Sore telah tiba, dan Alexa baru saja selesai mandi. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk sambil berjalan ke arah kamar. Tubuhnya terasa segar setelah berkeringat habis memasak untuk makan malam.
Ia melirik jam dinding di ruang tengah. "Kak Liam pasti akan sampai sebentar lagi," gumamnya. Alexa memastikan dirinya sudah rapi, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang nyaman namun tetap terlihat sopan. Ia melangkah ke dapur untuk mengecek kembali masakannya. Aroma sup ayam yang hangat dan lauk-pauk lainnya masih memenuhi ruangan. Alexa merasa lega semua sudah siap. "Semoga dia merasa nyaman makan malam pertama di sini," ucap Alexa sambil menyusun piring-piring di meja makan. Suara bel pintu tiba-tiba terdengar, menghentikan aktivitas Alexa yang sedang sibuk memastikan semua meja makan sudah tertata rapi. Ia langsung bergegas menuju pintu depan. Saat membuka pintu, Alexa melihat seorang pria tinggi dengan rambut hitam rapi, mengenakan jas kasual dan membawa koper besar di tangannya. Wajahnya memancarkan karisma dewasa, dengan senyuman ramah yang membuat Alexa sedikit canggung. "Kamu pasti Alexa," sapa pria itu sambil sedikit menunduk. Suaranya dalam dan tenang. Alexa tersenyum tipis. "Iya, Kak Liam? Selamat datang," jawabnya, membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. "Terima kasih," jawab Liam sambil melangkah masuk, menoleh ke sekeliling rumah dengan pandangan santai. "Rumahnya sangat nyaman." Alexa mengangguk pelan. "Silakan duduk dulu, Kak. Mau saya ambilkan minum?" tawarnya sopan. Liam tersenyum kecil. "Terima kasih, tapi tidak perlu repot. Saya bisa menunggu sampai Gavin pulang." Alexa mengantarkan Liam ke Kamar tamu dan membantu membawa koper Liam. "Kamar Kak Liam ada di lantai atas, di sebelah kanan. Saya sudah siapkan semuanya," ucapnya sambil melangkah menuju tangga. Liam mengikuti Alexa, matanya mengamati interior rumah yang terasa megah namun dingin. "Terima kasih, Alexa. Saya tahu tinggal di sini mungkin sedikit merepotkan untukmu." Alexa menoleh dengan senyum kecil. "Tidak apa-apa, Kak. Gavin sudah memberitahu saya, jadi saya siapkan semuanya agar Kakak merasa nyaman." Ketika mereka tiba di depan kamar tamu, Alexa membuka pintunya dan memperlihatkan ruangan yang sudah ia rapikan. Sprei baru, meja kecil dengan vas bunga, dan tirai yang baru saja dicuci memberi kesan bersih dan nyaman. Liam melangkah masuk, meletakkan kopernya di sudut ruangan. "Ini lebih dari cukup. Terima kasih lagi, Alexa. Kamu benar-benar perhatian." Alexa hanya tersenyum, lalu melangkah keluar. "Kalau Kak Liam butuh sesuatu, panggil saya saja. Saya ada di bawah." Saat kembali ke dapur, Alexa melihat layar ponselnya menyala dengan pesan masuk dari Gavin. Dengan sedikit harapan, ia membuka pesan tersebut, tetapi harapannya langsung memudar begitu membaca isinya. Gavin: Meeting mendadak. Aku bakal pulang larut. Jangan tunggu aku. Alexa mengetik balasan cepat, mencoba mengingatkan suaminya. Alexa: Tapi kita kan kedatangan Kak Liam. Kamu nggak mau menyambut dia? Beberapa saat kemudian, balasan dari Gavin muncul, pendek dan datar, tanpa nada peduli. Gavin: Kan ada kamu. Aku capek banget hari ini, Lex. Nggak sempat buat basa-basi. Alexa menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa kesalnya yang semakin memuncak. "Selalu seperti ini," gumamnya dengan suara pelan. Ia menatap meja makan yang telah ia siapkan dengan penuh harapan. Pancake lembut, sup ayam hangat, dan segala detil kecil yang ia pikirkan untuk menyambut malam itu terasa sia-sia. "Dia bahkan nggak peduli," pikir Alexa, sambil menaruh ponselnya di meja dengan gerakan lemah. Gavin sudah terlalu sering menunjukkan sikap masa bodohnya. Bagi Alexa, ini bukan hanya tentang makan malam, tapi tentang perhatian yang semakin hilang dalam pernikahan mereka. Dengan napas panjang, Alexa mencoba mengendalikan emosinya. "Baiklah, aku lakukan saja sendiri," katanya lirih, sambil memaksa dirinya untuk tersenyum tipis. Di dalam hatinya, kekecewaan mulai berubah menjadi kekosongan. Langkah kaki terdengar dari lantai atas, menandakan Liam telah selesai bersiap. Pria itu muncul di ambang pintu dapur, mengenakan pakaian santai dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. "Sudah siap makan malam?" tanyanya, nada suaranya ringan. Alexa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. "Iya, Kak. Tapi Gavin bilang dia tidak bisa pulang malam ini. Katanya ada meeting mendadak." Liam mengangguk pelan, tampaknya tidak terlalu terkejut mendengar kabar itu. "Ya, aku sudah terbiasa mendengar Gavin sibuk. Tidak apa-apa, kita makan saja