

Ketika Gavin keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan boxer, ia mengeringkan rambutnya sambil berjalan ke lemari. Alexa meliriknya sekilas, tapi Gavin tidak menyadarinya atau mungkin sengaja mengabaikannya.

"Kamu belum tidur?" tanya Gavin akhirnya, dengan nada datar, tanpa menatap Alexa.

"Belum," jawab Alexa singkat.

Gavin hanya mengangguk, lalu naik ke ranjang tanpa berkata-kata. Ia mengambil ponselnya lagi dan mulai menggulir layar, sama sekali tidak mencoba memulai pembicaraan.

Alexa memandangi Gavin sejenak, berharap suaminya akan berkata sesuatu, apapun, yang bisa sedikit mengurangi jarak di antara mereka. Tapi harapan itu kembali sirna saat Gavin tampak terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dengan hati yang berat, Alexa membalikkan badan, mencoba memejamkan mata sambil menahan air mata yang ingin jatuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Kakak Ipar   Malam bersama Liam

    Pov AlexaSetelah menerima pesan dari Gavin, Alexa hanya bisa termenung di kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab.“Padahal sekarang hari libur,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel di tangannya. “Pekerjaan apa sih, Vin, sampai kamu nggak pulang malam ini?”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara pintu kamar yang terbuka pelan membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Ia segera menoleh, mengira Gavin sudah pulang. Namun, yang muncul di ambang pintu justru Liam.“Kak Liam?” tanya Alexa. “Gavin belum pulang?” tanya Liam, memecah keheningan malam.Alexa mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Kak. Katanya ada pekerjaan mendadak,” jawabnya pelan, nada suaranya terdengar lelah dan sedikit ragu.“Kalian kan sekantor. Apa Kak Liam tahu pekerjaan apa yang dimaksud Gavin?” tanyanya.Alexa menatap Liam, seolah berharap menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Namun, Liam hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Lex,” ucapnya dengan na

  • Terjerat Pesona Kakak Ipar   Rahasia Gavin

    Pov GavinGavin duduk di dalam mobil, matanya menatap jalanan yang berlalu begitu cepat di depannya. Ia merasakan kegelisahan yang terus menghantui sejak pagi tadi. Dengan tergesa-gesa, ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera keluar.Pintu rumah dibuka dengan cepat, langkah Gavin terdengar berat namun penuh kecemasan. “Amara! Di mana Zain?” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.Amara muncul dari ruang tengah, wajahnya terlihat lelah dan cemas. “Zain di sini, Gavin. Dia masih panas,” jawabnya sambil menggendong bayi mereka yang baru berusia satu bulan.Gavin mendekat, melihat Zain yang terbaring lemah di pelukan ibunya. Wajah kecil itu terlihat pucat, matanya setengah tertutup. Gavin perlahan mengulurkan tangan, membelai kepala Zain dengan lembut.“Zain…” panggilnya pelan, seolah tak ingin mengganggu kenyamanan anaknya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, meski hatinya terasa mencelos melihat kondisi putranya.Amara memandang Gavin, lalu berkata, “Kita harus segera bawa

  • Terjerat Pesona Kakak Ipar   Ikatan yang tak terucap

    Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug

  • Terjerat Pesona Kakak Ipar   Pintu yang terkunci

    Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d

  • Terjerat Pesona Kakak Ipar   Kecurigaan Inara

    Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di

  • Terjerat Pesona Kakak Ipar   Perhatian Liam

    Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status