dulu. Aku yakin masakanmu enak," ujarnya mencoba mencairkan suasana. Alexa memaksakan senyum kecil. "Baiklah, Kak. Silakan duduk, saya siapkan semuanya dulu," katanya sambil mengatur ulang piring di meja makan. Meski ia tampak tenang di luar, di dalam hatinya Alexa merasa kecewa. Sudah lama ia berharap Gavin mau meluangkan waktu untuk sekadar makan malam bersama, apalagi hari ini ada Liam sebagai tamu di rumah mereka. Namun, seperti biasanya, pekerjaan selalu menjadi alasan suaminya. Sambil menata meja makan, Alexa melirik ponselnya yang tergeletak di meja dapur. Pesan terakhir dari Gavin masih terpampang di layar: "Aku makan di luar. Maaf ya, Xa." Alexa menarik napas panjang, mencoba mengenyahkan perasaan kesal yang terus menggelayuti hatinya. "Selalu begini," pikirnya, sembari berusaha mengontrol emosinya. Dengan langkah pelan, ia membawa hidangan terakhir ke meja makan. "Masakanmu kelihatan enak, Alexa," puji Liam ramah, matanya memandang meja makan yang tertata rapi. Alexa tersenyum kecil, duduk di kursi seberang Liam. "Terima kasih, Kak. Semoga cocok di lidah Kakak," ujarnya sopan. Makan malam pun dimulai, dengan Alexa dan Liam berbincang ringan. Liam berbagi cerita tentang kehidupannya di luar negeri, tentang proyek-proyek yang ia kerjakan, hingga sesekali menyebut kenangan masa kecilnya bersama Gavin. Alexa mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha mencairkan suasana. Namun, setiap kali matanya melirik kursi kosong di meja makan itu, hatinya terasa mencubit. "Kapan terakhir kali aku dan Gavin duduk bersama di sini, hanya kami berdua?" pikir Alexa. Sudah terlalu lama, hingga ia bahkan lupa kapan momen itu terjadi. "Masakanmu benar-benar enak, Alexa," puji Liam lagi, kali ini dengan ekspresi yang tulus. Alexa tersenyum kecil, mengangguk. "Terima kasih, Kak. Saya hanya masak yang sederhana." Liam mengangguk pelan, tatapannya penuh penghargaan. "Gavin beruntung punya istri seperti kamu. Rumah ini terasa hangat, meskipun aku tahu dia sering sibuk." Alexa hanya membalas dengan senyum tipis, tidak ingin menanggapi lebih jauh. Kata-kata itu, meski terdengar tulus, malah menambah perasaan perih di hatinya. "Beruntung? Mungkin Gavin sendiri tidak merasa begitu," pikirnya, namun ia menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaannya itu.Pov AlexaSetelah menerima pesan dari Gavin, Alexa hanya bisa termenung di kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab.“Padahal sekarang hari libur,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel di tangannya. “Pekerjaan apa sih, Vin, sampai kamu nggak pulang malam ini?”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara pintu kamar yang terbuka pelan membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Ia segera menoleh, mengira Gavin sudah pulang. Namun, yang muncul di ambang pintu justru Liam.“Kak Liam?” tanya Alexa. “Gavin belum pulang?” tanya Liam, memecah keheningan malam.Alexa mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Kak. Katanya ada pekerjaan mendadak,” jawabnya pelan, nada suaranya terdengar lelah dan sedikit ragu.“Kalian kan sekantor. Apa Kak Liam tahu pekerjaan apa yang dimaksud Gavin?” tanyanya.Alexa menatap Liam, seolah berharap menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Namun, Liam hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Lex,” ucapnya dengan na
Pov GavinGavin duduk di dalam mobil, matanya menatap jalanan yang berlalu begitu cepat di depannya. Ia merasakan kegelisahan yang terus menghantui sejak pagi tadi. Dengan tergesa-gesa, ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera keluar.Pintu rumah dibuka dengan cepat, langkah Gavin terdengar berat namun penuh kecemasan. “Amara! Di mana Zain?” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.Amara muncul dari ruang tengah, wajahnya terlihat lelah dan cemas. “Zain di sini, Gavin. Dia masih panas,” jawabnya sambil menggendong bayi mereka yang baru berusia satu bulan.Gavin mendekat, melihat Zain yang terbaring lemah di pelukan ibunya. Wajah kecil itu terlihat pucat, matanya setengah tertutup. Gavin perlahan mengulurkan tangan, membelai kepala Zain dengan lembut.“Zain…” panggilnya pelan, seolah tak ingin mengganggu kenyamanan anaknya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, meski hatinya terasa mencelos melihat kondisi putranya.Amara memandang Gavin, lalu berkata, “Kita harus segera bawa
Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug
Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d
Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di
Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang